Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Memaknai Simbol Tradisi Lokal Ramadhan

Rabu, 29 April 2020 - 10:28 | 81.99k
Moh. Badrih,  Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UNISMA, Aktivis Remaja Masjid Kota Malang, Pengurus Ponpes Al Madani Kota Malang.
Moh. Badrih,  Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UNISMA, Aktivis Remaja Masjid Kota Malang, Pengurus Ponpes Al Madani Kota Malang.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Indahnya Islam saat bergandengan mesra dengan tradisi dan budaya setempat tak dapat diukur dengan apapun. Meskipun Islam lahir di gurun pasir yang sangat tandus, tetapi ajaran-ajarannya menjadi angin penyejuk pada di setiap hati sanubari manusia di seluruh belahan dunia. Demikian juga dengan Wali Songo yang menjadi estafet penyebar Islam di Pulau Jawa, sosoknya selalu mengedepankan kearifan lokal dan tradisi lokal dalam menyebarkan agama Islam. Sehingga banyak peninggalannya yang masih dilestarikan hingga kini termasuk trandisi lokal dalam menyambut bulan Suci Ramadhan.

Tradisi lokal yang masih dilestarikan dalam menyambut bulan Ramadhan yaitu, ‘nyadran’, ‘nyorok’, ‘nyekar’, ‘danggangan’, ‘padusan’, ‘meggengan’, dll. Jenis tradisi tersebut merupakan varian untuk mengangungkan bulan Suci Ramadhan. Pada masing-masing daerah memiliki tradisi yang berbeda dengan daerah lainnya. Trandisi yang berbeda ini berdasarkan kebiasaan masyarakat setempat dan hasil bumi yang dihasilkan pada tiap-tiap daerah. Dari sekian tradisi lokal tersebut, tentu semuanya merupakan bentuk-bentuk simbolis yang memiliki makna selaras dengan ajaran Islam.

Pertama, nyadran. ‘Nyadran’ berasal dari kata ‘sadran’ (Bahasa Jawa) yang bermakna leksikal ‘ruwah dibulan Sa’ban’. Secara kontekstual tradisi ini dimulai dari kegiatan membersihkan makam-makam leluhur samapai kegiatan selamatan. Di daerah Jawa ‘nyadran’ dilaksanakan sebelum Ramadhan sedangkan di daerah lain banyak dilakukan pada saat bulan Ramadhan. Secara simbolis kegiatan ‘nyadran’ dapat diartikan sebagai ‘ingat pati’ bahwa setiap manusia yang hidup pada hakikatnya akan meninggal, sedangka tujuan hidup di dunia tidak lain ialah mencari bekal untuk di bawa ke akhirat.

Saat kita mendatangi makam orang tua atau leluhur kita, kesan yang pertama muncul adalah ‘hening’. Bahwa hidup dalam kesejatian pada haikatnya ‘hening’ sedangkan ‘hura-hura’ atau gemerlap duniawi sejatinya adalah ‘mutta’ul urur’. Demikian juga dengan ibadah pada bulan suci Ramadan. Semunya akan dijadikan bekan untuk menuju akhirat. Agar semuanya tersebut diigat oleh masyarakat, maka dalam tradisi Jawa diadakanlah tradisi ‘nyadran’.

Kedua, ‘meggengan’. Kata ‘mengengan’ berasal dari kata ‘menahan’. Menurut Syam (kumparan; 2020) dalam konteks Ramadhan, berarti menahan hawa nafsu yang terkait dengan makan, minum, dan berbuhubungan seksual dll. Akhir-akhir ini, kegiatan ‘meggengan’ sudah banyak yang berubah, mestinya kegiatan ini dimulai dengan mandi keramas, ziarah kubur, dan doa bersama sambil membagikan kue apem. Namun, di antara tiga kegiatan tersebut terkadang hanya dua bahkan satu kegiatan saja yang masih bertahan.

Secara simbolis tiga kegiatan tersebut dapat dimaknai bahwa sejatinya manusia itu adalah fitrah, tetapi dengan berbagai aktivitasnya di dunia membuat kefitrahannya ternodai sehingga harus disucikan kembali. Simbol air dapat sebagai ajaran Islam yang dapat membersihkan batin dari berbagai kesalahan, sedangkan siraman air dari ujung rambut sampai kaki bermakna taubat secara kaffah lahir dan batin. 

Selanjutnya kegiatan ‘meggengan’ kedua ialah ziarah kubur sebagai simbol dari orientasi kehidupan dunia. Setelah dua hal tersebut dilaksanakan barulah melaksanakan doa bersama untuk keselamatan dan kelancaran melaksanakan ibadah puasa. Simbol terakhir dari ‘meggengan’ ialah membagi ku apem. Nama kue ‘apem’ berasal dari bahasa Arab ‘afwan’ artinya sama-sama memaafkan sebelum datangnya bulan suci Ramadhan.

Ketiga, ‘nampane’. Tradisi ‘nampane’ pada umumnya dilaksanakan oleh masyarakat Madura. Trandisi ini lumrah dilaksanakan pada malam pertama Ramadhan sebagai tradisi yang telah diselenggarakan secara turun-temurun. Kegiatan yang dilaksanakan kegiatan ini ialah kirim doa dan membagi-bagi berkat. Secara simbolis kegiatan ini dapat dimaknai bahwa keberadaan kita di dunia ini karena orang tua kita, demikian juga dengan harta kekayaan dan tradisi intelektual yang kita miliki, semuanya merupakan warisan dari orang tua dan guru-guru kita. Maka pada saat menyambut datangnya bulan suci Ramadhan, sudah menjadi kewajiban anak-anak untuk mengingat kembali jasa-jasa orang tua terutama yang telah wafat. Sejatinya tradisi kirim doa tidak harus menunggu setahun sekali, namun bulan Ramadhan adala bulan untuk menfitrahkan kita lahir dan batin maka trandisi kirim doa awal Ramadhan sebagai bentuk permohonan maaf atau segala kesalahan dan kehilafan kepada orang tua terutama yang telah wafat.

Beberapa bentuk tradisi lokal tersebut sebagai perwujudan bahwa Islam selalu selaran dengan nilai-nilai tradisi dan budaya masyarakat apapun. Oleh karena itu, nilai-nilai Ramadhan akan menjadi semakin khikmad saat kita hidup berdampingan dengan tradisi secara lentur. Semoga kita senantiasa dijadikan hamba-hamba-Nya yang selalu mendapat petunjuk dan ridho-Nya, amin.

***

*)Oleh: Moh. Badrih,  Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UNISMA, Aktivis Remaja Masjid Kota Malang, Pengurus Ponpes Al Madani Kota Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES