Kopi TIMES

Nalar Kritis di Tengah Banjir Hoaks Korona

Sabtu, 04 April 2020 - 18:10 | 57.63k
Lukman Hakim Dosen Komunikasi IAIN Kediri dan Wakil Ketua LPTNU Mojokerto (Grafis: TIMES Indonesia)
Lukman Hakim Dosen Komunikasi IAIN Kediri dan Wakil Ketua LPTNU Mojokerto (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Kemunculan hoaks melalui berbagai platform media sosial mungkin belum sepenuhnya dibayangkan oleh para pakar teknologi komunikasi. Tujuan awal hadirnya media sosial tidak lain untuk mempermudah komunikasi antar manusia dan memberi ruang ekspresi dengan berbagai fitur interaksi yang lebih lengkap.

Hal semacam ini sering dianalogikan sebagai dua bilah mata pisau. Di satu sisi media sosial menjadi sarana menyebarkan kemanfaatan untuk banyak orang, namun di sisi lain juga dapat digunakan sebagai pabrik kejahatan. Salah satu kejahatan yang memberi dampak buruk serius bagi masyarakat adalah hoaks di tengah wabah virus korona yang terus menyebar tak terkendali.

Banjir hoaks seakan terus mengalir deras seiring dengan berbagai peristiwa dan kejadian yang sedang terjadi. Data terbaru Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat 305 hoaks mengenai virus korona per Senin (23/3). Diantaranya berita bohong tersebut mengenai Presiden Rusia, Vladimir Putin yang menurunkan 800 harimau dan singa agar warganya tinggal di rumah hingga Jakarta dikarantina wilayah.

Adapula informasi di grup WhatsApp yang menyebutkan bahwa Malaysia dan Singapura akan menyemprotkan racun pembasmi virus corona dari udara pukul 23.00 waktu setempat. Masyarakat pun diimbau untuk tidak keluar rumah. Namun, Kementerian Kominfo menegaskan informasi itu hoaks. 

Lalu, yang paling menyayat hati adalah hoaks mengenai dokter Hadio Ali Khazatsin yang wafat di tengah wabah virus korona. Sebuah foto di media sosial yang menunjukkan seorang pria, mengenakan masker, berdiri dekat pagar.  Ia menatap dua anak kecil yang berada di muka rumah. Foto itu disebut momen terakhir dokter Hadio sebelum wafat.

Tidak hanya hangat dibicarakan, kabar haru tersebut juga viral di media sosial facebook, twitter dan instagram. Penulis sendiri mendapatkan informasi mengenai hoaks yang menimpa dokter hadio dari sebuah grup WhatsApp. Banyak anggota di Whatsapp grup percaya dan menganggap kejadian itu nyata. Beberapa di antaranya mengungkapkan rasa empati atas perjuangan dokter Hadio.

Setelah ditelusuri lebih lanjut foto dokter Hadio identik dengan foto pada situs majalahpama.my dengan judul artikel "Takut Bawa Balik Virus Conid-19, Dokter Ni Tak Mau Masuk Rumah. Tengok Anak Dari Jauh". Foto yang diklaim pertemuan terakhir dokter Hadio dengan dua anaknya ternyata seorang warga Malaysia. Hingga detik ini hoaks terkait dokter Hadio masih banyak beredar, dibagikan dan disebar secara terbuka melalui berbagai platform media sosial.

Narasi yang dibangun tentang dokter Hadio memang bermaksud menggugah rasa peduli dan simpati. Pengorbanan sang dokter yang setia berjuang di garda terdepan menangani pasien korona harus didukung seluruh elemen masyarakat dengan melakukan social distancing. Namun hoaks tetaplah hoaks, tidak ada pembenaran yang bisa melegitimasi kebohongan dan kepalsuan. 

Doktrin Joseph Goebbels barangkali relevan dengan konteks hoaks dokter Hadio. Ia mengatakan "Sebarkan kebohongan (baca:hoaks) berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang, akan membuat publik menjadi percaya dan kebohongan yang paling besar ialah kebenaran yang diubah sedikit saja"

Pemerintah melalui Kementerian Kominfo melakukan dua hal untuk memerangi hoaks virus korona. Pertama, meminta platform digital menangguhkan (take down) konten dan memblokir akun penyebar hoaks. Kedua, meminta kepolisian menegakkan hukum bagi pembuat dan penyebar hoaks. Apakah dua  langkah itu cukup efektif ? Tentu saja tidak. Hoaks akan terus muncul seiring dengan fenomena dan peristiwa yang  setiap detik terjadi.

Nalar Kritis

Pertahanan terakhir sekaligus menjadi cara paling efektif menghadapi hoaks adalah mengaktifkan nalar kritis. Tawaran konsep dari Bapak Sosiologi sekaligus tokoh filsafat sejarah terkemuka, Ibnu Khaldun dalam magnum opusnya berjudul Muqaddimah perlu dicoba agar terbiasa bersikap kritis sejak dini. 

Pertama, selalu membaca setiap informasi dengan pikiran yang jernih dan objektif untuk menghindari dugaan negatif yang tidak berdasar. Kedua, bersikap skeptis dengan mempertanyakan setiap sumber informasi dengan menelusuri rekam jejak dan kredibitas sumber. Sepopuler apapun seorang figur atau sumber informasi langkah penelusuran harus tetap dilakukan.  

Ketiga, menelusuri konteks sebuah informasi. Meski sebuah kejadian terjadi secara bersamaan namun tetap memiliki latar sosial budaya yang berbeda. Keempat, menggunakan nalar publik untuk memvaliditasi sebuah informasi. Saat muncul infomasi viral sedangkan sulit diterima oleh nalar publik, patut diduga mengandung kebohongan.

Singkatnya, nalar kritis Ibnu Khaldun menuntun setiap individu untuk tidak mudah percaya, mendahulukan kecermatan, keakuratan, dan sikap selektif terhadap informasi. Dengan berpikir kritis pula, tidak akan mudah tenggelam dalam asumsi, prasangka dan berbagai pandangan tak teruji. Pemikiran kritis terejawantahkan dalam sikap dan tindakan yang sangat membantu dalam menghadapi berbagai situasi dan kondisi termasuk saat hoaks virus korona semakin banyak.

Tugas besar sebetulnya sedang berada di pundak para sarjana, akedemisi, profesor atau siapapun yang menganggap dirinya kaum intelektual dan terpelajar. Prinsip moralitas, keadilan dan logika sudah biasa dilakukan dalam membangun dasar pondasi argumentasi. Kerja-kerja mencerdaskan, menginspirasi dan mencerahkan adalah tanggungjawab moral yang mestinya dilakukan. Secara sederhana intelektual bekerja atas dasar kebenaran.

Atas dasar segala penghormatan yang disematkan tersebut, idealnya kaum intelektual menjadi pioner sekaligus agen terdepan melawan hoaks. Bukan malah turut menjadi korban sekaligus 'aktor intelektual' dalam mata rantai penyebaran hoaks. Sebagaimana yang seringkali penulis temukan berbagai media sosial. 

Jika menyadarkan orang banyak terlalu berat, langkah awal dapat dimulai dari lingkungan keluarga, kolega dan sahabat sebagai lingkaran terdekat. Setidaknya tidak ragu untuk menegur dan mengingatkan siapapun yang menyebarkan informasi hoaks. Bukan saja soal ancaman tatanan sosial yang bakal terganggu, lebih dari itu penyesatan akibat hoaks pada titik tertentu dapat merugikan, meresahkan bahkan membahayakan orang lain.
 
Pada akhirnya seluruh masyarakat harus menyadari bahwa hoaks begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari. Pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan berusaha mengambil keuntungan dari situasi genting akibat wabah virus korona perlu dilawan bersama. Pemerintah memang sudah melakukan sejumlah langkah penting, namun tanpa nalar kritis dari masyarakat sendiri hoaks tetap tumbuh subur dan terus berkembangbiak. Bahkan oleh kita sendiri. (*)

***

*Penulis, Lukman Hakim, Dosen Komunikasi IAIN Kediri dan Wakil Ketua LPTNU Mojokerto

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES