Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Ramadan, Empati, dan Pandemi

Rabu, 22 April 2020 - 14:04 | 66.50k
Ana Rokhmatussa’diyah, Doktor Ilmu Hukum dan Dosen Fakultas Hukum Unisma, Penulis sejumlah Buku, Ketua Pokja 1 TP PKK Kota Malang.
Ana Rokhmatussa’diyah, Doktor Ilmu Hukum dan Dosen Fakultas Hukum Unisma, Penulis sejumlah Buku, Ketua Pokja 1 TP PKK Kota Malang.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Saat kita sedang diuji oleh pandemi Covid-19 ini, banyak cara atau strategi dilakukan sebagai wujud penyipakannya. Barangkali tidak ada diantara kita yang tidak bersiaga atau bereaksi terhadap penyebaran Covid-19.

Sebagai bangsa atau masyarakat beragama ada banyak tuntunan atau tuntutan yang memang mengharuskan kita menunjukkan gerakan positip. Misalnya kehadiran puasa (ramadan) merupakan tuntutan doktrin yang mewajibkan kita menunjukkan empati terhadap sesama manusia, khususnya yang menjadi korban langsung atau tidak langsung Covid-19.

Masalahnya sekarang, ada beberapa pertanyaan yang menembak kita, masihkah kita ini sebagai manusia beragama yang mempunyai empati? atau  benarkah empati masih hidup dan menyala dalam  diri kita?

Pertanyaan demikian itu sebenarnya sebagai gugatan terhadap peran kemanusiaan kita yang dari waktu ke waktu bukannya semakin menyala bercahaya, tetapi tampak semakin meredup, dan baru mulai terlihat disemangati supaya hidup dan menyala lagi ketika sedang diuji oleh Covid-19.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Puasa ramadan yang dihadirkan setiap tahun oleh Allah SWT sejatinya juga sebagai tahapan spiritualitas untuk menghidupkan kembali empati dalam diri manusia (beragama). Manusia yang menjalankan puasa diingatkan tentang kesadaran bangunan kehidupan yang tidak hanya terdiri dari dirinya, tetapi juga ditentukan oleh elemen orang lain, khususnya sesama yang ada di sekitarnya.

Empati, menurut Daniel Goleman, yang menulis buku Kecerdasan Emosional, adalah kemampuan memahami dan turut merasakan perasaan orang lain. Empati itu hakikatnya adalah perwujudan kasih sayang sesama manusia. Dengan demikian, empati tidak saja baik untuk ukuran manusia, tetapi juga dipandang baik oleh agama.

Ketika Daniel Goleman baru membicarakan tentang pentingnya empati di abad ini, kaum Muslimin, sebenarnya sudah mengetahuinya sejak 15 abad yang lalu. Rasulullah SAW bersabda, ''hak (kewajiban) seorang Muslim atas seorang Muslim yang lain ada lima, yaitu: menjawab salam, mendoakan orang yang bersin, memenuhi undangan, mengunjungi yang sakit, dan mengiringi jenazah.'' (HR Bukhari). Bahkan, dalam salah satu ayat Alquran, Allah SWT menyebutkan bahwa di antara karakter yang menjadi ciri khas kaum Muslimin adalah membagi kasih sayang terhadap sesama (QS Al-Fath:29) (Bajuri, 2005).

Perintah membagi kasih sayang itu identik dengan mewajibkan manausia beragama untuk tidak menjalani kehidupannya ini sendirian. Seseorang bisa menjadi kuta berkat kekuatan yang dikontribusikan oleh orang lain. Seseorang menjadi terbebas dari kesulitan berkat ada pihak lain yang menjadi kekuatan yang membebaskannya.

Umumnya, manusia itu khilaf terhadap koreksi diri. Apa yang dilakukan dibiarkan bebas, lepas kontrol, dan kehilangan basis kebenaran, sehingga eksistensi orang lain atau saudara tidak menjadi subyek yang harus dipedulikannya. Seolah-olah hidup yang dijalaninya sudah cukup puas dan senang dijalankannya sendirian.

Kritik terhadap nurani jarang kita lakukan, sehingga kepekaan kita terhadap panggilan kemaslahatan sosial acapkali tidak sampai membumi, gagal menembus realitas relung nadi kehidupan makro masyarakat yang sedang mengalami ragam ujian dan kesulitan. Kita sering memosikan, bahwa apa yang menimpa orang lain adalah nasibnya sendiri, yang harus ditangani (dibedah) dengan kemampuan dirinya sendiri juga.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Apa yang terucap tidak selalu sebahasa dengan apa yang diperbuat, atau apa yang terucap diingkarinya dalam perbuatan. Realitas perbatannya tumpul dari kepedulian terhadap sesamanya. Meski sesamanya tersudut atau bahkan tersungkur dalam kesulitan secara berlapis-lapis, hati dan aksinya tetap dibiarkan tumpul.

Hati atau nuraninya tidak disuarakan untuk menggerakkan diri dalam aktifitas yang menoleh dan memihak tetangga (sesama) yang dihadapkan pada ragam kesulitan. Hidupnya dibiarkan dan bahkan dipelihara dalam ranah individualitas dan eksklusifitasnya.

Idealnya, manusia, apalagi yang sedang menjaankan puasa  tidak boleh berada di titik tumpul nurani itu, karena kalau ini yang terjadi, bangunan kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan akan dipilari oleh manusia-manusia yang kehilangan etos keadabannya. Etos keadaban ini dikalahkan atau dilindas oleh semangat “kebiadaban” yang diberikan tempat liberal untuk berdaulat atau mengerangkengnya.

Oleh karena itu, melalui puasa ramada ini, marilah kita cerdaskan atau beningkan nurani kita untuk membimbing sikap dan perilaku ke ranah aktifitas (perwujudan) empati pada sesama. Akibat Covid-19 ini tidak bisa dijawab (ditangani) sendirian. Dampaknya mengundak semua pemeluk agama, khususnya umat Islam yang sedang berpuasa ini untuk ”turun gelanggang” dalam kehidupan masyarakat guna memberikan yang terbaik kepadanya. 

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Ana Rokhmatussa’diyah, Doktor Ilmu Hukum dan Dosen Fakultas Hukum Unisma, Penulis sejumlah Buku, Ketua Pokja 1 TP PKK Kota Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES