Kopi TIMES

Prioritaskan Penanganan Covid-19, Stop Omnibus Law

Rabu, 08 April 2020 - 18:06 | 100.09k
Muhammad Fitrah Ashary Bangun- Mahasiswa Manajemen UMM, Kader HMI Cabang Malang.
Muhammad Fitrah Ashary Bangun- Mahasiswa Manajemen UMM, Kader HMI Cabang Malang.

TIMESINDONESIA, MALANG – Rakyat Indonesia saat ini dianalogikan 'sudah jatuh ketiban tangga'. Bagaimana tidak, Covid-19 yang terus semakin hari semakin meningkat kurvanya menimbulkan dampak yang sungguh luar biasa parah. Baik dalam konteks banyaknya korban maupun segala aspek lainnya. Hal ini ditambah pula dengan maraknya desakan pemerintah untuk kembali ingin membahas RUU Omnibus Law yang dirasa sangat sepihak dimana sebelumnya telah dilakukan Sidang Paripurna untuk menyerahkan pembahasan ini kepada Badan Legislasi DPR.

Pertanyaan yang timbul adalah, Mengapa pemerintah begitu menggebu-gebu mendesak diadakannya pembahasan atau bahkan bisa saja nantinya berlanjut kepada pengesahan RUU Omnibus Law? Meskipun dalam situasi yang sangat tidak memungkinan hari ini (Pandemi Covid-19).

Sedangkan sejak awal (situasi normal/ belum adanya Pandemi Covid-19), pembahasan RUU ini kurang melibatkan masyarakat. Sehingga kemudian, timbul asumsi bahwa DPR menggunakan celah dimana gerakan masyarakat sipil memiliki keterbatasan untuk melakukan aksi ke jalan untuk menentang RUU Omnibus Law akibat masifnya pelarangan terhadap orang yang berkumpul/ berkerumun.

Ketika pemerintah menjawab urgensi untuk mendesak Omnibus Law adalah demi kepentingan bersama yang bertujuan untuk mengembangkan aspek ekonomi dan industri di Tanah Air, untuk kebaikan bangsa dan negara.

Maka pertanyaan selanjutnya adalah, kebaikan ekonomi siapa, bangsa apa, dan negara yang mana? Jika yang dikatakan adalah bermaksud untuk kepentingan perekonomian segelintir orang saja (para konglomerat + birokrat), maka ini sama saja memperpanjang perbudakan dan imperialis di negeri sendiri.

Dan jangan sampai pemerintah menjadi tega dan hilang rasa manusiawi terhadap rakyat hanya karena tangan-tangan besar para pemodal sudah bekerja di DPR.

Distrust Oleh Masyarakat Kepada Pemerintah

Seperti diketahui bersama, Kurva Covid-19 di Indonesia belum juga menampakkan grafik yang bersahabat yakni pasien positif terus bertambah per 6 April 2020  menjadi 2.491. Hal ini terus menimbulkan kegelisahan bahkan stigmatisasi di tengah masyarakat kita.

Oleh sebab itu, saat ini yang mestinya dibutuhkan oleh pemerintah adalah bagaimana cara mengembalikan kepercayaan publik atas penangangan Covid-19 dan bukan malah sibuk dengan proyek RUU Omnibus Law yang sangat kontraproduktif untuk situasi dan kondisi hari ini..

Hal ini karena publik perlahan mengalami dilema atas inkosistensi pemerintah dalam membuat kebijakan yang sama sekali tidak sinergis untuk penanganan Covid-19. Ketidaksinergisan tersebut bukanlah penulis judge sebagai permsalahan pemerintah secara parsial saja (bukan mendikreditkan pihak/ elemen tertentu), akan tetapi ini murni karena kebijakan yang dibentuk adalah tidak secara holistik dan antar lini berjalan sendiri-sendiri.

Semisal pada saat Menteri Dalam Negeri yang keberatan dengan dengan diberlakukannya Karantina Wilayah oleh Gubernur Papua, dan hal ini juga dibarengi dengan intruksi Presiden yang menyatakan untuk tidak akan memberlakukan lockdown. Namun, beberapa hari berselang Menteri Dalam Negeri malah menerbitkan Surat Darurat Covid-19, dimana menyatakan panduan dan diperbolehkannya Pemda (Pemerintah Daerah) untuk memberlakukan Karantina Wilayah.

Setelah itu, inkonsistensi ini kembali hadir, ketika Presiden menyatakan untuk segera akan menerapkan Kebijakan Darurat Sipil guna menangani Pandemi Covid-19. Dan hanya dalam hitungan beberapa jam, kebijakan tersebut berubah menjadi PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dengan Karantina Kesehatan yang mengacu pada UU Kesehatan No.6 Tahun 2018 yakni, “Pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/ terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.”

Dari sini kita mengetahui bahwa, terdapat trouble yang cukup serius dari pemerintah, sehingga sering terjadi inkonsistensi (tidak konsisten). Hal inilah yang membuat kepanikan dan distrust terhadap pemerintah yang belum mampu sebagai otoritas dalam menganalisa dan menentukan kebijakan yang tepat.

Skala Prioritas: Hentikan RUU Omnibus Law dan Fokus Kepada Penganganan Covid

Dalam situasi dimana Indonesia masih dalam cengkeraman Covid-19, maka seyogyanya pemerintah dapat mengambil sikap dan skala prioritas demi kebaikan bersama.

Menghentikan Pembahasan RUU Omnibus Law, yang dianggap mengancam keselamatan rakyat dan lingkungan hidup yang dipastikan akan minim pengawasan dan pengawalan, sebab rakyat masih berjibaku dalam pesakitan melawan wabah Covid-19, adalah hal yang paling rasional dilakukan.

Sehingga kemudian, pemerintah dan rakyat dapat dengan fokus menjalankan sekaligus menguji efektivitas kebijakan terakhir yang telah dikumandangkan yakni penerapan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang sementara ini masih resmi mulai terlebih dahulu diberlakukan di Jakarta pada Jum’at, 10 April 2020.

Selain itu juga, pemerintah harus segera memberlakukan secara resmi dan menyeluruh terkait realokasi dana infrastruktur, dana pemindahan ibukota, maupun dana-dana lain yang dirasa belum menjadi urgensi saat ini (penundaan proyek-proyek untuk sementara waktu). Hal ini untuk merealisasikan Anggaran Stimulus untuk penanganan Covid-19 yang dikalkulasikan lebih dari Rp 405 Triliun sehingga dapat memenuhi kebutuhan medis dan kebutuhan rakyat ketika PSBB itu diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia.

Jika skala prioritas ini menjadi jalan sikap pemerintah Indonesia. Bukan tidak mungkin, kita segera akan melihat hasil baik dari penanganan serius Covid-19 dan kembali menata ekonomi Indonesia dan aspek-aspek lainnya. Karena percuma saja ketika investasi marak dilakukan, tetapi secara fundamental (negara dan SDM) sedang dalam keadaan sakit.

Seperti yang dikatakan oleh Presiden Ghana, Akufo-Addo, “Kami tahu cara menghidupkan kembali ekonomi. Yang kami tidak tahu adalah bagaimana menghidupkan kembali orang yang mati.” (*)

 

*) Penulis: Muhammad Fitrah Ashary Bangun - Mahasiswa Manajemen UMM, Kader HMI Cabang Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES