Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Pesan Dari Corona Untuk Produsen

Senin, 20 April 2020 - 16:26 | 43.55k
Anang Sulistyono, Dosen dan Ketua Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum Universitas Islam Malang.
Anang Sulistyono, Dosen dan Ketua Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum Universitas Islam Malang.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Banyak hikmah dari musibah seperti wabah Corona. Diantara hikmahnya, setiap produsen makanan dan minuman diminta (dituntut) ekstra hati-hatinya dalam memproduk apa yang dimakan atau diminum oleh konsumen supaya tidak menumbuhkan dan menyebarkan baksil atau virus lain, yang bisa “mendampingi” dalam penyebaran Corona. Mengapa produsen ini harus selalu diingatkan dengan keras?

Sudah banyak temuan terdahulu yang  menyebutkan “kenakalan” atau kejahatan produsen. Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BB POM) misalnya  pernah mengeluarkan rilis terkait hasil pengujian lembaga itu terhadap 98 contoh produk makanan yang dicurigai mengandung formalin yang diambil dari pasar tradisional dan supermarket. Dari jumlah itu, 56 contoh produk di antaranya dinyatakan positif mengandung formalin, seperti mi basah, tahu, dan ikan asin.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Laboratorium Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Cirebon juga pernah  menyatakan bahwa 25% dari 66 sampel tahu di pasaran Kota Cirebon yang diteliti mengandung formalin. Menurut ilmu kimia, Formalin adalah larutan 30 sampai 40% formaldehida dalam air yang biasanya mengandung 10 sampai 15% metanol untuk mencegah polimerisasi. Sebenarnya formalin lebih sesuai dipergunakan sebagai antiseptik untuk membunuh bakteri dan kapang, terutama untuk menyucikan peralatan kedokteran, dan mengawetkan sepsimen biologi, termasuk mayat manusia. Selain itu, formalin dapat juga digunakan sebagai desinfektan untuk pembersih lantai, gudang, dan pakaian dan juga sebagai getmisida dan fungisida pada tanaman dan sayuran. ''Racun'' bernama formalin kini sudah menyeruak ke dapur dan berbagai makanan yang disantap masyarakat. Masalah ini 'panas' diperbincangkan. Bukan kali ini saja penggunaan formalin pada produk makanan terbongkar. Pada 1977 atau lebih dari seperempat abad yang lalu, sebuah lembaga konsumen juga menemukan penggunaan formalin pada produk tahu dan mi

Atas temuan itu, mengindikasikan bahwa konsumen di Indonesia ini masih sering menjadi obyek kecurangan seperti penipuan atau penyesatan produk yang dilakukan oleh produsen. Kecurangan ini tentulah berdampak serius terhadap hak Kesehatan dan keselamatan hidupnya menjadi rentan.

 Wajar kalau kemudian konsumen menuntut hak obyektifitas informasi atas mutu produk dari produsen  atau obyektifitas terhadap produk makanan  dan minuman yang dijualnya.  Hal ini dilakukan untuk memelihara kehalalan produk. Upaya memelihara kehalalan ini diantaranya dengan cara memberikan informasi yang jujur dan obyektif kepada konsumen mengenai bahan baku, cara mengolah, atau aspek-aspek apa saja yang menentukan kelayakan produksi.

Pemberian informasi oleh produsen itu mengandung konsekuensi yuridis, moral, dan ekonomi, yang apabila dilanggar, bukan hanya konsumen yang dirugikan, tetapi juga masa depan dunia usha (pangan dan minuman) dan kredibilitas masyarakat.

Deskripsi itu menunjukkan, bahwa  posisi produsenlah yang menentukan kualitas barang-barang yang diproduksinya. Produsen sebagai pemilik modal yang berkeinginan melalui atau dengan modal yang digunakannya akan mendapatkan keuntungan besar, tentulah menempuh berbagai cara atau strategi tepat.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Selain itu  secara umum perilaku produsen akan mempertaruhkan nasib ekonomi komunitas akar rumput (the grass root community) seperti pedagang keliling atau penjual yang modal dan keuntungannya kecil atau tidak sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu, suatu pilihan yang layak dikampanyekan kepada produsen adalah tentang, pertama, mayoritas konsumen di negeri ini adalah muslim, sehingga produk yang dijualnya harus mencerminkan unsur-unsur kehalalan dan haram hukumnya memasukkan, mencampur, atau mengkombinasi dengan zat-zat yang diharamkan, kedua, konsumen itu punya hak untuk tidak dibohongi, artinya konsumen wajib diberi informasi yang obyektif tentang kehalalan produk yang terjual, dan ketiga, keharaman suatu produk yang dijual dengan cara mengendarai agama seperti memasang “stiker halal” atau label halal, adalah perbuatan dosa dan dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan konsumen.

Menurut hasil polling yang diselenggarakan bersama antara Indohalal,Com, Yayasan Halalan Tayyiban  dan LP POM MUI, 77,6 prosen responden menjadikan jaminan kehalalan sebagai pertimbangan pertama dalam berbelanja produk (makanan, minuman, kosmetika, resto). Mereka (93,9%) setuju bila pada setiap kemasan produk bersertifikat halal, wajib mencantumkan label dan nomor sertifikat hala 

Berkaitan dengan itu, di bidang produk makanan dan minuman  secara umum juga sudah digariskan di dalam pasal 22 huruf c Cairo Decla­ration, bahwa informasi adalah kebutuhan penting bagi masyarakat, informasi tidak boleh dieksploitasi atau disalahgunakan dalam berbagai cara yang mungkin melanggar kesucian dan martabat rasul, kemerosotan moral, dan nilai-nilai etika atau disintegra­si, korupsi, atau kerugian masyarakat dan melemahnya kesetiaan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Anang Sulistyono, Dosen dan Ketua Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum Universitas Islam Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES