Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Ramadhan Ala Corona

Jumat, 24 April 2020 - 10:20 | 64.05k
Dr. H. Ahmad Siboy., S.H., M.H, Dosen Pascasarjana UNISMA dan Dosen Luar Biasa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
Dr. H. Ahmad Siboy., S.H., M.H, Dosen Pascasarjana UNISMA dan Dosen Luar Biasa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Bulan ramadahan telah datang namun Corona belum berkenan “pulang kampung”. Ia masih sangat kerasan di bumi untuk “menganggu” segala sektor kehidupan manusia. Corona telah menjadi virus yang berhasil menguncang tatanan kehidupan manusia dimuka Bumi. Corona lebih ampuh daripada rudal dalam meluluhlantakkan aktivitas manusia. Segala sesuatu “dipaksa” untuk menyesesuaikan diri dengan corona baik urusan ekonomi, politik bahkan agama sekalipun.

Akibatnya, ramadhan tahun ini benar-benar menjadi ramadhan yang jauh berbeda dari ramadhan-ramadhan sebelumnya. Jika dalam ramadhan-ramdahan sebelumnya dianjurkan untuk disambut dengan gegap gempita maka untuk ramadhan tahun ini, semua diminta untuk menyambutnya dengan “tiarap” dirumah masing-masing. Setidaknya ada beberapa hal yang membedakan ramadhan dalam keadaan normal dan ramadhan ala corona. Pertama, ramadhan ala corona adalah ramadhan yang menjadikan bulan ramadhan tidak memiliki perbedaan penyambutan seperti bulan-bulan yang lain. Apabila bulan ramadhan biasa disambut dengan gegap gempita seperti karnaval maka ramadhan ala corona tidak menghendaki penyambutan yang demikian. Ramadahan ala corona hanya meminta untuk disambut dalam keadaan sunyi. Ramadan ala Corona seakan berpesan bahwa peyambutan bulan ramadhan bukan dinilai dari gegap gempita karnaval dijalanan melainkan bagaimana mempersiapkan hati, pikiran dan fisik dalam keadaan bersih. Upaya menyucikan hati, fisik dan pikiran pada hakikatnya adalah kemampuan setiap pribadi ummat muslim bukan jamaah. Keadan “sunyi” adalah keadaan yang lebih tepat untuk menyucikan hati dan fikiran manusia karena dalam keadaan sunyi diharapkan terjadi komunikasi secara ekslusiv antara tiap individu manusia dengan sang pencipta.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kedua, ramadhan ala corona juga tidak menghendaki adanya pasar-pasar “dadakan” yang khusus untuk “memeriahkan” bulan ramadhan. Biasanya, pada saat musim ramadhan, bermunculan pasar-pasar takjil, makanan dan lain-lain di pinggir jalan. Jalanan yang sebelumnya hanya menjadi lalu lintas kendaraan bermotor menjadi pergerakan kaki ummat muslim yang mencari kebutuhan untuk buka puasa.

Ramadhan ala Corona seakan “memprotes” segala keramaian dijalanan menjelang waktu buka puasa. Protes dari Coronan ini tentu memiliki hikmah yang luar biasa bagi “tradisi” pasar dadakan di bulan ramadhan. Diakui atau tidak, kehadiran pasar ramadhan dengan segala konsekuensinya telah mengurangi kesucian dan kesakralan bulan ramadhan. Bagaimana tidak, saat diadakannya pasar dadakan seperti Pasar/Kampung Ramadhan di jalan Soerkarno-Hatta Kota Malang misalnya, maka disana akan menjadi titik kumpul manusia yang cukup banyak sehingga tatkala adzan magrib sudah dikumandangkan, para pembeli dan pedagang masih berkeliaran di jalan Soekrano-Hatta sedangkan bagi yang sudah beranjak kembali kerumahnya masih terjebak macet. Al hasil, buka puasa di jalan Soekarno-Hatta. Ketika sampai di rumah/kontrakan dan kos maka waktu sholat magrib telah habis.

Tidak hanya itu, tatkala digelar pasar ramadhan atau pasar takjil, yang terjadi bukanlah suasana yang benar-benar islami. Buktinya, banyak mahasiswi yang mengunjungi pasar ramadhan dengan pakain-pakaian yang “seksi” yang dengan pakainnya tersebut membuat laki-laki berfikir aneh-aneh dan menggangu kesucian hati, fikiran, dan fisik yang sedang berpuasa. Adapula muda-mudi yang memanfaatkan pasar ramadhan untuk sekamin meninggkatkan kemesraan hubungannya. Modusnya adalah buka bareng dengan orang yang paling dicintai.

Ketiga, Ramadhan ala corona seakan ingin menyadarkan setiap manusia tentang hakikat bulan Ramadhan. Corona ingin berpesan bahwa ramadhan bukanlah bulan yang mengharapkan disambut dengan pernak pernik duniawi seperti hiasan berupa bunga-bunga buatan di mall, jalanan yang dibentuk dan dihiasi dekorasi ala masjid. Corona  ingin menjelaskan bahwa makna Ramadhan adalah bulan untuk meningkatkan kualitas ibadah setiap individu manusia bukan ibadah pernak pernik fisik dan dekorasi bangunan. Buat apa terdapat banyak dekorasi bertemakan ramadhan tapi kualitas ibadah tidak mampu membeli diskon pahala saat bulan ramadhan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Keempat, Ramadhan ala corona ingin menyadarkan tentang hakikat berbagi yang sesugguhnya. Apabila dalam bulan-bulan ramadhan sebelum corona, banyak orang menggelar buka bersama dan mengundang para kolega maka ramadhan ala corona tidak menghendaki adanya buka bersama yang mengumpulkan orang banyak tersebut. Ramadhan ala corona mengharapkan bahwa anggaran untuk buka bareng tersebut dialihhkan kepada orang-orang yang lebih berhak seperti alokasi untuk panti asuhan dan sejenisnya. Harus diakui secara jujur bahwa budaya buka bareng yang digelar dengan mengundang para kolega merupakan suatu logika yang tidak dapat dibenarkan secara utuh. Pasalnya, bagaimana kita buka bareng dengan menu makanan yang enak dan indah di rumah atau bahkan di restaurant sementara di lampu merah masih terdapat orang sepuh dan anak kecil yang berbuka dengan menu yang sangat kurng enak, bagaimana mungkin anak yatim dipanti asuhan berbuka secara pas-pasan sementara kita berbuka puasa dengan cara berlebihan. Ramadhan ala Corona seakan berpesan bahwa cara kita menggelar buka puasa selama ini merupakan aktivitas yang kurang tepat.

Kelima, Ramadhan ala Corona juga memaksa setiap ummat muslim untuk beribadah secara pribadi dan tidak berjamaah di masjid. Sholat trawih misalnya. Sholat trawih merupakan sholat sunnah yang hanya ada pada bulan ramadhan. Sholat trawih juga menjadi sholat sunnah dengan jumlah rokaat yang cukup banyak. Jumlah rakoaat yang cukup banyak inilah kemudian yang menyebabkan jamaah trawih memilah dan memilih tempat trawih (masjid) atas dasar masjid yang melaksanakan sholat trawih dengan jumlah salam paling sedikit (empat salam) dan paling cepat bacaannya. Sedangkan masjid dengan jumlah rokaat maksimal dan bacaan yang panjang dihindari. Dengan Ramadhan ala Corona ini, maka setiap individu diberi kebebasan untuk memilih dan menentukan sendiri jumlah rokaat dan model bacaan dalam sholat trawihnya tanpa harus kebingungan akan sholat trawih dimasjid mana.

Bulan ramadhan dan corona yang sedang “berdampingan” dalam menyertai ibadah ummat muslim merupakan suatu kenyataan yang tidak harus ditangisi. Bulan ramadhan datang dan Corona “enggan mudik” bukan berarti hal tersebut lepas dari skenarion Tuhan. Ramadhan datang saat Corona tentu ada sunnatullah yang harus difahami oleh ummat muslim terutama tentang apa hikmah corona bagi cara ummat muslim dalam menjalani ibadah puasa. Jangan-jangan corona bukan cobaan tapi azab karna cara manusia menjalani ibadah puasa bukan untuk meningkatkan dan mendekatkan diri dengan Tuhannya melainkan untuk bisnis dan prestise.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Dr. H. Ahmad Siboy., S.H., M.H, Dosen Pascasarjana UNISMA dan Dosen Luar Biasa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES