Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Mencegah Anak Jadi Tumbal

Senin, 20 April 2020 - 14:48 | 73.65k
Ana Rokhmatussa’diyah, Doktor Ilmu Hukum dan Dosen Fakultas Hukum Unisma, Penulis sejumlah Buku dan Ketua Pokja 1 TP PKK Kota Malang.
Ana Rokhmatussa’diyah, Doktor Ilmu Hukum dan Dosen Fakultas Hukum Unisma, Penulis sejumlah Buku dan Ketua Pokja 1 TP PKK Kota Malang.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Menjamurnya kekerasan domestik (domestic violence) atau “pembahasaan” kekejaman dalam rumah tangga yang menempatkan anak-anak menjadi korbannya merupakan bagian dari mata rantai kefakiran ekonomi yang menimpa masyarakat secara umum dan khususnya keluarga. Semakin fakir kehidupan ekonomi keluarga, maka semakin rentan pula keluarga ini memunculkan perilaku kekerasan. Dari ranah ini, dalam kejadian apapun yang menimpa suatu bangsa, salah satu aspek yang diaktualisasikan adalah soal kebutuhn asasi perlindungan anak.

Banyak pakar mengingatkan, bahwa kemiskinan merupakan sumber penyakit dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Bangunan suatu negara tidak akan cukup kuat jika unsur-unsur kehidupan manusianya menghadapi kesulitan ekonomi yang sangat serius. Faktor kesulitan ekonomi yang serius bisa berdampak munculnya perilaku deviatif  yang serius pula.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Faktor kemiskinan yang serius inilah yang membuat seseorang gagal mendidik emosinya, tidak cukup kuat menahan amarahnya, dan gampang kehilangan nalar sehatnya. Keseriusan kemiskinan (kefakiran)  ini patut dibaca lebih jernih oleh setiap subyek bangsa akibat kondisi wabah Covid-19 yang membuat perekonomian bangsa menjadi “semrawut”.

Dalam ungkapan tersebut, sudah jelas bahwa kemiskinan yang tergolong serius atau popular disebut kemiskinan absolut (kefakiran), ternyata bertali temali dengan kejahatan yang terjadi di tengah masyarakat.

Ketika di tengah masyarakat banyak bermunculan kejahatan atau kekejaman seperti kekerasan yang mengorbankan anak-anak (kasus orang tua memukul/menganiayanya), maka hal ini mengindikasikan kalau di tengah masyarakat demikian ini sedang terjadi eksplosi atau booming kefakiran, yang karena kefakirannya ini membuat labilitas psikologis dan spiritualitas seseorang.

Nabi Muhammad SAW pernah mengingatkan “kefakiran itu dekat dengan kekufuran”, yang berarti dari kefakiran inilah akan memunculkan banyak atau beragam perilaku “ingkar”, baik ingkar, merendahkan, membangkang atau membusukkan ajaran kebenaran dan kesusilaan maupun menafikan dan meminggirkan responsibilitas nilai-nilai kemanusiaan.

Seseorang yang sedang fakir secara ekonomi merupakan sosok yang sedang berada di titik ketidakberdayaan untuk mengemas (membentuk) perilaku yang bercorak produktif, inovatif, dan humanistic, atau kalaupun bisa, maka apa yang dilakukan ini sudah melalui upaya luar bisa, mengerahkan segala kemampuan baik fisik maupun non fisik, yang hasilnya belum tentu sesuai dengan targetnya.

Di dalam diri seseorang atau komunitas yang sedang fakir itu, tidak ada jaminan bahwa ketahanan psikologisnya akan tetap kuat, tahan uji, atau sabar dalam menghadapi ujian yang terus menerus menantangnya, baik dari lingkungan orang dekat maupun unsur-unsur sosial.

Kalaupun misalnya ada yang sedang diuji ini adalah orang tua, maka mereka ini belum tentu mampu mengendalikan emosinya ketika anak-anaknya sedang menuntut (mengikuti kemauannya) yang minta dibelikan sesuatu barang misalnya, yang harganya melebihi kemampuannya atau tidak ada kemampuan membelikannya akibat tidak mempunyai instrument untuk membelinya.

Hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Rozi CS berjudul “Kekerasan terhadap Anak paska Reformasi”, menunjukkan, bahwa secara umum, anak-anak yang dibesarkan di lingkungan keluarga miskin merupakan anak-anak yang tumbuh berkembang dengan balutan kekerasan, baik kekerasan dalam menjalankan pekerjaan, kekerasan seksual, maupun kekerasan akibat dianiaya. Keteraniayaan anak-anak ini akan semakin parah jika keluarga atau orang tua ini juga menempatkan kekerasan sebagai reaksi logis dan segmentasi “ideologi” radikalitas normal yang harus dipertahankan untuk mendidik, menghadirkan ketakutan, dan membentuk kedisiplinannya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Dalam pikiran keluarga (orang tua) miskin itu, semakin keras dan represip perilaku yang bisa ditunjukkan atau dilampiaskan kepada anak-anak, maka mereka ini akan bisa tumbuh berkembang menjadi manusia-manusia tangguh, tidak cengeng, dan tahan menghadapi berbagai problem sosial yang kejam. Pengalaman dan budaya kekerasan (culture of violence) yang mengorbankan anak-anak, namun oleh orang tua atayu keluarganya dianggap sebagai modal funamental adaptasinya anak-anak miskin ini jelas membuat mata rantai kekerasan terhadap anak semakin berlanjut.

Hasil penelitian itu menunjukkan, bahwa di lingkaran keluarga miskin atau fakir, nasib anak-anak Indonesia benar-benar dipertaruhkan. Mereka bisa menjadi korban secara berkelanjutan akibat kesalahan pemahaman dan perlakuan yang ditunjukkan keluarga fakir ini kepadanya. Artinya, ketika kelak mereka menjadi orang tua atau pemimpin (penguasa) keluarga, mereka pun potensial mengadopsi pengalaman kekerasan yang pernah dialami dan punya andil membesarkannya.

Apapun dalih yang ditunjukkan oleh keluarga fakir ini, posisi anak-anak tetap sebagai tumbalnya. Status tumbal ini akan sulit dihilangkan atau diminimalisir, apalagi di era ujian wabah Corona ini,  jika pemerintah tidak benar-benar melibatkan dirinya dalam “pembumian” konkrit dan progresif peran-peran humanitasnya terhadap keluarga atau orang tua miskin.

Meski keluarga saat ini hidup dalam kefakiran akibat wabah Covid-19, tetapi segenap elemennya haruslah dikobarkan atau dinyalakan komitmennya untuk tidak padam dalam mewujudkan perlindungan anak yang memanusiakannya.

Kefakiran memang harus diperangi secara maksimal oleh negara supaya tidak menimbulkan dan mengakarkan ragam penyakit sosial lainnya, yang ujung-ujungnya memposisikan anak dikorbankan dengan logika sebagai realitas yang patut diakui normal oleh setiap masyarakat yang berubah.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Ana Rokhmatussa’diyah, Doktor Ilmu Hukum dan Dosen Fakultas Hukum Unisma, Penulis sejumlah Buku dan Ketua Pokja 1 TP PKK Kota Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES