Kopi TIMES Universitas Islam Malang

"Kelas Berdasi" dan "Kelas Teri"

Kamis, 30 April 2020 - 13:00 | 56.72k
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis buku Hukum dan Agama.
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis buku Hukum dan Agama.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Dalam identitas formal (secara konstitusionalitas), barangkali  negara  hukum tak akan pernah terhapus dari bumi pertiwi ini, namun dalam kenyataan, negara hukum bisa saja menjadi negara yang identik sebagai negara yang kurang atau jauh dari menunjukkan identitasnya, hal ini bisa terjadi akibat pilar-pilarnya kurang bisa memberi apa-apa pada rakyat atau pencari keadilan sebagaimana yang sudah dijanjikan oleh konstitusi.

Itu diantaranya tak terlepas dari sepak terjang apparat penegak hukumnya yang lebih disibukkan memburu kekayaan (uang berlimpah) daripada melaksanakan kinerja secara transparan, egaliter, berkejujuran, dan berkeadilan. Mereka bahkan ada yang senang terjerumus melakukan ini. Mereka ini bahkan seringkali tidak peduli kondisi rakyat sedang dalam kesulitan ataukah tidak. Baginya yang penting kepentingan atau ambisi-ambisinya terpenuhi.

"Uang tidak dapat memberi Anda rumah yang penuh dengan kasih dan penghargaan dari orang-orang yang tinggal di dalamnya" demikian pernyataan John Hagee,  dalam buku Barack Obama Menerjang Harapan yang diterjemahkan dari buku The Seven Secrets (2006).

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Pernyataan Hagee tersebut secara filosofis edukatif mengajarkan, bahwa setiap orang atau negara harus hati-hati dalam menyikapi pesona uang. Kehadiran uang bukan hanya bisa menipu, mengelabuhi,  dan menyesatkan setiap pengemban  kekuasaan, tetapi juga dapat menggiringnya menjadi “bajingan berdasi”  dan keji yang menggerogoti (menghancurkan) kebahagiaan, kedamaian, dan kesejahteraan banyak orang (rakyat).

Tampilan pelakunya itu mestilah mentereng atau eksklusif, yang terpelajar, atau ahli bersilat lidah, termasuk dalam menyusun kata-kata indah, filosofis, berlogika, dan bahkan etis, namun sepak terjangnya berpola menggarong atau menjarah apa-apa yang jelas-jelas secara yuridis bukan menjadi haknya.

Publik bisa saja tidak percaya kalau mereka itu sangat ganas dan serakah, pasalnya mereka umumnya pintar menciptakan kondisi atau kejadian yang mengesankan kalau dirinya tidak bersalah, dan bahkan bisa menggiring publik untuk memandangnya sebagai sekumpulan orang-orang yang berjasa pada negeri, atau bahkan publik termakan untuk memberikannya label sebagai pejuang atau sosok pengabdi untuk dan demi rakyat.

Jika mereka itu ada dibalik konstruksi negara hukum, maka negara hukum bisa menjadi negara hukum yang gagal, padahal negar hukum merupakan wujud negara yang idealisasinya mampu menyejahterakan rakyat. Namun karena negara ini dipilari oleh banyak oportunis, khususnya dalam lingkungan peradilan, akibatnya negara hukum ini, melalui instrumen-instrumennya gagal memberi yang terbaik pada rakyatnya. Rakyat bukannya diberi keadilan, melainkan sekedar permainan atau rekayasa yang seolah-olah sudag menerapkan “demi keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa”, padahal dibalik itu masihlah praktik yang didasarkan besaran pemberian atau transaksi yang sudah disepakatinya. 

Itu artinya, negara hukum yang sebenarnya berfungsi jadi payung besar dan istimewa bagi kehidupan rakyat, khususnya dalam membumikan program-program pemanusiaan dan keadilan bisa tergiring jadi negara beridentitas “gagal”, manakala praksis manajemen peradilannya terseret dalam sindikasi politik atau pambarteran kepentingan eksklusif lainnya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Ketika ada beberapa oknum hakim tertamgkap basah karena “mengatur perkara”, memang kasus demikian hanya menjadi sebagian kecil dari wajah buram realitas korupsi yang dilakukan “kaum berdasi”, tetapi karena hakim ini selain posisinya pengawal utama konstruksi negara hukum, dan kesejahteraan yang diterimanya dari negara sudah tergolong istimewa, maka kejahatan yang dilakukannya ini layak disebut sangat memprihatinkan dan bisa mendestruksi konstruksi negara hukum  baik sekarang maupun mendatang.

Uang di negara ini bisa digunakan (diosisikan) oleh siapapun sebagai alat mati yang membuat negara hukum atau supremasi konstitusi beralih jadi negeri permainan, yang menempatkan setiap elemen peradilan, kekuasaan dan legislatif, mampu beradu okol dan akal untuk saling menjegal dan menghabisi.

Norma yuridis konstitusional yang semestinya bisa menjaring dan mempertanggungjawabkan setiap “yang terduga” melakukan penyimpangan, dialihkan targetnya menjadi instrumen yang mendiskriminasikan atau memihak sampai memproteksinya.

Dari kekuasaan yang terbeli itu, uang bisa “diundang” sebanyak kemauan bebas penguasanya atau siapapun aparat yang bermaksud menciptakan atmosfir negara hukum kian darurat, seperti membeli institusi politik supaya kian rusak, produk yuridis supaya jadi produk yang ternodai atau terkooptasi, kolaborasi dengan segenap elemen masyarakat supaya terjadi “pemerataan” pelanggaran konstitusi menjadi seantero nusantara.

Itulah dahsyatnya dampak ulah “bajingan berdasi”, yang ini sangat berbeda jauh kalau yang melakukan para penjahat kelas teri, seperti mencopet, menjabret, mengambil jemuran, sandal dan sepatu, yang kalapun dijual lagi harganya tidak seberapa, yang akibatnya dari sisi ekonomi sangat kecil.

Bedanya lagi, kalau merek da yang “kelas teri” yang tertangkap basah, mereka bisa remuk dihakimi massa. Mereka seolah yang menjadi musuh utama masyarakat, padahal yang diambilnya tidak seberapa, sementara yang “bajingan berdasi” terlindungi dan kalaupun ditangkap, masih bisa melambaikan tangannya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis buku Hukum dan Agama.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES