Kopi TIMES

Mencari Bekal Ilmu Ilaihi Rajiun

Minggu, 26 April 2020 - 04:05 | 102.29k

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Saya sering diminta khutbah, ceramah, bicara agama di kampus. Bahkan di Pondok Pesantren. Ada saja orang bertanya, dulu belajar agama di mana? 

Dalam hati saya, orang yang bertanya, sebenarnya sudah tahu, saya tidak punya latar belakang pendidikan agama. Saya bukan alumni sebuah madrasah. Apalagi di pesantren. Saya juga tidak belajar bidang agama di perguruan tinggi. 

Itu memang kekurangan saya. Saya tidak pernah menutup-tutupi. 

Bagi saya kekurangan itu bukan hal yang harus dirahasiakan. Saya justru menjadi percaya diri. Tidak pernah belajar agama, secara formal, tapi dipercaya bicara agama. 

Mereka yang mempercayai saya bicara agama, tidak saja institusi keagamaan di Indonesia. Saya juga diminta berbicara agama di beberapa negara Islam. Saya pernah bicara agama di Saudi Arabia, Mesir, Iran, Yaman, Sudan, Maroko, dan lain-lain.

Umpama tidak pernah menjadi rektor UIN Malang, selama 16 tahun, saya pantas disebut seorang muallaf. Bagaimana tidak, saya tidak pernah belajar di pesantren. 

Sekolah saya sejak kecil di SD, SMP, SMA, masuk IAIN jurusan bahasa Inggris. Kemudian belajar ilmu sosial politik hingga lulus S3 di Universitas Airlangga. 

Saya tahu Islam hanya dari dengar-dengar saja, bukan dari guru. Menyadari kekurangan itu, saya tidak pernah berhenti belajar kepada siapa saja, di mana saja. Paling tidak, lewat bertanya. 

Sekali pun tidak pernah belajar Islam di lembaga pendidikan Islam formal, saya punya gambaran sedemikian ideal konsep dan kehidupan Islam. 

Di mata saya, Islam sedemikian indah. Namun jujur, dan terus terang, saya kecewa sekali dengan Islam yang terimplementasikan dalam kehidupan nyata selama ini. Kala berbicara Islam dalam pendidikan, ekonomi, politik, maupun sosial, dan hampir di semua kehidupan, mengecewakan saya. 

Bicara Islam seolah-olah bicara kemunduran. Bicara Islam seperti bicara ketertinggalan, kekalahan, bahkan keterpurukan. Begitu pula perilaku ummat Islam, tidak terkecuali perilaku elitenya. 

Berbohong, tipu menipu, konflik, hina menghina, merendahkan, salah menyalahkan, dan bahkan korupsi, dilakukan oleh elite orang Islam. 

Islam mengajarkan kasih sayang, tolong menolong, menghargai orang lain, menjaga persatuan, dan seterusnya. Tetapi, semua seolah-olah ajaran Islam yg indah itu sudah ditinggalkan umatnya. 
Seakan-akan Islam tinggal namanya. 

Al-Qur'an kehilangan makna yang dikandungnya.  Yang tersisa hanyalah tulisannya. Anjuran agar bersatu dalam al Qur'an, sedemikian jelas. "Wa' tasimuu bi hablillshi jami'a walaa tafarraquu.." 

Namun itu terasa diabaikan.  
Juga diingatkan dalam surat ar Ruum ayat 31 dan 32 tentang seharusnya dihindari adanya kelompok-kelompok, firqah-firqah. Ternyata para elite Islam bernikmat-nikmat di wilayah perpecahan itu.

Suasana batin yg secara singkat saya sampaikan tersebut, ketika membaca statemen Prof. Fauzul iman, Rektor UIN Banten. Juga Prof. Lias Hasibuan, Guru Besar UIN Jambi. Terkait pengamatannya, puasa tidak bisa mengubah perilaku dan demikian pula shalat. Saya langsung memberikan komentar. 

Saya berkeyakinan hal tersebut pasti ada persoalan terkait kualitas shalat dan puasanya. Ada sesuatu yang masih perlu disempurnakan terhadap kegiatan ritual tersebut. 

Membaca statemen kedua guru besar tersebut, saya kemudian teringat beberapa ayat al-Qur'an tentang shalat, puasa, kiblat, Baitullah yang ternyata menjadi sentral  dalam menjalankan ritual. Tetapi banyak terlupakan. 
Di antaranya tentang shalat yang dilakukan secara sembarangan.  Tidak akan mampu mengubah perilaku.  

Demikian pula tentang puasa. Disebut dalan hadits, banyak orang berpuasa tapi tidak memperoleh apa-apa, kecuali lapar dan dahaga. 
Maka, pandangan Prof. Fauzul Iman tersebut, saya sebut serius dan mendasar. 

Statemen Rektor UIN Banten tersebut harus mendapatkan perhatian dan jawaban dari para guru besar UIN/IAIN/STAIN dan lainnya. Saya bermaksud bukan merendahkan atau menyalahkan.  Saya justru merasa senang mendengar sesuatu yang penting untuk dijadikan momentum membangun kesadaran dan langkah perbaikannya.

Sekarang ini, saya memang berusaha mengkaji al-Qur'an. Dari awal surat hingga akhir. Saya baca berulang-ulang. Saya ingin tahu, kitab suci ini sebenarnya bicara tentang apa?  

Benda yang dibicarakan oleh al-Qur'an itu sebenarnya apa? 
Saya merasa harus tahu. Sebab setiap kata pasti menunjuk benda yang dikata. 
Tidak mungkin kitab suci yang agung mengatakan sesuatu yang tidak ada bendanya. Al-Qur'an tidak mungkin hanya kumpulan kata-kata. Melainkan, kata-kata itu ada benda yang jelas yang dikatakan. 

Saya berusaha mencari hal tersebut. Tidak ada tujuan lain, kecuali agar mengerti Islam. Saya ingin memperoleh bekal dalam ber-Islam dengan baik. Ketika kelak saya pulang ke kampung  yg sebenarnya, kampung akherat. 

Dengan begitu, saya tahu jalannya. Saya tahu alamat tempat saya pulang kelak. Saya juga bisa memiliki bekal pulang (raaji'un ) yang mencukupi.

Karena itu, siapapun yang mau saya jadikan teman berdialog dan bermusyawarah tentang agama, saya pandang sebagai guru.
Belajar agama tidak boleh berhenti hanya alasan tua. 
Belajar agama seharusnya dilakukan seumur hidup, sebagai bekal berpulang kelak hingga ke kampung akherat. (*)

Penulis adalah Prof Imam Suprayogo (Guru Besar UIN Malang, Ketua Penasehat DPW SAHI Jawa Timur, Anggota Dewan Pembina UNISMA Malang)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Rifky Rezfany

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES