Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Infak Gaji Saat Pandemi

Sabtu, 11 April 2020 - 16:50 | 85.81k
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan pengurus AP-HTN/HAN dan penulis sejumlah buku Hukum dan Agama.
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan pengurus AP-HTN/HAN dan penulis sejumlah buku Hukum dan Agama.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Saat ada rumor usulan kenaikan gaji, “bos” KPK Firli menyebut, bahwa “kalaupun ada usulan tentang hak keuangan pimpinan KPK, kami seluruh pimpinan meminta dibatalkan dan tidak dibahas”. Sikap menarik ini patut diprogresifitaskan menjadi infak sebagian gaji oleh KPK supaya menjadi teladan makro “rakyat  elitis”  Indonesia, khususnya di kalangan pejabat negara.

Rakyat Indonesia tentu sangat berharap, bahwa “rumor” usulan kenaikan gaji dari pimpinan KPK itu tidak berlanjut menjadi kenyataan. Kondisi rakyat akibat pandemi virus Corona ini betul-betul serius, terutama dari aspek psikologis, kesehatan,  dan ekonomi.

Kita tidak sulit membaca sekarang, bahwa seseorang atau sekumpulan orang yang semula tidak dalam kondisi ekonomi miskin, akibat Corona ini, bisa saja tertimpa kemiskinan mendadak. Sedangkan yang semula sudah miskin, bisa jadi kemiskinannya semakin absolut atau mengerikan.

Itu menunjukkan, bahwa dalam ranah ekonomi, rakyat Indonesia secara general sedang memperjuangkan hidupnya untuk tidak terpuruk makin serius dalam ketidakberdayaan ekonomi.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Logislah jika kemudian Presiden Jokowi terus berupaya menutup “lubang-lubang” yang dikalkulasinya akan makin potensial membuat rakyat hidup sengsara, diantaranya dengan sejumlah diskresi yang berelasi terhadap kebutuhan asasi rakyat, seperti pemenuhan kebutuhan pangan (sembako), kewajiban pembayaran listrik, kredit, dan seterusnya

Apa yang dilakukan Presiden itu terkonklusikan pada kepentingan pembiayaan “kemaslahatan” publik yang tidak sedikit. Pandemi virus Corona membuat negara ini dituntut mengerahkan segala kemampuanya untuk bisa memberikan yang terbaik pada rakyat, dan bukannya meminta sumberdaya (dana) yang seharusnya bermanfaat guna memberdayakan rakyat.

Di saat pandemi virus Corona ini, rakyat tentu setidaknya bisa menikmati atmosfir yang bercorak memanusiakan atau memartabatkan dirinya, jika bukan hanya penolakan terhadap usulan kenaikan gaji yang dilakukan oleh pimpinan KPK, tetapi juga usulan menurunkan (memotong) gaji yang selama ini diterimanya.

Mereka bisa belajar dari Barcelona FC (Spanyol), yang sama-sama dilanda pandemi virus Corona dengan Indonesia, yang berani dan tegas memotong gaji pemain sampai 70 prosen. Jumlah potongan ini memang “luar biasa” besarnya, tapi mau bagaimana lagi, kepentingan rakyat memanggil meminta dukungan komitemn kemanusiaan.

Kita bisa kalkulasi misalnya, bahwa pemain Barcelona seperti Lionel Messi yang bergaji termahal di dunia yang perbulannya bisa menerima 124 miliar rupiah, yang kemudian dipotong 70 prosen, maka ini dapat digolongkan sebagai pemain (subyek bangsa) yang tidak sedikit menunjukkan andilnya terhadap “jihad” melawan pandemi.

Kalau hal itu bisa digunakan sebagai sumber teladan, minimal “guru” dalam beramal bakti terhadap pertiwi, maka KPK dapat memulainya dengan progresifitas “kearifan lokal”-nya, tentu bukan dengan mengusulkan kenaikan gaji, melainkan memotong gaji yang diterimanya.

Menerima gaji 100 juta rupiah lebih merupakan haknya pimpinan KPK, tetapi kerelaan menurunkan atau mengikhlaskan sebagian gajinya untuk “disumbangkan” secara formal kepada negara untuk rakyat juga haknya, terserah mau digunakan ataukah tidak.

Kalau saat ini dikomparasikan dengan realitas ekonomi rakyat, khususnya rakyat miskin, apa (gaji, tunjangan, dan lain-lain) yang diterima oleh pejabat negara, tergolong istimewa dibandingkan dengan kondisi obyektif pendapatan rakyat miskin. Pimpinan-pimpinan utama lembaga negara, bukan hanya KPK, penerimaan rata-rata perbulannya di atas 100 juta.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Coba kita tengok standar BPS yang  menetapkan, bahwa  garis kemiskinan yang dijadikan patokan adalah sebesar Rp401.220 per orang per bulan. Kalau penduduk yang pengeluarannya di bawah itu, sudah masuk kategori orang miskin. Jika Rp401.220 dibagi 30 hari, maka rata-rata belanja orang miskin kurang dari Rp13.374 per hari.

Patokan garis kemiskinan tersebut merupakan garis kemiskinan Indonesia secara umum, sementara antarwilayah batas kemiskinannya berbeda. Sebagai contoh di DKI Jakarta, garis kemiskinan Rp 593.108 per orang per bulan atau sekitar Rp19.770 per hari, sementara di Provinsi Papua kebutuhan minimum penduduknya Rp499.643 per orang per bulan atau sekitar Rp16.654 per hari.

Jika menggunakan asumsi itu, dari kalkulasi perkeluarga yang terdiri dari 4 orang misalnya, maka basis garis kemiskinan atau rata-rata pengeluarannya Rp1,6 juta, sehingga untuk memenuhi kebutuhan dasar, setiap rumah tangga atau keluarga harus memiliki pengeluaran Rp1,6 juta perbulan supaya tidak masuk kategori atau dapat stigma orang (keluarga) miskin.

Sebelum Corona “meledak” di negeri ini, angka kemiskinan (berdasarkan data BPS yang terlaporkan 2019) berhasil ditekan sebesar 1,82 juta jiwa, sehingga tinggal  level di bawah 10 persen atau ada 25,95 juta jiwa orang miskin di negara ini. Ketika pandemik virus Corona seperti ini,  dikalkulasi kemiskinannya mengalami peningkatan serius, pasalnya berelasi dengan kehilangan  atau menyusutnya mata pencaharian.

Atas dasar kondisi tersebut, logis sekali jika rakyat sangat memohon supaya negara atau institusi apapun, termasuk KPK menunjukkan sikap empatik dan bahkan “karitasnya” terhadap  kesulitan yang dideritanya, dan bukannya ikut menambah beban yang dapat menciptakan kesulitan baru.

Kesediaan (andaikan saja) KPK untuk dipotong gajinya akan menjadi teladan etik masif bagi setiap pejabat negeri ini, bahwa komitmen kemanusiaan merupakan yang “teristimewa”  sebagai perwujudan kewajiban menjaga keberlanjutan konstruksi “kesehatan” negeri ini. Diniscayakan akan banyak subyek kekuasaan yang menciptakan dan membumikan nilai karitas, jika KPK menunjukkan teladan progresifitas awalnya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan pengurus AP-HTN/HAN dan penulis sejumlah buku Hukum dan Agama.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES