Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Logis Terjadi Krisis Negarawan

Senin, 06 April 2020 - 16:22 | 43.87k
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA).
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA).
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Ada jargon yang berbunyi ”ingin menjadi bangsa unggulan, wajiblah mempunyai generasi (sumber daya manusia) unggulan. Tanpa generasi unggulan, suatu bangsa hanya pantas disebut sebagai bangsa lembek dan kalah”.  Jargon ini menunjukkan, bahwa masyarakat atau bangsa unggulan ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya. Dengan sumber daya manusia berkualitas, prediket keunggulan sebagai bangsa akan melekat.

 Keunggulan ini hanya bisa diraih melalui penyelengaraan pendidikan yang memproduk manusia unggulan. Penyelenggaraan pendidikan bukan hanya di sekolah dan kampus, melainkan juga di rumah atau lembaga-lembaga yang bertekad memberikan yang terbaik dalam membentuk anak-anak (generasi) unggulan.

Itu menunjukkan, bahwa bukan sekolah atau kampus mentereng dengan tarif mahal dan fasilitas eksklusif yang menentukan subyek didik (anak-anak) menjadi generasi unggulan, tetapi keseriusan setiap penyelanggara pendidikan dan kesungguhan subyek didik dalam pengimplementasian proses pembelajaran.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Sebagai contoh, pernah terjadi misalnya sekolah unggulan tidak otomatis melahirkan unggulan. Dalam kasus hasil Unas beberapa tahun lalu, setidaknya dapat dijadikan indikasi, bahwa banyak sekolah di wilayah marjinal, yang umumnya dijauhi oleh masyarakat dalam ranah perburuan sekolah, ternyata menuai hasil menakjubkan.

Umumnya sekolah marjinal (pinggiran) dijadikan opsi (sebelum ada sistem zonasi) oleh siswa atau orang tua bukan karena label sekolahnya mengandung dan mengundang daya tarik yang membius (mempesona) untuk dipilih, tetapi lebih disebabkan iurannya terjangkau, atau tidak banyak mengeluarkan kebijakan berbau kapitalisme pendidikan yang berbajukan permintaan sumbangan mengikat.

Kalau ada sekolah dari wilayah pinggiran, ternyata peserta didiknya  memperoleh prestasi hebat di berbagai bidang, maka seharusnya  hal ini mengingatkan kita, bahwa sejatinya prestasi peserta didik bukan (keunggulan generasi) ditentukan lokasi atau label sekolahnya, namun lebih ditentukan oleh  aktifitas ”keunggulan” proses pembelajaran yang dilandasi sikap militansi edukasi peserta didik dan penyelenggara utamanya.

Hal itu mengajarkan, bahwa sehebat apapaun label unggulan disandang oleh suatu lembaga pendidikan, yang antara lain ditandai dengan kelengkapan sarana belajar-mengajar,  banyaknya kebijakan iuran untuk bimbingan belajar, studi wisata, dan pengajarnya lulusan luar negeri, tetapi kalau kalangan peserta didiknya tidak mempunyai mental belajar yang kuat, tidak terdidik mandiri dan tahan banting dalam menghadapi tantangan seperti saat dihadapkan dengan wabah Corona ini, atau hanya menjadi kumpulan anak-anak dari kalangan mapan, maka mustahil mereka bisa menjadi sumberdaya manusia unggulan di negeri ini. 

Mawardi dkk (2008) menyatakan, bahwa tidak sedikit anak-anak yang semasa pra-sekolah (duduk di bangku TK) atau ”sekolah persiapan” sudah dipersiapkan dengan segala bentuk materi pelajaran dan privat berharga mahal yang terbilang cukup berat seperti dipaksakan berbahasa Inggris atau menghafalkan banyak kosakata, yang oleh orang tuanya, cara ini digunakan mengantarkan anaknya bisa (wajib) masuk sekolah unggulan, ternyata seringkali mengalami kekurangkreatifitasan atau mengidap ”stagnasi” inovasi dalam mengembangkan atau menalar pelajaran lain, yang lebih mengeksaminasi kemandirian dalam menjawab soal bertemakan problem kekinian.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Pernyataan itu setidaknya mengingatkan kita, bahwa banyak aspek yang mempengaruhi pembentukan subyek didik dalam dunia pendidikan, sehingga bisa terbentuk menjadi sosok unggulan. Meski dipersiapkan dengan memboroskan uang banyak, belum tentu mereka ini sukses menuai prediket generasi unggulan yang sebenarnya, pasalnya masih banyak aspek lain yang mempengaruhinya, diantaranya kesiapan fisik dan psikologis saat proses pembelajaran diimplementasikan atau dinamika realitas sosial yang ikut mempengaruhinya.

Gejala selama ini sangatlah berlawanan, di satu sisi ada kecenderungan semakin kuatnya kita mendewakan lembaga pendidikanunggulan, sementara  lembaga pendidikan pinggiran jarang sekali dijadikan obyek pilihan atau opsi privilitas oleh masyarakat. Kita umumnya gampang meledek, mencibir, dan hanya memperlakukan lembaga pendidikan sebagai “pelengkap penderita” atau lembaga pendidikan yang secara darurat baru dipilih ketika yang kita anggap unggulan sudah tidak bisa kita pilih.

Kita memang biasanya terjebak tidak mau memilih lembaga pendidikan pinggiran. Kita tergiring menjadikan lembaga pendidikan pinggiran sebagai “label” disparitas social, yang mengesahkan bahwa sekelompok orang yang berasal dari keluarga tidak mampu (miskin), hanya pantas menempati stratifikasi dunia pendidikan “klas dua”, sementara yang brerbiaya mahal dan berfasilitas eksklusif ditempatkan sebahasa dengan status sosiaalnya. Kondisi demikian inilah membuat sulitnya melahirkan generasi yang benar-benar unggulan, sehingga wajar kalau negeri ini sampai mengalami krisis negarawan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA).

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES