Kopi TIMES Universitas Islam Malang

"Memberhalakan" Kejahatan

Jumat, 24 April 2020 - 11:10 | 48.76k
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dna Penulis Buku Hukum dan Agama.
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dna Penulis Buku Hukum dan Agama.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Sejumlah narapidana yang “dipulangkan” dari Lembaga Pemasyarakatan membuat ulah kriminalitas lagi. Meski  mereka dapat “berkah” akibat wabah Covid-19,  ternyata tidak lantas membuatnya bertaubat dan ikut menjadi bagian dari pasukan untuk melawan Covid-19. Pilihan kriminalitas ini layak disebut sebagai model “pemberhalaan”, pasalnya dirinya tidak memperbarui jalan hidupnya di tengah kondisi sesamanya yang mengalami ragam keprihatinan.

Jika dilacak dari sudut populasi di negeri ini, bisa digeneralisasikan kalau napi yang menjadi residivis itu adalah muslim. Meski demikian, apalah arti  sebuah stigma masyarakat  Indonesia yang  menempati posisi sebagai the biggest moeslem community in the world  atau masyarakat muslim terbesar di muka bumi, kalau dalam bangunan kehidupan di negeri ini, kejahatan  tetap dijadikan opsinya atau ditoleransi sehingga masih sangat merajalela dan berdaulat.

Kita sudah banyak diingatkan oleh kalangan kriminolog, bahwa kejahatan yang terjadi di tengah masyarakat menjadi berdaulat bukan disebabkan kehebatan penjahatnya, tetapi akibat sikap kita yang mendiamkannya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kritik kriminolog tersebut dapat dikatakan kritik radikal, artinya banyaknya kejahatan di tengah masyarakat masih belum dikategorikan “sangat” membahayakan jika dibandingkan kejahatan atas sikap “diam” kita, acuh tak acuh, kompromi, atau membiarkan saja kejahatan menjamur dan “memberhala” di tengah-tengah masyarakat.

Dalam dimensi pemikiran itu, ada pemaknaan berlapis yang dikritikkan kriminolog diatas, pertama, banyaknya kejahatan itu sebenarnya sudah termasuk ancaman serius bagi kehidupan  masyarakat dan bangsa. Disebut menjadi masyarakat yang gagal membangun dan menciptakan pencerahan peradaban tatkala di dalamkehidupannya sendiri  menjamur berbagai bentuk perbuatan melanggar norma dan praktek-praktek pembusukan nilai-nilai (values decay), dan kedua, kita menjadi pelaku atau warga masyarakat yang kategorinya lebih jahat dan biadab ketika sikap kita, langsung maupun tidak, telah memberikan ruang, tempat,dan kondisi yang membuat kejahatan makin menguat dan  membudaya

Menjamurnya atau “memberhalanya” kejahatan dalam suatu masyarakat merupakan sinyal kemenangan atau keunggulan kebiadaban di atas peradaban. Masyarakat demikian tergolong masyarakat yang memuja atau “memberhalakan” kepentingan eksklusif dan hedonistik dirinya, sementara kepentingan Tuhan, sesama manusia, dan makhluk hidup lainnya dikalahkan.

Itulah yang pernah dideskripsikan Maurice Clavel (filosof Prancis) (Syafi’I Ma’arif, 1995), bahwa “ide besar tentang Tuhan telah lama  tertindas”. Kritik demikian ini juga disampaikan Syafi’i Maarif (1995), bahwa dalam perjalanan kehidupan yang diwarnai pengejaran materialistik, rasa tanggungjawab terhadap Tuhan sudah semakin surut, redup, dan kehilangan momentum.

Deskripsi itu artinya menunjukkan, bahwa apa yang diperbuat manusia dalam perburuan kepentingan duniawinya (materialistik)  telah mendesakralisasi kekuatan moral-keberagamaan.  Apa yang dilakukannya, meski sedang diuji oleh Covid-19, tetap saja mngeliminasikan otorotas Tuhan. Apa yang diperbuat dengan kejahatannya telah menempatkan seolah-olah berhala modern yang benar-benar layak diabsolutkan atau disembah-sembahnya adalah kekayaan, uang atau bernilai hedonistik-materialistik, yang kesemuanya ini diperoleh dari jalan kriminalitas.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Manusia seperti itu telah salah menentukan opsi kesejarahannya. Imad al-Din Kholil pernah mengingatkan kesejatian peran manusia, bahwa manusia dengan posisinya sebagai khalifah Allah di muka bumi diberikan kekuasaan (quddira lahu) untuk menciptakan peristiwa-peristiwa sejarahnya dengan kemauan dan ikhtiarnya, untuk tujuan negatif ataukah positip” (Syafi’I Ma’arif, 1995), tetapi rupanya manusia modern dan menyebut dirinya manusia beragama ini sedang terperosok dalam pilihan negatifnya.

Kejahatan telah dipilih atau diproduk sebagai  jalan meraih kenikmatan dan kesuksesan duniawi. Sedangkan diantara manusia Indonesia telah andil menjadi pelaku atau menciptakan atmosfir deviatif yang membuat kejahatan, meski jenisnya konvensional makin tampak berkuasa, seperti kokohnya langit peradaban dan stabilnya prinsip-prinsip ideologis yang tidak tergoyahkan oleh kekuatan  penegak hukum.

Akibat kondisi itu, penegak hukum di Indonesia ibarat sekumpulan layang-layang kertas yang terbang dibawa angin dahsyat atau sekumpulan sosok penting yang tereduksi urgensinya akibat dipermainkan oleh para pemilik tangan-tangan kotr. 

Rombongan itu bernama lain “penjahat“  yang bisa lihai dan piawai menerbangkan penegak hukum seperti layang-layang. Kondisi ini bisa lebih mengerikan jika pelakunya berasal dari subyek kriminalitas, meminjam apa yang disebut oleh Edwin Sutherland “kejahatan krah putih” atau bernama lain “kaum tikus berdasi”. Kalau kelompok elitis ini yang “memberhalakan” kejahatannya,  maka bisa terjadi penegak hukum  ibarat menghadapi tembok benteng yang kuat, yang tidak gampang dijeratnya, bahkan bisa jadi dirinya sendiri yang terjerat dan terperangkap masuk dalam lubang tikus dan jadi objek permainannya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dna Penulis Buku Hukum dan Agama.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES