Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Belajar Dari Kisah Al-Imam Fudhail Bin Iyad di Bulan Penuh Maghfirah

Selasa, 28 April 2020 - 10:50 | 186.07k
Kukuh Santoso, M.Pd.I, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI), Ketua Takmir Masjid Ainul Yaqin Unisma.
Kukuh Santoso, M.Pd.I, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI), Ketua Takmir Masjid Ainul Yaqin Unisma.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Fudhail bin Iyadh nama orang memanggilnya, setiap malam dia mendatangi rumah-rumah yang ada di negeri itu untuk melakukan aksinya, yaitu merampok. Hingga suatu malam dia kembali melaksanakan aksinya. Kali ini ia ingin menemui seorang gadis yang selama ini ia rindukan. Di saat ia memanjat dinding untuk menemui gadis impiannya. Pada saat yang bersamaan ketika dia telah berada di rumah itu, tiba-tiba dia mendengar suara lantunan Al Qur’an sedang dibacakan. Rupanya suara itu berasal dari sang pemilik rumah yang sedang berdiri bermunajat kepada Robb-nya. Sang pencuri pun hanyut dengan lantunan ayat-ayat Allah yang sedang dilantunkan, hingga ketika sampai pada ayat,

Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperi orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al-kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan diantara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hadid: 16)

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Tak terasa air matanya berlinang, hingga akhirnya dia pun tersungkur jatuh. Seketika badannya yang selama ini kokoh, menjadi rapuh karena mendengar ayat tadi. Dia pun berkata dalam hatinya untuk menjawab pertanyaan Allah yang terdapat dalam ayat di atas, “Wahai Rabb-ku, telah tiba saatnya”.

Fudhail bin Iyadh merupakan salah satu sufi besar dalam sejarah tasawuf, ada pesan di balik kisah kisah Fudhail ini yang sangat penting untuk menjadi bahan renungan bagi kita dalam memandang orang lain yang kita anggap sebagai “ahli maksiat”. Sebab, bisa jadi seorang ahli maksiat yang kita jelekkan dan kita sebarkan keburukannya itu justru termasuk golongan orang lebih baik yang kelak bertaubat kepada Allah. Sementara kita yang merasa baik, akibat kita menghina orang yang kita anggap ahli maksiat itu, justru tercatatat sebagai orang sombong yang mengakhiri hidupnya dengan su’ul khatimah, Bukankah kemaksiatan yang mewariskan rasa hina dan rendah di hadapan Allah lebih baik daripada ketaatan yang mewariskan rasa ujub dan sombong? Sebagaimana mutiara hikmah : Laa tahtaqir man duunaka falikulli syai'in maziyyatun “Janganlah engkau menghina orang lain, karena setiap orang mempunyai kelebihan”

Meski Fudhail telah kembali ke jalan Tuhannya, namun dia tidak lupa terhadap masa lalunya yang kelam itu. Karena itu semakin bertambah kedekatan dan pengagungan Fudhail kepada Allah, maka semakin bertambah pula rasa takut dan kesusahannya karena mengingat masa lalunya itu, terutama tatkala dia mendengar nama Allah atau ayat-ayat al-Qur’an. Ibrahim bin al-Asy’asy berkata:.

“Aku tidak melihat seorang-pun yang Allah lebih agungkan dalam hatinya melebihi Fudhail bin Iyad. Tatkala nama Allah disebut atau dia mendengar al-Qur an maka tampak rasa takut dan susah pada dirinya dan kedua matanya mengalirkan air mata hingga orang yang dihadapannya merasa sangat kasian. Dia selalu tampak susah dan berpikir keras’’.
Kesusahan Fudhail tersebut sering kali juga berpengaruh pada sahabat-sahabat dan santri-santrinya. Meski sebenarnya mereka ahli ibadah, wara’, zuhud dan termasuk orang yang makrifat kepada Allah, namun mereka merasa diri mereka lebih pantas untuk susah dibanding Fudhail. Abdullah bin Mubarak berkata: “Jika aku melihat Fudhail bin Iyad maka dia memperbaharui rasa susahku (terhadap dosa-dosaku). Sehingga aku membenci diriku (karena dosa-dosaku)”.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Maha suci Allah yang telah membolak-balikkan hati, dan menganugerahkan kepada hamba-Nya hati yang lembut. Itulah kisah seorang penyamun (perampok) jahat berubah menjadi seorang ulama’ dan hamba yang sholeh, Al-Imam Al-Fudhail bin Iyadh sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Hafizh Adz-Dzahabiy dalam kitabnya Siyar A’lam An-Nubala’ (8/423)Kisah ini amat ajaib, dimana Allah mengubah hati sekeras batu menjadi hati selembut air. Dia bertobat dengan sejujurnya di hadapan Allah sampai Allah mewariskan kepadanya hati amat lembut dan mudah mengingat Allah.

Momentum bulan suci ramadhan ini, dimana bulan yang penuh mahgfirah ini kita jadikan sebagai pelajaran dan muhasabah atas dosa dan khilaf yang pernah kita lakukan melalui kisah teladan ulama besar al imam fudhail bin iyad, sehingga membuka spirit kita untuk semakin giat dalam menjalanan ibadah kepada allah swt. Kita yakin dan percaya bahwasannya maghfirah allah lebih luas dari dosa dan khilaf yang kita lakukan. Karena allah memiliki sifat al-afuwwu, at-tawwab.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Kukuh Santoso, M.Pd.I, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI), Ketua Takmir Masjid Ainul Yaqin Unisma.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES