Kopi TIMES

Tobat Politik dan Spiritualitas Thomas More

Kamis, 09 April 2020 - 09:01 | 79.21k
Vayan Yanuarius, Mahasiswa Ilmu Filsafat Sekolah Tinggi Filasafat Katolik Ledalero Maumere NTT.
Vayan Yanuarius, Mahasiswa Ilmu Filsafat Sekolah Tinggi Filasafat Katolik Ledalero Maumere NTT.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Politik diartikan oleh Aristoteles sebagai kecenderungan alamiah manusia untuk ada bersama. Konsep ada bersama ini kemudian diperluas maknanya sebagai upaya untuk menciptakan suatu atmosfer kehidupan sosial yang beradab. Kesadaran untuk ada bersama dan berjuang untuk menciptakan kehidupan yang beradab itu, Aristoteles sebut sebagai zoon politikon, makhluk sosial. Hanya manusia yang memiliki jiwa sosial yang tinggi (Magnis-Suseno, 2009: 30). Dan sana letak jurang yang membedakan manusia dengan ciptaan yang lain.

Ternyata konsep politik seperti itu tidak berjalan normal. Politik tidak lagi murni memproduksi tatanan kehidupan yang beradab melainkan sebaliknya, kekacauan. Korupsi merupakan “wabah pandemik” yang memorak-porandakan tatanan kehidupan politik yang baik dalam suatu negara. Lebih mirisnya lagi, aktor pencuri uang Negara itu adalah wakil rakyat (elite politik) yang pada saat kampanye berani berjanji untuk setia mengabdi pada kepentingan rakyat.

Indonesia menjadi salah satu Negara yang subur menumbuhkan aktor koruptor. Pembangunan demi kesejahteraan rakyat menjadi dalih substansi perampokan uang Negara. Ternyata benar bahwa setan hadir dalam sejuta rupa. Dan, rupa yang paling dominan adalah rupa perjuangan untuk sanak saudaranya.

Dalam analisis ilmiah Hannah Arendt, seorang ilmuwan berdarah Jerman, korupsi disebabkan oleh matinya aktivitas berpikir seseorang. Berpikir menurut Arendt adalah berdialog dengan diri sendiri. Berdialog dengan diri sendiri merupakan salah satu upaya untuk menemukan jati diri seseorang yang sesungguhnya.

Konsep Arendt di atas ternyata diadopsi dari gaya Socrates ketika dia berdialog dengan Plato. Socrates ketika berdialog dengan Plato selalu mendahului pemahaman akan dirinya sendiri. Menurut Socrates, memahami diri sendiri adalah prasyarat utama untuk tahu hidup bersama orang lain (Kladu, 2018: 173). Dampak dari pemahaman akan diri sendiri ialah merasa cemas dan takut ketika bertindak secara tidak etis. Ketakutan dan kecemasan itulah yang menghantar orang pada suatu titik di mana orang tersebut tidak ingin melakukan sesuatu yang buruk atau jahat.

Thomas More

John Prior dalam buku Mengabdi Kebenaran membicarakan spiritualitas Thomas More dengan judul artikel “Tolak Tunduk: Harga Sebuah Nurani” (2005:259). John Prior menjelaskan bahwa Thomas More adalah salah satu figur unggulan ketika berbicara soal bagaimana mengenal diri sendiri dan bertindak sesuai dengan hakikat manusia sebagai zoom politikon.

More berasal dari London, Inggris. Ia sangat dikenal sebagai tokoh humanis yang sejati. More merupakan salah satu tokoh gerakan cendekiawan yang mempengaruhi peradaban bangsa Eropa pada awal abad 16. Dalam mempengaruhi peradaban Eropa itu, More ditemani oleh kedua rekannya yakni Desiderius Erasmus dari Utrecht dan Jhon Colet dari London. Mereka berkoordinasi untuk membangun peradaban bangsa Eropa yang lebih baik. Wawasan mereka sangat luas. Pengetahuan mereka sebagian besar berasal dari Alkitab yang mereka tafsirkan sendiri sesuai dengan konsili-konsili awal.

Kepribadian Thomas More bersifat ekstrover. Hal ini dapat dilacak melalui pola relasi yang dikonstruksikan dalam kehidupan sosial masyarakat. Bahwa More bukan saja bergaul dengan orang-orang sederajat dengannya (cendekiawan dan keluarganya saja) tetapi bergaul dengan semua orang tanpa membeda-bedakan.

Selain More memiliki kemampuan progresif dan transformatif dalam memperjuangkan peradaban Eropa, More juga fasih dalam hal pengacara. Ia sangat terkenal sebagai pengacara karena memiliki kemampuan retorika yang baik dan wawasan pengetahuan yang memadai sehingga ia pandai memecahkan persoalan serumit dan seakut apa pun bentuknya.

Pada periode yang sama, More dikenal oleh masyarakat umum sebagai orang yang jujur. Dia salah satu pengacara yang tidak pernah menerima suap dalam bentuk apa pun. More menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab. Keluarganya tidak pernah menerima keuntungan apa pun dari pekerjaan More sebagai pengacara. Pernah suatu kali, anak menantunya mengeluh karena tidak mendapat perhatian khusus darinya. More menjawab, “Anakku kalau saya memecahkan suatu persoalan meskipun berhadapan dengan ayah kandung tapi kalau ayah kandung saya itu berada pada posisi yang salah maka saya berani menyatakan, ayah salah dan layak untuk dihukum”. Soal keadilan tidak ada yang namanya kompromi apalagi negosiasi.

Sikap konsisten Thomas More dalam bertindak dan mengambil keputusan sangat perlu untuk diteladani oleh elite politik zaman ini. More paling kurang sudah membuka jalan bagi para politisi bagaimana metode yang tepat untuk bertindak dan mengambil keputusan yang baik.

Di Inggris pernah terjadi kekalutan politik ketika Inggris kala itu dipimpin oleh raja Hendry VIII dan More menjabat sebagai menterinya. Banyak pejabat Negara Inggris yang korupsi, bertindak untuk kepentingan diri sendiri, kelompok tertentu dan mengabaikan kepentingan umum, mencari sensasi dipanggung politik agar terlihat hebat. Namun, dalam situasi seperti itu, More lebih memilih untuk menjadi orang yang jujur dan berbakti kepada kepentingan umum. Ia tidak tergoda dengan tawaran duniawi yang sedap seketika, lalu kemudian hilang tidak membekas makna apa pun.

Apa yang membuat Thomas More bertindak jujur ketika teman-teman dekatnya di parlemen melakukan korupsi dan memuliakan kepentingan sendiri?

Setelah dilacak lebih dalam, ternyata More dalam setiap keputusan yang hendak diambilnya selalu mengedepankan suara hati nurani. Robert Bolt dalam sandiwaranya A Man for All Seasons mengetengahkan Thomas More sebagai tokoh nurani (Ibid., 274). Hati nurani adalah akal manusia yang sedang berpikir secara praktis dan bergumul secara moral.

Berpikir praktis adalah corak berpikir yang selalu mempertimbangkan realitas sekitar atau realitas di mana seseorang itu berada. Ia berpikir sesuai dengan kondisi yang sedang dia alami sendiri. Sedangkan, pergumulan moral adalah sebuah aktivitas yang mempertimbangkan soal baik dan buruk dari sebuah tindakan. Pergumulan moral itu selalu berawal dari pertimbangan suara hati. Suara hati yang memutuskan apakah tindakan itu pantas untuk dilakukan atau tidak.

Karena itu, Bolt mengatakan bahwa More adalah sosok yang mengenal siapa dirinya yang sebenarnya. Mengenal diri sendiri menghantar More untuk tidak bertindak melampaui potensinya (actus melampaui potensi). Ia mengetahui sampai di mana keterlibatannya dalam urusan politik. Ia mengenal batas-batas di mana ia harus terlibat di dalamnya dan di mana ia harus memilih untuk diam. Dalam bukunya yang sangat familiar berjudul Utopia, ia berargumen bahwa jika pendapatku lain dari pendapat umum sebaiknya aku berdiam diri karena lebih baik berdiam dari pada mendukung kegilaan mereka.”(Ibid., 279).

Tobat Politik

Dalam KBBI, tobat (repentance) diartikan sebagai sadar dan menyesal akan dosa (perbuatan yang salah atau jahat) dan berniat akan memperbaiki tingkah laku dan perbuatan atau, kembali kepada agama (jalan, hal) yang benar.

Merujuk pada arti kata tobat menurut KBBI di atas maka, sangat relevan ketika kata tobat ini disematkan dalam konteks politik yaitu tobat politik. Tobat politik dipahami sebagai upaya untuk mengembalikan wajah politik yang syarat korup dan kotor kepada esensi atau hakikatnya yakni berjuang kebaikan dan kebahagiaan bersama seperti yang dikatakan oleh Aristoteles di atas.

Tobat politik mengandaikan aktor politik di dalam menyadari akan “keberdosaan” mereka. Mereka (elite politik yang korup) menyadari bahwa mereka telah melakukan suatu kesalahan, yang merugikan orang lain dan melenceng dari orientasi politik yang sebenarnya. Tanpa adanya kesadaran itu, aksi tobat politik hanya utopia saja – suatu idealisme reformasi yang tidak mempunyai dasar atau komitmen yang kuat di dalam diri para elite. Selain itu, menyadari akan kesalahan mereka, mereka juga mesti membangun komitmen untuk menata kehidupan politik di masa depan dengan lebih beradab dan elegan.

Thomas More adalah salah satu figur sentral yang patut untuk diteladani oleh para elite politik tanah air. Ia berani mengatakan sesuatu yang benar meskipun itu berhadapan dengan orang yang ia sangat kasihi (ayatnya). More berani menolak segala hasutan dan sogokkan sebagai bentuk dedikasi yang total kepada kepentingan rakyat. More adalah seorang pemberani yang siap dibenci dan dicaci karena melakukan sesuatu yang benar demi kebaikan semua orang.

More mengajak para elite politik untuk bertindak sesuai dengan hati nurani. Hati nurani mempunyai kekuatan besar untuk dapat membedakan mana ilalang dan mana gandung – mana yang layak dicabut dan mana perlu dirawat.

***

*) Penulis adalah Vayan Yanuarius, Mahasiswa Ilmu Filsafat Sekolah Tinggi Filasafat Katolik Ledalero Maumere NTT.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah minimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Adhitya Hendra

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES