Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Butuh Banyak Perempuan Progresif

Rabu, 15 April 2020 - 14:34 | 49.57k
Ana Rokhmatussa’diyah, Doktor Ilmu Hukum dan Dosen Fakultas Hukum Unisma, Penulis sejumlah Buku, Ketua Pokja 1 TP PKK Kota Malang.
Ana Rokhmatussa’diyah, Doktor Ilmu Hukum dan Dosen Fakultas Hukum Unisma, Penulis sejumlah Buku, Ketua Pokja 1 TP PKK Kota Malang.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANGBarangsiapa tidak berani,
dia tidak bakal menang,
itulah semboyanku!
Maju!
Semua harus dimulai dengan berani!
Pemberani pemberani memenangkan tiga perempat dunia

(Kartini)

Semboyan Kartini itu sebagai ajakan supaya setiap elemen bangsa ini, khususnya kalangan perempuannya punya keberanian. Perempuan dimintanya tidak bermental penakut. Perempuan harus maju atau berkembang terus (progresif) demi memenangkan pertarungan di tengah kondisi apapun.

Salah satu obyek yang menuntut perempuan untuk tidak boleh takut adalah bertarung dengan segala bentuk atmosfir yang tidak membuka ruang progresifitasnya. Perempuan harus membentuk mentalnya supaya gigih melawan “virus” yang jadi duri kreatifitasnya.

Jika perempuan disebut sebagai salah satu akar primer terjadinya stagnasi peradaban atau kemajuan bangsa, dan bahkan berbagai penyakit bangsa seperti korupsi, maka ia harus marah, dan menyebut tesis tentang perempuan ini dusta sambil menunjukkan fakta, bahwa para perempuan baik ketika di rumah maupun di ranah public, telah berperan dalam merias peradaban.

Perempuan tidak perlu tergesa-gesa berapologi apriori terkait tuduhan ikut mendesak laki-laki (suami) menjadi terjerumus atau terlibat korupsi, pasalnya tuduhan semacam ini sebatas mencari “kambing hitam”, padahal jika lelaki sampai terjerumus dalam perbuatan demikian, berarti lelaki (suami) ini gagal memainkan dirinya sebagai pembentuk perempuan (istrinya) menjadi progresif di ranah pengimplementasian etika dan hukum negara.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Lelaki tetap bersalah jika sampai terpengaruh atau “dicondongkan” oleh perempuan sehingga menjatuhkan pilihan salah dan bercorak kriminalitas dalam pelaksnaan tugas dan jabatannya, pasalnya sebagai lelaki, (seperti halnya perempuan), ia mempunyai hak menolak, membantah, atau melawan godaan yang bermaksud mengajaknya ke jalan kejahatan seperti desakan melakukan korupsi.

Selain itu, lelaki punya kewajiban mendidik isteri dan anak-anak perempuannya untuk menjadi elemen bangsa yang mengerti makna tanggungjawab atau amanat saat menjadi  pemimpin. Dalam ranah agama sudah jelas, bahwa “lelaki itu adalah pemimpin atau penanggungjawab perempuan”

Lelaki ini dituntut menunjukkan mobilitas progresifitas  edukatifnya untuk membentuk kepribadian setiap elemen bangsa, khususnya elemen keluarganya (perempuan) supaya menjadi anggota keluarga yang tidak tergiring melakukan  perbuatan yang berlawanan secara etis dan yuridis.

Ketika sudah sampai pada ranah seperti itu,  jelas yang harus digugat akuntabilitas kekuasaannya adalah lelaki pejabat. Ancaman sanksi yang dirumuskan negara tidak menyurutkan langkahnya untuk melakukan korupsi. Korupsi dianggapnya sebagai jalan termudah untuk mendapatkan kaningratan hidup (status sosial-ekonomi) dan pemuasan hedonisme. Begitu berurusan dengan hukum, anak dan isteri ikut menjadi korbannya.

Lucu, posisi perempuan yang dipersalahkan atau diposisikan  punya andil, baik kecil maupun besar, padahal lelaki adalah sang pemimpin yang jelas harus menunjukkan kalau dirinya adalah pembentuk mentalitas perempuan.

Memang harus diakui, bahwa penegakan hukum (law enforcement) hanya bisa ditunjukkan, salah satunya  oleh perempuan pejuang yang berkarakter kejujuran, egalitarnisme dan keadilan. Di tangan perempuan ini, konstruksi negara bisa menjadi lebih kuat. Konstruki ini  dapat terbaca lewat penyelenggaraan pemerintahannya yang bersih dan berwibwa. Meski demikian, perempuan baru akan punya karakter seperti ini adalah tidak lepas dari peran lelaki sebagai pembentuknya.  

Kesejatian kemitraan lelaki dengan perempuan adalah di ranah itu, lebih dominan  ditentukan oleh lelaki, karena Tuhan menciptakan kaum Adam supaya bisa menjaga atau membentuk kepribadian perempuan. Kelebihan yang dikaruniakan Tuhan ini harus ditunjukkan kaum lelaki. Perbedaan masing-masing antara lelaki dengan perempuan bukan untuk dibedakan, tetapi untuk saling dikorvensikan sehingga menjadi kekuatan besar.

Itu artinya kalau ”Kartini” sekarang (perempuan) punya sikap militansi untuk membangun masyarakat steril (dari ragam penyakit, khususnya  berbagai bentuk penyalahgunaan jabatan) atau rajin mengawal penegakan hukum, maka Indonesia akan menjadi negeri yang hebat. Bangunan negara ini jelas ditentukan lewat besarnya andil perempuan. Andilnya perempuan ini butuh didampingi lelaki (suami) yang bisa mendukung kinerja progresifitasnya.

Atmosfir keindahan, kesejahteraan,  dan kenyamanan akan bisa diraih atau dinikmati oleh masyarakat keseluruhan di negeri ini, bilamana para ”Kartini” terus beraksi menunjukkan  dirinya sebagai sang pembaru atau pengembang. Kaum perempuan adalah ”kekayaan” istimewa yang menentukan kearah mana masa depan bangsa. Pencerahan tidaknya bangsa ini terletak pada apa yang terus dimainkan atau dikontribusikan oleh para sumberdaya istimewanya, yakni perempuan.  

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Ana Rokhmatussa’diyah, Doktor Ilmu Hukum dan Dosen Fakultas Hukum Unisma, Penulis sejumlah Buku, Ketua Pokja 1 TP PKK Kota Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES