Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Menyehatkan Ruhani Elitis

Jumat, 24 April 2020 - 11:40 | 53.57k
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dna Penulis Buku Hukum dan Agama.
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dna Penulis Buku Hukum dan Agama.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Saat manusia, masyarakat, bangsa, atau negara sedang menghadapi masalah serius seperti serbuah wabah Covid-19, secara general agama mesti dijadikan sebagai tempat berpulang para pemeluknya. Mereka tiba-tiba ingat kalau mempunyai Tuhan atau banyak kewajibkan yang digariskan oleh kitab suci.

Salah satu kewajiban komunitas beragama yang sudah digariskan kitab suci adalah menjalankan puasa ramadan. Puasa ini berkedudukan sebagai salah satu jalur penyembuhan ruhani pemeluk agama yang sedang tersesat jalan. Pemeluk agama yang tersesat jalan ini banyak jumlahnya, tapi yang ”terhebat” adalah kalangan elitis.

  Kondisi distabilitas ruhani atau berpenyakitnya jiwa elite negeri ini akibat mengidap ”kemiskinan” relasi vertikal dengan-Nya (hablumminallah). Relasinya ini tidak kuat dan akrab akibat semangat adn aktifitasnya yang lebih terfokus berburu kesenangan, seperti pengejaran harta, pangkat, dan pengaruh.

Sejatinya, Indonesia akan bisa menjadi negeri yang hebat di tangan manusia-manusia utama (elitis) yang tidak membiarkan dirinya mengidap sakit ruhaninya. Sayangnya negeri ini kesulitan mencapai kehebatan akibat elitisnya telah membuat negeri ini terbaca sakit keseluruhannya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Dari segi fisik, elite Indonesia jelas terbilang  sebagai kumpulan manusia sehat fisik. Sulit menemukan diantara mereka ini yang mengidap penyakit fisik. Mereka ini memang terfasilitasi dengan kadar pangan dan gizi sangat memadai, sehingga tidak mungkin mengidap malnutrisi (kekurangan gizi). Fisiknya juga sering dijaga dengan suplemen (vitamin) dan olahraga kebugaran.

Itu semua bisa dilakukan komunitas elite seiring dengan kemampuan dana kelembagaan atau pribadi yang mendukung. Mereka sudah disehatkan dan dilindungi kebugarannya secara fisik melalui anggaran belanja negara yang memadai, seperti anggaran kesehatan.

Meski kesehatan fisik komunitas elit sudah terjamin, kenapa komunitas elit yang ruhaninya wajib disehatkah atau dipuasakan?  demikian pentingkah ruhani elit Indonesia ini disehatkan atau atau dipuasakan?  atau apa keuntungannya bagi Indonesia kalau komunitas elitnya sehat ruhaninya?

Kalau ”wong alit” di negeri ini sudah terbiasa berpuasa atau hidup sehari-harinya dijalani dengan ”puasa” makan berlebihan, atau tidak bisa mengonsumsi berbagai kebutuhan pokok secara ”over dosis”.  Jangankah untuk rekreasi, mencari hiburan, dan mengunjungi kafe-kafe seperti ”wong elit”, untuk kebutuhan hidup fundamental seperti minyak, gula, beras, minyak, dan lainnya yang berkategori ”istimewa”, mereka kesulitan memenuhinya.

Di kalangan ”wong alit” ini, bahkan mulai sering terbentuk idiom ”orang miskin haram sakit”, ”orang miskin tidak perlu sekolah”, ”orang miskin tidak perlu listrik”, dan lainnya. Ini semua lantaran sedikitnya mereka punya  uang, atau kalaupun ada uang, untuk menyangga kebutuhan pokoknya saja kesulitan.

Jika ”wong alit” itu disuruh sehari tidak makan, tidak membuatnya kaget, pasalnya yang ada di dalam perutnya tidak banyak disuapi dan dipuasi dengan beragam menu. Satu dua menu satu hari, belum  tentu mereka  punya uang untuk membelinya. Mereka sudah terlatih ”puasa” dalam menghadapi berbgai bentuk kesulitan pangan atau kebutuhan primer lainnya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Dalam hidupnya (wong cilik) tidak dikenal apa yang namanya diversifikasi gizi atau kebutuhan pokok, tetapi bisa ada yang dimakan dalam sehari saja, mereka sudah bersyukur kepada Yang Kuasa. Mereka lebih banyak ikhlas menerima apa yang dialaminya ini sebagai realitas takdirnya.

Tiadanya diversifikasi yang dikonsumsi oleh ”wong alit” itu memosisikannya tidak sepantasnya ”harus” total disuruh berpuasa ruhani, pasalnya ruhaninya secara umum masih fitri atau tak banyak tersentuh oleh berbagai model menu, di samping yang utama ”wong alit” ini tidak mengetahui atau berkenalan dengan berbagai model sumber pendapatan yang digunakan mengairi (membesarkan) fisik maupun kejiwaannya.

”wong alit” bukanlah golongan terpelajar, sehingga perjalanan hidup yang dilaluinya bersifat pragmatis dan lebih banyak nrimo dengan apa yang diterimanya. Sebagai kaum akar rumput (the grassroot community),  mereka tidak punya peluang strategis (”basah”) dan tak pintar membuat rekayasa, seperti mengubah dari yang salah jadi benar, atau bukan ahlinya menyusun strategis yang mendemagogisakikan publik dan mengkriminalisasi hak-hak sesamanya.

Beda halnya dengan komunitas elitis, tidak sulit kita temukan diantaranya yang sedang menderita ”kemiskinan” ruhani.  Kata Syafii Maarif, di negeri ini memang banyak sekali para pembangkang kebenaran dan kejujuran, namun masih tidak sedikit orang baik dan taat hukum

Pernyataan itu secara obyektif sebagai kritik radikal terhadap realitas sumberdaya manusia Indonesia dari ranah elitis yang sedang atau telah sekian lama mengidap ”kemiskinan” ruhani. Mereka sekian lama atau demikian sering terjerumus dalam penyakit penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang berkategori sangat istimewa (exstra ordinary). Dalam ranah inilah, logika butuh disehatkannya ruhani kalangan elitis.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dna Penulis Buku Hukum dan Agama.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES