Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Puasa: Taubat Individual dan Struktural

Jumat, 24 April 2020 - 12:03 | 64.41k
Ana Rokhmatussa’diyah, Doktor Ilmu Hukum dan Dosen Fakultas Hukum Unisma, Penulis sejumlah Buku dan Ketua Pokja 1 TP PKK Kota Malang.
Ana Rokhmatussa’diyah, Doktor Ilmu Hukum dan Dosen Fakultas Hukum Unisma, Penulis sejumlah Buku dan Ketua Pokja 1 TP PKK Kota Malang.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Sebelum wabah Corona menyerang masyarakat dunia dan khususnya negeri ini, boleh dikatakan sangat sering diberitakan tentang para pemegang amanat kekuasaan yang terkena masalah hukum atau diduga memprodukberbagai bentuk penyakit kekuasaan atau ”virus strukturak” yang bernama  menyalahgunakan nilai-nilai amanat, yang salah satu bentuknya berupa penyimpangan etika kerja dan penyelewengan norma hukum.

Seiring dengan serangan Corona ini, tiba-tiba pemberitaan yang berkaitan deagan dugaan penyimpangan kekuasaan menjadi senyap, seolah di negeri ini sudah benar-benar suci dari penyakit jabatan, dan seolah yang sedang menjadi musuh utama tinggal serangan wabah Corona. Benarkah demikian ini? Atau sungguhkah para pemegang amanat kekuasaan sedang menyadari bahwa jabatn harus dijaga dengan pertaruhan jiwa raga dan etika?

Selam aini di kalangan merka itu seolah cermin gampangnya jadi sosok manusia yang terjebak memelihara dan melanggengkan penyakit kekuasaan dengan cara membiarkan ambisinya terus mengembara mencari kekayaan atau mengumpulkan pundi-pundi keuangan secara ilegal.

Mereka itu terjerumus dalam praktik memanfaatkan kekuasaan atau jabatannya untuk membangun dan melestarikan kultur anomalistik. Mereka cerdik membuka ”ruang basah” untuk mendatangkan ”rizki” ilegal berlimpah ruah, yang tentu saj mengakibatkan kehidupan rakyat menjadi banyak kehilangan keberdayaannya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Penyakit yang dibiarkan menyerang bangunan spiritualistik itu dijadikannnya sebagai opsi dan bahkan ”magnet” kriminalistik untuk mewujudkan atau mengembangkan ”keserakahan” sektoral, kelompok, dan kerabat-kerabatnya hingga seolah perburuan ini tidak mengenal titik nadir.

Mereka itu tampak terbaca sangat lihai dan bisa bertualang atas nama baju kekuasaannya untuk menuai keuntungan material yang tidak halal. Mereka bahkan menjadikan cara ini sebagai strategi dan kultur logis dalam lingkaran strukturalnya, sehingga kalau dilihat dari kacamata agama sebagai dosa  atau aib struktural.

Itulah yang membuat kondisi spiritualitas pengemban kekkuasaan di Indonesia harus disembuhkan atau menyembuhkan dirunya, salah satunya dengan puasa, pasalnya dengan berpuasa (ramadan) ini, diniscayakan terjadi transformasi dari jiwa dan gaya hidup tersesat jalan atau yang berpenyakitan menuju jiwa atau kepribadian yang bersih, dari nurani yang ditumpulkan oleh kepentingan keduniaan (kesenangan) menjadi nurani yang cerdas  membangun dan menguatkan konstruksi relasi vertikal (hablumminallah) dan humanitasnya (hablumminannas).

Firman Allah SWT menyebutkan, hai orang-orang yang beriman, diwajibakan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa (QS, Al-Baqarah:  183), yang menunjukkan, bahwa derajat ketakwaan (kemuliaan hidup)  hanya bisa diperoleh manusia Indonesia yang ”berani” dan militan mentransformasi ruhaninya, dari diri yang  ternoda menuju eksistensi  diri yang ”menghidupkan” Tuhan dalam segala aktifitas kehidupannya.  

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kumpulan pengemban amanat kekuasaan Indonesia itu dituntut, berkeharusan menggunakan momen puasa ini untuk (salah satunya)  membumikan ”taubat  individual dan struktural”. Selama jalna taubat ini tidak dilakukannya, maka ragam masalah atau virus diniscayakan masih bertahan menguji dan bahkan merajalela di negeri ini.

Taubat individual dan struktural itu menjadi jalan pembaruan, pemberdayaan, dan pencerahan, yang bukan hanya dapat berdampak pada restorasi mentalitasnya secara individual, tetapi juga secara struktural.  Ada konvergensi antara kepentinga individu dengan kepentingan kekuasaan yang dipercayakan pada individu ini.

Taubat individual dan struktural itu tidak main-main, karena secara individu seseorang yang jadi pengamban amanat kekuasaan punya keberanian membedah berbagai bentuk virus yang menyerang dan menguasai jabatannya, yang kemudian harus digantikan dengan atmosfir kegiatatan yang sejalan dengan doktrin kebenaran, kejujuran, kemanusiaan, dan khusunya dalam berketuhanan. Kalau tidak dilakukan demikian, maka puasa yang dijalaninya tidak akan membuahkan apa-apa selain hanya ikut berlapar-lapar dan haus.

Kalau di ranah indvidualitas dan struktural pengemban amanat kekuasaan itu bisa direstorasikan ruhaninya melalui puasa ini, tentulah  konstruksi negeri yang kuat tidak sulit terwujud.  Masyarakat Indonesia tidak akan demikian lama bermimpi mengenai kesejahteraan atau pembebasan kemiskinannya, jika pengemban amanat kekuasaan sukses menguatkan spiritualitasnya setiap saat, baik di lingkungan kerjanya maupun di  tengah kehidupan bermasyarakatnya.

Kinerja pengemban amanat kekuasaan yang berpihak pada kepentingan riil bangsa akan terus menyala di tangan elitis yang benar-benar menjalankan puasa ini bukan sebagai momentum instan dan pragmatis, melainkan sebagai puasa yang mewajibkan dirinya untuk jadi ”muttaqun” sepanjang hayatnya. Jadi ”muttaqun” merupakan wujud sosok pengemban amanat kekuasaan yang konsisten menegakkan kebenaran sebagai kebenaran dan menyingkirkan kejahatan sebagai kejahatan, dan bukan membolak-balikkan keadaan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Ana Rokhmatussa’diyah, Doktor Ilmu Hukum dan Dosen Fakultas Hukum Unisma, Penulis sejumlah Buku dan Ketua Pokja 1 TP PKK Kota Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES