Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Ngaji Matematika (2): Matematikawan Ulul Albab

Kamis, 30 April 2020 - 08:54 | 182.74k
Abdul Halim Fathani, Pemerhati Pendidikan dan Dosen Pendidikan Matematika Universitas Islam Malang.
Abdul Halim Fathani, Pemerhati Pendidikan dan Dosen Pendidikan Matematika Universitas Islam Malang.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANGMATEMATIKAWAN ulul albab merupakan sosok matematikawan ideal yang “penting” mendapatkan perhatian prioritas bagi semua kalangan. Matematikawan ulul albab merupakan jawaban dari pelbagai kegelisahan yang menjangkiti kita selama ini.

Menurut Muhamin (2016) Istilah ulul albab terulang sebanyak 16 kali dalam al-Quran. Di antaranya dalam surat Ali Imran ayat 190-191:

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal." (QS. Ali Imran: 190)

 "(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka." (QS. Ali Imran: 191)

 Berpijak pada ayat ini, seseorang disebut ulul albab, apabila memenuhi dua kriteria, yakni orang yang senantiasa berdzikir kepada Allah swt dan selalu berpikir terhadap ciptaan-ciptaan-Nya.

Muhaimin (2016) mendeskripsikan karakteristik sosok ulul albab dalam surat Ali Imran ayat 190-191 tersebut sebagai “Orang yang selalu sadar akan kehadiran Tuhan dalam segala situasi dan kondisi, baik saat bekerja maupun beristirahat, dan berusaha mengenali Allah dengan kalbu (dzikir) serta mengenali alam semesta dengan akal (pikir), sehingga sampai kepada bukti yang sangat nyata tentang keesaaan dan kekuasaan Allah swt.” 

Dzikrullah artinya mengingat Allah. Perkataan “sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring” dalam surat Ali ‘Imran ayat 191 menunjukkan bahwa ulul albab itu mengingat-ingat Allah swt dalam setiap waktu dan segala keadaan. Berdzikir (mengingat) yang secara terus-menerus kepada Allah menjadikan seorang Ulul Albab memiliki hati yang tenang. Akhirnya ia mampu berpikir jernih sehingga mencapai sukses dalam banyak usahanya.

Siapa pun orangnya yang belajar matematika, maka ia harus mampu menjadikan matematika sebagai sarana untuk mengingat Allah swt. Salah satu media yang dapat digunakan untuk menjadikan matematika sebagai wasilah berdzikir kepada Allah swt adalah melalui al-Quran al-Karim.

Abdussakir (2007) menerangkan bahwa dalam konteks Matematika, al-Quran sesungguhnya telah berbicara tentang bilangan, aljabar, geometri dan pengukuran, serta statistika. Dalam al-Quran disebutkan sebanyak 38 bilangan berbeda yang terdiri dari 30 bilangan asli dan 8 bilangan pecahan. Al-Quran berbicara aljabar, yakni operasi bilangan. Al-Quran berbicara mengenai geometri dan pengukuran, yakni mengenai panjang dan luas. Al-Qur’an juga berbicara mengenai statistika, yakni mengenai pengumpulan data, pengolahan data, dan penarikan kesimpulan. Amal semua manusia dikumpulkan, lalu diolah melalui neraca timbangan yang disebut mizan, dan kemudian disimpulkan apakah masuk surga atau neraka.

 Aspek kedua yang terkandung dalam firman Allah swt di atas adalah Tafakkur. Tafakkur bermakna mengamati dengan saksama, menganalisis dengan cermat, dan menyimpulkan analisisnya itu secara matang. Yang diamati, dianalisis dan disimpulkan adalah proses penciptaan langit dan bumi beserta segala isinya. Tafakkur yang berjalin erat dengan dzikrullah tidak akan menimbulkan stres di dalam jiwa.

Dalam konteks orang yang belajar Matematika, baik ketika masih di bangku SD, SMP, SMA, maupun tingkat perguruan tinggi, berarti ia sudah melaksanakan ciri ulul albab yang kedua, yakni tergolong orang-orang yang berfikir. Namun, berfikir yang dimaksud bukan berfikir keilmuan matematika saja, tetapi harus mampu menghadirkan prinsip-prinsip ilahiyah dalam matematika.(Kartanegara, 2005:10).

Selama ini yang sering terjadi dalam proses pembelajaran di kelas, para guru jarang untuk mencoba menginternalisasikan nilai-nilai ilahiyah dalam pelajaran matematika. Mereka berargumen, bahwa nilai-nilai ilahiyah bukanlah tugas guru matematika, tetapi hal tersebut dibebankan kepada tugas guru agama saja.

Hal inilah salah satu faktor yang menyebabkan ada anggapan dikotomi keilmuan, antara Matematika dan Agama. Al-Qur’an, seyogianya menjadi sumber inspirasi untuk mengembangkan keilmuan matematika. Jika demikian, maka seorang ahli matematika pun dapat menggunakan matematika sebagai wasilah untuk memikirkan alam semesta sebagai bukti atas kebesaran dan kemahakuasaan Allah swt.

Selain kedua kriteria di atas, sebagai orang yang belajar Matematika, perlu dilengkapi (baca: ditambah) dengan kriteria yang ketiga, adalah amal shaleh. Amal shaleh merupakan turunan dari dzikirullah dan tafakkur. Artinya, jika seorang manusia telah melaksanakan dzikir dan fikir secara sempurna, maka ia harus berlanjut untuk melakukan amal shaleh. Hal ini sebagai wujud hubungan sesama manusia (habl min al-naas) yang merupakan  implemantasi dari hubungan dengan sang Khalik (habl min Allah). Seseorang tidak akan mungkin dapat mencapai derajat ulul albab, jika ia hanya mengandalkan aspek dzikir dan fikir saja.

Tuntutan dari seorang matematikawan yang ingin mencapai derajat ulul albab adalah tidak hanya menjadikan matematika sebagai wasilah untuk berdzikir dan bertafakkur saja, melainkan harus mampu menjadikan matematika untuk membangun kemaslahatan umat manusia. Keberadaan matematika harus banyak memberi manfaat bagi kelangsungan kehidupan manusia.

Alhasil, untuk membangun generasi matematikawan ulul albab adalah diperlukan pelbagai ikhtiar yang dapat mengintegrasikan aspek dzikir, fikir, dan amal shaleh dalam satu kepribadian utuh dalam setiap matematikawan. Sosok matematikawan ulul albab adalah seorang matematikawan yang menjadikan Allah swt sebagai landasan untuk mengembangkan ilmu matematika yang mengakibatkan lahirlah nilai-nilai ilahiah (spiritual) dalam matematika sebagai wujud habl min Allah, kemudian selalu melakukan proses berpikir demi pengembangan keilmuan matematika, dan mengedepankan aspek kemaslahatan manusia, sebagai wujud habl min al-Naas. (*)

***

*)Oleh: Abdul Halim Fathani, Pemerhati Pendidikan dan Dosen Pendidikan Matematika Universitas Islam Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-3 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES