Kopi TIMES

Ijen dan Bencana yang Tak Boleh Dilupakan

Senin, 06 April 2020 - 13:40 | 93.59k
Baharian Muhammad (FOTO: Istimewa)
Baharian Muhammad (FOTO: Istimewa)

TIMESINDONESIA, BONDOWOSO – Pernah tahu pernyataan bijak Mahatma Gandhi yakni 'Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang, tapi tak akan pernah cukup memenuhi keserakahan satu orang saja'?

Lupakan dulu Gandhi. Kita kembali ke Ijen. Tepatnya Kecamatan Ijen Kabupaten Bondwoso, Jawa Timur. Awal tahun 2020. Tanggal 29 Januari. Bencana banjir bandang menerjang kecamatan yang berbatasan dengan Banyuwangi itu. Dari catatan BPBD setempat, sedikitnya 214 rumah dan sejumlah faslitas umum terendam. Ratusan orang mengungsi. Mereka kehilagan 864 ternak. Pekakas rumah dan harta benda hanyut, terendam lumpur.

Trauma belum hilang. Sekitar 45 hari berikutnya. 14 Maret 2020. Bencana yang lama mengintai itu datang lagi. Lebih besar dari sebelumnya. 314 rumah terendam. Ratusan orang harus mengungsi. Awal tahun yang tidak menguntungkan bagi warga Desa Sempol dan Kalisat. Bencana kedua ini menyisakan tumpukan pasir dan lumpur setebal 50 centimeter hingga 2 meter.

Bencana tetaplah bencana. Nasi sudah menjadi bubur. Gunug di sekitar Ijen sudah menjadi lumpur. Tapi bencana dan segala ancamannya ini, setidaknya tetap menjadi pelajaran dan evaluasi kepada kita. Seorang penulis sain dan tasawuf modern, Agus Mustofa, menuturkan. Bahwa bencana alam (apapun itu, banjir, gempa dan sejenisnya) adalah cara alam menyeimbangkan diri. Artiya, salah satu sisi alam (baca: bumi) dirusak, disakiti, dieksploitasi dan sejenisnya.

Kita kembali ke bencana Ijen. Banjir bandang kemarin. Bukan hanya terjangan air, tapi lumpur. Material banjir juga terdiri dari pasir dan potongan kayu berdiameter besar. Pertanyaannya, pegunungan Ijen sebelah mana yang telah rusak (untuk tidak mengatakan dirusak oleh segelintir orang), sehingga alam tak lagi seimbang?

Ternyata aliran air disertai lumpur itu berasal dari Gunung Suket. Salah satu pegunungan di Ijen. Sudah lama bencana itu mengancam warga Ijen. Persis di atas ‘kepala’ mereka. Jika air dan potongan kayu berasal dari sana. Apa yang terjadi di Suket?. Berdasarkan pengakuan sejumlah warga terampak. Ternyata di atas ada penggundulan hutan, yang dialihfungsikan menjadi lahan pertanian kubis dan kentang.

Tak hanya kata warga. Sejumlah aktivis peduli lingkungan, yang tergabung dalam Forum Reboisasi Bondowoso (FRB), menegaskan hal serupa. Di Gunung Suket ada pengundulan hutan dan alih fungsi lahan. Perlu saya cetak miring?. Di Gunung Suket ada pengundulan hutan dan alih fungsi lahan. Pemerintah setempat juga mengakui itu. Ada 600 hektar lahan di Suket dijadikan lahan pertanian.

Hasil diskusi saya dengan salah satu anggota FRB. Di Gunung Suket, sama sekali tidak ada tegakan. Yang dulunya hutan kini murni lahan pertanian. Pertanian kubis dan kentang. Namun Perhutani KPH Bondowoso, menganggap itu bukan alih fungsi lahan. Tapi pemanfaatan kawasan hutan untuk agroforestry.

Oke. Kita sama-sama pelajari. Apa itu agroforestry? Maydell sebagaimana dikutip Alrasjid mengatakan, agroforestry adalah sebagai suatu sistem pengguanaan lahan, dimana pada lahan yang sama, ditanam secara bersama-sama antara tegakan hutan dan tanaman pertanian.

Meski bukan orang kehutanan. Kita dengan mudah bisa memahami maskud definisi di atas. Perlu saya cetak miring lagi? Oke. Ditanam secara bersama-sama antara tegakan hutan dan tanaman pertanian. Tegakan dan tanaman pertanian harus bersama-sama. Namun kenyataanya, pemanfaatan hutan di Gunung Suket telah mencederai definisi agroforetry. Sebab yang ada hanya tanaman pertanian, dan tegakannya hilang (dimusnahkan secara ilegal). Pantaskah penanaman kubis dan kentang di Gunung Suket disebut agroforestry? Jawab sendiri.

Apapun klaim pemangku kebijakan. Apapun keluhan masyarakat Ijen, sudah tidak berarti lagi. Tak akan mengembalikan hutan seketika. Yang paling dibutuhkan hari ini adalah instrospeksi diri. Menyadari bersama, bahwa kondisi di Gunung Suket adalah pembukaan lahan. Murni sebuah kesengajaan nafsu serakah manusia. Kita tahu, tidak mungkin pohon seluas 600 hektar bersepakat  untuk tumbang sendiri secara bersama-sama.

Terus, siapa yang bertanggung jawab atas semua itu? Secara umum kita semua bertaggung jawab atas pengrusakan hutan. Karena kita sendiri juga mendapatkan manfaat keberadaan hutan. Makanya puluhan komunitas yang tergabung dalam FRB dan aparat melakukan penenaman sekitar 6000 bibit pohon di Suket, pasca banjir jilid satu.

Tapi bagaimanpun, ada pihak yang harus bertanggung jawab secara khusus atas penggundulan hutan di Suket. Wakil bupati Bondowoso sudah membuka kran, siapa sebenarnya yang bermain di balik itu?. Dalam sebuah pertemuan yang membahas relokasi warga Ijen. Wabup membocorkan satu hal penting, bahwa aparat telah memanggil pihak Corporate besar, yakni Indofood. Bahkan sudah mengantongi nama-nama pelaku. Entah seperti apa kelanjutan ceritanya? Belum ada kabar lagi. Apakah itu pembiaran atau ketidaksengajaan. Tapi tidak masuk akal, jika penebangan pohon seluas 600 hektar tidak disenagaja.

Di tengah bencana wabah Virus Corona ini. Ijen dan bencana yang menimpanya juga tidak boleh dilupakan. Apalagi, tumpukan pasir dan lumpur akibat banjir jilid dua, belum juga dibersihkan dari rumah warga dan fasilitas umum. Hutan gundul telah mengancam kehidupan mereka. Menenggelamkan harta kekayaan. Mereka berhak mendapatkan ketenangan.

Sebagaimana kata Agus Mustofa. Ketika alam sakit, tubuhnya tidak seimbang. Dia akan menyeibangkan diri. Banjir, longsor dan sebagainya cara alam menyeimbangkan diri. Jelas! Banjir bandang di Ijen karena alam sakit. Ternyata benar, manusia sejak lama telah menyakiti sisi tubuhnya. Sisi tubuh di Gunung Suket. Maka alam memberi peringatan dengan banjir. Jika tidak, pembakaran hutan dan penebangan pohon secara ilegal pasti akan meluas ke sisi tubuhnya yang lain. Benar kata Ghandi, alam ini tak akan pernah cukup memenuhi keserakahan satu orang saja. Ingat!  Ijen dan banjir bandangnya adalah pembelajaran.

Sebelum tulisan ini ditutup. Mari kita renungkan pernyataan Jostein Gaarder, dalam salah satu buku novel filsafat alamnya. Ada sebuah pesan seorang nenek kepada cucunya yang belum lahir: Saat ini, aku hidup di salah satu pojok dunia yang paling kaya. Sayangnya hanya ada satu hal yang dianggap penting. Kita menyebutnya sebagai 'konsumsi', atau memandangnya sebagai 'pemanfaatan'. Di berbagai peradaban lain hal itu lebih sering disebut sebagai kebutuhan pokok. Ketika kita alih-alih menyebutnya dengan kata kosnsumsi atau pemanfaatan, itu mungkin karena kita tidak menyadari bahwa semua itu ada batasnya. Cangkir tidak pernah penuh. Satu kata yang hampir tidak digunakan lagi, ialah sebuah kata yang pendek, yaitu ‘cukup’. Kita sebaliknya menyandingkan diri kita dengan sebuah kata lain, yang juga pendek. Kita berkata, ‘lagi’.

Dari tulisan Gaarder, kita bisa belajar bahwa apa yang disebut pemanfaatan hutan, kadang hanya sebuah kedok yang diapakai manusia untuk menutupi keserakahannya sendiri. Sebab pada diri kita tak pernah ada kata ‘cukup’. Kita rusak terus alam ini. ‘lagi’ dan ‘lagi’. Padahal generasi selanjutnya, anak cucu kita juga membutuhkan itu semua. Sekali lagi! Anak cucu kita juga berhak melihat Ijen dengan segala keindahannaya. Bukan Ijen dengan segala bencananya. Sekian. (*)

***

*)Penulis adalah Bahrian Muhammad, alumni PKPNU angkatan IV. Alumni Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar Madura. Penulis amatiran.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Sofyan Saqi Futaki
Sumber : TIMES Bondowoso

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES