Kopi TIMES

Hitam Putih Covid-19

Senin, 06 April 2020 - 14:34 | 116.04k
Naufal Witartono, Presiden Mahasiswa Unair Banyuwangi. (Grafis TIMES Indonesia)
Naufal Witartono, Presiden Mahasiswa Unair Banyuwangi. (Grafis TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Corona Virus Disease-19 (Covid-19) sedang menjadi perhatian serius di seluruh penjuru dunia. Semenjak pertama kali muncul tahun lalu (November, 2019) di China, kini Covid-19 telah menyebar ke hampir seluruh muka bumi, tidak terkecuali Indonesia.

Di Indonesia, pertama kali munculnya kasus Covid-19 terjadi pada 14 Februari 2020 silam di Jakarta. Hingga saat ini, Pemerintah Indonesia sedang menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam aktivitas sosial-masyarakat sebagai upaya preventif guna mereduksi kemungkinan berjatuhannya korban akibat virus corona.

Sebagai seorang mahasiswa, saya bermaksud mengulas mengenai Covid-19 dalam perspektif humaniora (dari berbagai sudut pandang kelompok masyarakat) sebagai bentuk respon atas terjadinya fenomena Covid-19.

Dari sudut pandang kelompok aktivis lingkungan (enviromentalis), fenomena Covid-19 diyakini sebagai mekanisme alamiah dari bumi untuk memulihkan ekosistem yang kian hari kian rapuh. Bagaimanapun, munculnya pandemi virus corona telah setidaknya membuat proses perusakan alam sebagai akibat dari aktivitas keseharian manusia tereduksi secara signifikan untuk sesaat.

Di sisi lain, kelompok spiritualis melihat pandemi global virus corona sebagai teguran alam akan kejumawaan golongan agamis. Bagaimanapun, pandemi virus corona menyebabkan aktivitas ritual dan festival keagamaan yang begitu antusias dihadiri ratusan bahkan ribuan manusia harus dibatalkan demi menghentikan penularan virus yang dapat dikatakan begitu massif. Manusia dipaksa mengucilkan diri, menjaga jarak sosial, dan menempuh jalan kesunyian setiap harinya dengan menjalankan seluruh aktivitasnya di rumah.

Kelompok koservatif, menganggap terjadinya Covid-19 merupakan bagian dari konspirasi para elit global. Bukan tidak mungkin virus ini diciptakan sebagai senjata biologis untuk melumpuhkan seisi dunia. Tak pelak lagi, negara-negara pembuat vaksin anti virus dituduh sebagai biang keladinya guna mengklaim sebagai negara yang memiliki keahlian mutakhir dalam bidang farmasi.

Sementara itu, kebanyakan orang yang terancam bangkrut, kehilangan pekerjaan, bahkan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dibuat was-was dan terus menunggu kapan pandemi virus corona akan berakhir. Jangankan bagi mereka yang telah dinyatakan positif mengidap virus corona, atau bagi mereka yang terdampak secara langsung atas pandemi virus corona ini (tenaga medis), bahkan yang masih benar-benar sehat dan tidak terlalu beresiko untuk terkena virus pun dibuat paranoid dan stress akibat segala kemungkinan yang bisa saja terjadi.

Sisanya, dari mahasiswa maupun pelajar, terlebih yang sedang berada di perantauan, fenomena COVID-19 antara menjadi berkah dan masalah besar. Menjadi berkah karena setidaknya memiliki cukup waktu untuk rehat sejenak dari kesibukan aktivitas akademik maupun organisasi. Namun masalahnya adalah, proses akademik berlangsung begitu sulit dan membingungkan.

Optimalisasi proses belajar tentu tidak akan dapat direngkuh oleh sebagian besar mahasiswa maupun pelajar. Belum lagi mesti bersusah-payah menemukan wifi bagi yang tidak terfasilitasi wifi di rumah, guna menghemat pengeluaran kuota internet. Terlebih, bagi mahasiswa semester akhir, proses penelitian lapangan terhenti, dan tidak jelas sampai kapan penundaan harus dilakukan.

Tapi, terlepas dari apapun itu, pandemi global ini banyak mengajarkan kita tentang kesetaraan dan kesatuan sebagai manusia, dengan sepenuhnya menyadari sebenarnya bahwa kita begitu rentan dihadapan alam. Tidak ada tempat untuk perdebatan perbedaan politik, perbedaan keyakinan beragama, perbedaan rasial dan etnik. Seluruh umat manusia harus bekerja sama, saling bertumpu satu sama lain, untuk bersama-sama mengatasi atau setidaknya tidak memperburuk keadaan karena penyakit hadir tanpa sedikitpun melihat latar belakang manusia.

Manusia tidak lagi bersikap terlalu individualis maupun terlalu koletivis, karena mementingan diri sendiri maupun terlalu sering berkumpul kini menjadi sesuatu yang berbahaya dan dapat mengakibatkan sebuah bencana. Manusia dituntut untuk berpikir secara berimbang, selaras, dan holistik (keseluruhan). Semoga setelah pandemi Covid-19, kita semua menjadi manusia baru, dengan karakter yang lebih baik, etika dan moral yang lebih terjaga, serta semangat berkolaborasi antara satu dengan yang lainnya dapat terajut dengan kuat. (*)

*) Penulis adalah Naufal Witartono, Presiden Mahasiswa Unair Banyuwangi

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Sofyan Saqi Futaki
Sumber : TIMES Banyuwangi

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES