Kopi TIMES

Antisipasi Himpitan dengan Jimpitan

Minggu, 05 April 2020 - 11:13 | 113.15k
Mukhlis NS -Desawarnana. (FOTO: Istimewa)
Mukhlis NS -Desawarnana. (FOTO: Istimewa)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Dengan adanya Covid-19, di beberapa daerah mulai diberlakukan posko jaga desa, anak-anak muda mengisi jatah piket dengan mendata keluar masuknya penduduk, lalu mendata sebagaimana protap satgas. Di sini, kami yang muda mulai terbiasa jaga desa.

Fungsi ronda (jaga desa di waktu malam) mulai aktif kembali. Kesadaran tidak hanya dimiliki bapak-bapak yang biasa dapat jatah. Anak-anak muda mengisi waktunya tanpa harus dipaksa. Bedanya, kalau dulu dibarengi dengan main domino atau gaple, kini diselingi dengan dolanan pubg.

Secara tidak langsung, tata pemerintahan masa lalu, di mana ada Jogo Boyo (petugas menjaga keamanan), Jogo Wono (petugas menjaga lingkungan), hidup lagi. Keberadaan pemerintah melalui kordinasi pemdes (mestinya) tidak sekadar duduk di meja, tapi langsung meninjau di lapangan.

Di lain sisi, bagaimanapun kebutuhan primer manusia pada umumnya dengan efek mandegnya aktivitas ekonomi ini adalah pangan. Dan desa sebagai penopang hasil pertanian sepertinya akan kembali mengambil peran.

Pernah dengar praktik yang ada di Kasepuhan Cipta Gelar? Di mana mereka punya tata kelola untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya sendiri. Mereka punya Leuit, tempat untuk menampung hasil panen. Sederhananya, ini metode mereka membuat lumbung pangannya.

Lumbung sebagai cara pemenuhan terhadap ketersediaan pangan masyarakatnya, jadi elemen penting untuk persiapan-persiapan di desa ketika di musim semi ini wilayah subtropis sedang kesulitan memproduksi sumber makanannya sendiri.

Selain dengan cara menyimpan hasil panen yang berlebih dan tidak keburu untuk menjualnya keluar, stok lumbung di masa lalu (di beberapa daerah masih berlaku) diisi dengan budaya Jimpitan. Ada yang tau?

Jimpitan itu teknisnya, di jam tertentu setiap harinya, masyarakat desa akan menaruh beras yang ditaruh dalam gelas, lalu ada petugas piket yang mengambilnya. Setelah itu dikumpulkan di lumbung. Buat siapa ? Mereka yang dianggap membutuhkan terutama janda dan yatim piatu.

Disadari atau tidak, mereka yang jadi petugas keliling mengambil segelas beras tadi akan mengetahui kondisi yang ada di desa. Karena tak luput satu rumah pun dilewatinya. Keamanan desa jadi terkontrol, keadaan rumah per rumah terjaga. Mereka membantu keamanan desa. Padahal bukan hansip.

Masyarakat desa jadi merasakan manfaat dengan berkelilingnya petugas jimpitan,

1. Silaturahim tersambung erat

2. Keamanan desa terjaga

3. Saling berbagi terlaksana untuk memenuhi kebutuhan lumbung pangan

Dan, dengan terbiasanya anak-anak muda sekarang terlibat di posko untuk menjaga desa, mereka juga terbiasa mendata penduduknya, jadi hafal. Lalu bagaimana kalau informasi Jimpitan ini juga diberikan? Agar pelan-pelan kembali diterapkan.

Sebagai cara untuk mengaktifkan lagi lumbung pangan, dan pemerintah desa (yang kebanyakan diisi orang-orang tua) tidak lagi kebingungan mencari orang siapa yang harus menjalankan.

Disini, aku semakin meyakini apa yang dikatakan Jenderal Gatot tentang Proxy War nya di 2013 menjadi nyata. Bahwa suatu saat Indonesia akan jadi sasaran tembak utama mencari sumber kebutuhan pangan. (*)

Juga pergaulanku dengan guru-guruku yg sering mendongengi bahwa dulu di desa pernah diciptakan lumbung, budaya jimpitan, membuat ku menyadari pentingnya ini semua.

Agar tidak menjadi gegap gempita ketika sudah terjadi, lebih baik mencegahnya sedari sekarang. Biar bisa makan, kalau semisal terjadi lockdown-lockdown an lagi pasca berakhir nya Wabah Covid-19. Wallahualam, isih sinau. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES