Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Memaknai Wabah Sebagai Media Muhasabah

Kamis, 30 April 2020 - 11:19 | 84.29k
Dr. Muhammad Fahmi Hidayatullah, M.Pd.I, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) dan Kepala Pusat Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran, Universitas Islam Malang (UNISMA).
Dr. Muhammad Fahmi Hidayatullah, M.Pd.I, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) dan Kepala Pusat Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran, Universitas Islam Malang (UNISMA).
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Belajar kehidupan dari wabah yang menimpa kita semua, perlu sekali kita memahami dengan perpektif pandangan para sufi. Pada tulisan ini, penulis ingin melanjutkan pembahasan sebelumnya tentang nasehat ibnu atha’illah as sakandari di tengah pandemi, bahwa nasehat yang kedua adalah mensyukuri keberadaan wabah. Karena orang yang husnudzan kepada Allah secara tidak langsung hatinya bisa bersyukur.

Syukur merupakan rasa berterima kasih kepada Allah atas kenikmatan yang telah diberikan. Mengsyukuri nikmat Allah tidak harus berbentuk nikmat kebaikan yang diterimanya, tetapi juga perlu mengsyukuri nikmat buruk yang sedang menimpa Karena, bagaimana pun juga, kehidupan dunia adakalanya manis dan ada kalanya pula pahit. Terkadang manusia hanya bisa mengsyukuri nikmat yang manis saja dengan mengabaikan nikmat yang pahit. Inilah yang perlu kita refleksikan bersama dengan kondisi sekarang.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Hal tersebut tentu sangat disayangkan sekali, mengingat takdir kehidupan begitu cepat berubahnya. Kadang pagi kita bisa tersenyum, dan siangnya menangis. Jangankan begitu, orang yang akan meninggal saja, masih dihadapkan dengan masalah, apalagi yang sehat seperti kita sekarang.

Dari sinilah kita perlu belajar kembali bahwa bersyukur menempatkan seseorang berada pada wilayah nikmat. Sementara kufur terhadap nikmat Allah, akan menempatkan seseorang pada posisi tersiksa.

Dalam pandangan para sufi hakikat dari siksa itu sendiri yakni, haqiqatul adzab hiyal hijab adalah hakikat siksa adalah tertutup hatinya/tidak mengenal Allah. Jadi jangan sampai manusia merasa tersiksa dengan nikmat, karena jika terjadi demikian, maka hatinya sedang tertutup. Firman Allah dalam surat ar rahman ayat 22: la`in syakartum la`aziidannakum wa la`ing kafartum inna 'adzaabii lasyadiid artinya Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.

Ayat tersebut pada hakikatnya Allah ingin menempatkan manusia pada posisi maqam ridha karena hakikat manusia diturunkan ke bumi ini berada pada maqam syukur atau maqam nikmat. Jadi peristiwa apapun yang dialami manusia pahit atau manis, hendaknya senantiasa bersyukur kepada Allah dengan cara mengikat nikmat tersebut, dan pada akhirnya akan mendapatkan kenikmatan yang lain. Dalam pandangan Ibnu Atha’illah As Sakandari dijelaskan dalam kitab Hikam, man lam yasykurin niama faqad taarradha lizawaa lihaa, waman syakarahaa faqad qayyadahaa biiqaa lihaa, artinya barang siapa tidak mensyukuri nikmat Allah, berarti dia berusaha untuk menghilangkan nikmat itu, dan barangsiapa yang mensyukuri nikmat Allah, berarti dia telah mengikat nikmat itu dengan ikatan yang kuat.

Dari firman Allah dan pesan sufi di atas, mari kita jadikan keberadaan wabah sebagai mendia untuk banyak belajar tentang penting bersyukur kepada Allah. Mengsyukuri dengan nuansa ihsan (curahan kebaikan), baik dalam hati nurani, bentuk lisan maupun  anggota tubuh. Ihsan dalam hati nurani adalah meyakini dengan sepenuh hati akan wabah yang diturunkan sebagai nikmat Allah untuk manusia. Nikmat itu disertai dengan keberkahan yang melimpah karena wabah ini menjadikan manusia bisa lebih dekat dengan Allah.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kedua, ihsan dalam bentuk lisan selain bedzikir mengingat Allah yakni senantiasa menyampaikan manfaat dari keberadaan wabah kepada orang di sekitar, bahwa keberadaanya menjadikan manusia lebih disiplin dan istiqamah dalam melaksanakan ibadah lima waktu khususnya. Ketiga, ihsan dalam bentuk anggota tubuh selain menghindari perbuatan maksiat adalah menikmati seluruh aktivitas yang dilakukan di dalam rumah, termasuk tidak mudik dan tidak keluar rumah kecuali ada kepentingan yang benar-benar mendesak misalkan membeli makanan dan lain sebagainya. Seluruh ikhtiar kita lakukan bersama demi memutus mata rantai wabah ini. Karena tidak mungkin kita memasrahkan semuanya kepada pemerintah dan Allah SWT. Tetapi kewajiban kita adalah ikhtiar dan berdoa yang selanjutnya bertawakkal.

Dengan demikian, seluruh peristiwa yang menimpa manusia, pada hakikatnya adalah nimat Allah untuk hamba-Nya. Setiap peristiwa dapat dipastikan ada hikmah kehidupan. Sebagaimana keberadaan wabah yang menjadi media muhasabah (evaluasi diri) kepada Allah atas kehidupan yang telah dilalui. Selain itu wabah dapat mempersiapkan kehidupan manusia menjadi lebih baik di masa mendatang. Pesan terakhir Ibnu Atha’illah adalah agar ujian terasa ringan, engkau harus mengetahui bahwa Allah lah yang memberimu ujian. Dzat yang menetapkan beragam takdir atasmu adalah Dzat yang selalu memberimu pilihan terbaik.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Dr. Muhammad Fahmi Hidayatullah, M.Pd.I, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) dan Kepala Pusat Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran, Universitas Islam Malang (UNISMA).

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-3 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES