Kopi TIMES Universitas Islam Malang

"Menendang" Saat Pandemi Covid-19

Senin, 04 Mei 2020 - 12:30 | 50.29k
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis Buku Hukum dan Agama.
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis Buku Hukum dan Agama.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG“Amor animi arbitrio sumitur, non ponitur “ atau Saya memilih mencintai, tapi saya tidak memilih untuk berhenti mencintai. (Publilius Syrus)

Kata mutiara itu tepat ditujukan pada partai politik (parpol), pasalnya parpol itu kalau akan meminang rakyat (konstituen) cintanya sangat kuat ditunjukkan, yang seolah-olah tidak akan pernah berhenti untuk tidak mencintainya. Sayangnya dalam fakta seringkali menunjukkan atmosfir lain, setelah rakyat berhasil dipinang cintanya tidak tumbuh subur. Rakyat ditendangnya. Rakyat dianggap sebagai pengganggu atau penghadir duri kemapanan dan eksklusifitas.

Itu terbaca minimal saat pandemi Covid-19 menimpa rakyat negeri ini. Rakyat bertanya-tanya kemana parpol perginya? atau sedang dimanakah parpol melabuhkan cintanya? Tidakkah parpol merasa bahwa dirinya adalah deskripsi kesejatian kedaulatan rakyat?

Belakangan ini sangat memang terasa ada sikap keraguan masyarakat terhadap peran Partai Politik (Parpol) dalam konstruksi kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan. Keraguan atau barangkali ketidakpercayaan  itu berangkat dari evaluasi yang disampaikan sejumlah pihak yang menilai, minimal sepanjang Covid-19 menguji bangsa ini, kalau kinerja  Parpol belum maksimal.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Parpol disimpulkan publik belum menjadi kekuatan politik rakyat dan masih sebatas menempatkan rakyat sebagai objek (kendaraan) untuk membingkai kekuatan politiknya di musim oportunisasi cinta berbajukan demokrasi.

Beberapa kali ada polling, bahwa  ada gejala pelebaran reduksi kredibilitas rakyat yang dialamatkan kepada performance parpol. Mereka menilai, bahwa lembaga strategis “milik” atau mereprsentasi kedaulatan rakyat ini belum maksimal mengabdikan dirinya atau “membumikan” loyalitas populistiknya, sebaliknya  institusi  itu masih “menghambakan” dirinya dan jadi subordinasi  kekuatan  politik dan ekonomi tertentu yang serba menguntungknanya.

Parpol dalma ranah itu belum menunaikan tugas sucinya melalui kader-kader terbaiknya yang disebar di sejumlah institusi strategis untuk menomo-satukan kepentingan rakyat dibandingkan kepentingan diri dan Parpol itu sendiri. Mestinya tidak masalahlah disebut kader ini mewakili parpol tertentu saat menjalankan pengabdian sosialnya, seperti saat terjun di lingkungan masyarakat yang terkena dampak Covid-19, daripada jadi kader parpol yang diam seribu bahasa dengan penderitaan rakyat. Kader seperti ini masihlah nasionalis dibandingkan yang hanya sibuk pencitraan.

Memang, idealnya semua kekuatan dalam Parpol, termasuk para kader, meminjam istilah budaywan Kuntowijoyo harus mendukung gerakan “politik hati nurani”, artinya berbagai gerakan politik di luar gedung dewan dan Parpol wajib disikapi dengan kebeningan atau kefitrian hati nurani, agar dinamika aspirasi rakyat yang mencuat dan mengeksplosi adalah benar-benar kesejatian suara kedaulatan rakyat. Jerit tangis dan gejolak tuntutan yang bergema di luar gedung dewan akibat Covid-19 merupakan  amanat yang wajib diperhatikan, sebab mereka telah mempercayakan hak kedaulatannya.

Tidak gampang memasuki relung kesejatian rakyat. Rakyat, apalagi yang berasal dari komunitas akar rumput (grass root community) seringkali juga tidak berani menunjukkan “bahasa” kesulitannya tatkala berhadapan dengan  elit kekuasaan yang tampilan komunikasi politiknya lebih menonjolkan “bahasa negara”. 

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kaum politisi lebih mnegerti, bahwa rakyat (mereka) itu sudah sekian lama hidup dalam kondisi dan didikan yang menempatkan dirinya bukan sebagai “tuan” di negerinya sendiri. Mereka sudah dibiasakan dan dikulturkan dalam suasana “kurang paham situasi yang obyektif” dan serba antagonistik, sehingga untuk menangkap dan memahami aspirasinya, kadang-kadang dibutuhkan pendekatan istimwa, bahkan kalau perlu “penerjemah” yang betul-betul bisa menerjemahkan aspirasinya akibat banyaknya logika elitis yang cepat-cepat membantahnya, kalau kabar yang beredar itu “hoak”. 

Ada prinsip pragmatis yang masih terasa kuat di masyarakat, bahwa masyarakat  tak ingin menuai kesulitan berlapis tatkala berhadapan dengan komunitas elit yang dinilai ujung-ujungnya mengorbankannya. Hak asasi manusianya (HAM) seperti hak suaranya dipinang, tetapi kompilasi dan komplikasi penderitannya diabaikan (ditendang). Bahkan rakyat bukan hanya merasa diabaikan, tetapi juga dituntut kembali jadi “ongkos”  mempertahankan jati diri (marwah) negara saat negara kesulitan memberikn jawaban lebih obyektif mengenai realitas yang menimpanya.

Mestinya kekuatan dalam parpol sangat paham, bahwa di dalam diri rakyat, bukan hanya ada hak suara, hak beragama, hak mengekspresikan diri, dan hak membuat jaringan dan organisasi politik, tetapi juga punya hak untuk disejahterakan atau dibebaskan dari penyakit kemiskinan, diberikan pendidikan yang layak, diberi iklim social-politik yang aman yang menjamin keamanan, kesehatan, dan keselamatan nyawanya seperti saat pandemi Covid-19 dimana hak kesehatan dan keselamatannya paling terancam.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis Buku Hukum dan Agama.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES