Kopi TIMES

Mudik dan Risiko Penyebaran Covid-19

Jumat, 01 Mei 2020 - 06:06 | 132.86k
Andi Hidayat, S.Pd (Guru Geografi MAN 1 Gunungkidul)
Andi Hidayat, S.Pd (Guru Geografi MAN 1 Gunungkidul)

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Secara konseptual mobilitas penduduk adalah gerakan penduduk dari tempat asal menuju tempat tujuan dalam waktu tertentu dengan orientasi ekonomi, sosial, agama maupun budaya. Penelitian mobilitas di luar negeri banyak menghasilkan temuan bahwa mereka bergerak kebanyakan untuk tujuan ekonomi, sedangkan di Indonesia, ada pola yang unik, ketika musim lebaran tiba, banyak yang melakukan mudik untuk bertemu dengan keluarga besar di daerah perdikan atau daerah asal.

Dalam teori mobilitas klasik dikatakan bahwa ada kaitan antar mobilitas dengan interaksi desa-kota dan berujung pada peningkatan kesejahteraan dan mobilitas sosial. Jadi mobilitas penduduk mengandung pendekatan geografi karena ada unsur ruang dan waktu. Mobilitas penduduk menurut bentuknya ada mobilitas permanen seperti migrasi, transmigrasi dan mobilitas non permanen seperti menginap, nglaju (bergerak dan kembali pada hari yang sama).

Gerakan  penduduk bisa terjadi dari desa ke kota atau dari kota satu ke kota lain atau sebaliknya dari kota ke desa.Gerakan penduduk dalam prosesnya akan terjadi banyak aktivitas interaksi antarmanusia baik sebelum perjalanan, saat berada dalam perjalanan maupun saat mencapai tempat tujuan.

Seiring dengan pandemi Covid-19 yang menyebar begitu cepat lewat interaksi antarmanusia, maka fenomena mobilitas penduduk ini berdampak pada tingginya resiko penyebaran virus yang kita kenal dengan Covid-19 ini.

Gerakan penduduk domestik yang terjadi dalam suatu negara dapat bersifat sementara dan permanen. Gerakan penduduk yang bersifat permanen misalnya transmigrasi dan urbanisasi, sedangkan gerakan yang bersifat sementara misalnya piknik, nglaju dan mudik. Dari tiga contoh gerakan sementara ada yang bersifat unik dan terjadi dalam jumlah besar yang mungkin hanya terjadi di Indonesia yaitu mudik.

Mudik menurut kamus besar bahasa Indonesia memiliki dua arti. Arti yang pertama mudik adalah pergi ke udik, yaitu pulangnya penduduk kembali ke desanya di pedalaman. Secara geografis desa pada jaman dulu biasanya terdapat di udik atau hulu sedangkan kota berada di hilir. Pengertian mudik yang kedua diartikan pulang ke kampung halaman. Kampung halaman dalam hal ini berarti tempat atau tanah kelahiran.

Mudik dalam pandangan umum masyarakat Indonesia merupakan  fenomena pergerakan penduduk yang bersifat unik dan terjadi setiap tahun kurang lebih seminggu menjelang lebaran. Aktifitas mudik ini dilakukan oleh pendatang dari luar kota yang menetap lama di kota dan pada saat lebaran pulang kembali ke desa atau kampung halaman tempat kelahirannya.

Rasa rindu dengan orang tua, saudara dan keluarga yang ditinggalkan mendorong mereka mudik ke tempat asal. Secara ekonomis mudik merupakan bentuk pengeluaran keuangan yang besar pada setiap orang yang melakukannya, tetapi mereka tidak mempermasalahkan karena bagi mereka silaturahmi adalah perkara yang sakral dan bernilai tinggi jika dilakukan.

Jadi mudik mengandung nuansa budaya bahkan perintah agama karena silaturahmi adalah mengikuti hadits Nabi Muhammad saw. Kata Nabi, bila engkau ingin diperpanjang umurnya,diperluas rezekinya, lakukan silaturahmi.

Saat ini dunia tengah berada dalam ancaman wabah Covid-19. Penyebaran Covid-19 ini bersifat pandemik yang berarti menyebar dengan cepat dalam wilayah luas ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Sebagai contoh dilansir dari yogyakarta.kompas.com kasus Covid-19 yang terjadi di kabupaten Gunungkidul DIY pada akhir Maret 2020 terdapat 1 orang dinyatakan dinyatakan positif terjangkit Covid-19 hingga pada pertengahan April 2020 bertambah menjadi 5 orang positif Covid, 900 lebih termasuk ODP (Orang Dalam Pengawasan), dan lebih dari 50 orang dalam status PDP (Pasien Dalam Perawatan). 

Penyebaran yang cepat ini menyebabkan lumpuhnya berbagai sendi kehidupan di dunia sehingga membuat pemerintah di beberapa negara menerapkan berbagai macam pembatasan aktifitas penduduk seperti larangan berkumpul bersama dalam jumlah banyak hingga melakukan lockdown baik untuk wilayah tertentu hingga seluruh wilayah di negaranya. Salah satu contoh pembatasan aktivitas yang lain adalah dengan melarang penduduk untuk melakukan perjalanan jauh karena dapat berpotensi membuat virus lebih cepat menyebar.

Dari berbagai bentuk pembatasan aktivitas untuk memutus rantai penyebaran Covid-19 di atas, maka kegiatan mudik lebaran yang selalu dilakukan oleh banyak penduduk di Indonesia ini tentu sangat riskan untuk dilakukan. Mudik lebaran selalu dilakukan oleh penduduk Indonesia dalam jumlah besar.

Dilansir dari nasional.kompas.com memberitakan jumlah pemudik lebaran dari  tahun 2013 – 2018 rata-rata mencapai 21,32 juta orang pertahun. Sedangkan data pada tahun 2019 yang lalu dilansir dari tirto.id, Menteri Perhubungan Budi Karya menyampaikan bahwa pemudik lebaran pada tahun 2019 yang lalu mencapai 18.343.201 orang baik yang melalui moda darat, laut, udara maupun kereta api.

Berdasarkan data jumlah pemudik lebaran di atas dapat diidentifikasi akan terjadi kerumunan manusia dalam jumlah besar terutama di lokasi pelayanan transpotasi umum seperti terminal, stasiun, pelabuhan dan bandara. Kerumuman yang besar ini membuat interaksi antar manusia semakin tinggi sehingga penerapan social/physical distancing menjadi tidak efektif dan berpotensi tinggi dalam menyebabkan penyebaran virus covid-19.

Jumlah penumpang yang tidak sebanding dengan sarana trasnportasi umum yang disediakan pemerintah juga berpotensi menyebabkan adanya kontak secara fisik antar penumpang akibat berdesak-desakan.

Fenomena mudik lebaran yang melibatkan jutaan penduduk ini sudah begitu membudaya di semua lapisan masyarakat Indonesia. Aktivitas tersebut mungkin akan sulit ditiadakan sama sekali meskipun saat ini pandemi Covid-19 belum berhenti, dibuktikan dari bertambahnya kasus ODP, PDP hingga kasus orang yang positif terjangkit virus tersebut. Untuk itu kebijakan pemerintah dalam menangani hal tersebut sangatlah dibutuhkan, seperti melarang penduduk untuk mudik lebaran.

Selain itu kesadaran dari penduduk agar tidak mudik lebaran dulu atau menunda di waktu lain saat kondisi sudah aman terkendali juga sangat diharapkan untuk dapat memutus mata rantai Covid-19. Ketika kita dihadapkan pilihan yang serba sulit, antara silaturahmi dan menyebarkan wabah maka ambil yang memiliki manfaat dan jangan memilih yang membawa madharat. Menunda pulang untuk segera mengakiri musibah yang berkepanjangan, itulah pilihan yang beradab. (*)

 

Oleh :Andi Hidayat, S.Pd., Guru Geografi MAN 1 Gunungkidul

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES