Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Sputnik dan Kita

Kamis, 02 April 2020 - 13:43 | 43.18k
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang.
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Pada akhir 1957, Rusia meluncurkan pesawat Sputnik. Amerika Serikat (AS) terkejut dan merasa ketinggalan zaman. Politisi AS serta-merta menuding pendidikan sebagai biang keladi ketertinggalan bangsa AS dari Rusia. Presiden John F Kennedy menanggapi serius "rendahnya mutu" pendidikan AS saat itu dan mencanangkan program peningkatan mutu pendidikan. Hasilnya? Tahun 1969, Neil Amstrong mendaratkan Apollo di Bulan.

Reaksi Amerika itu menunjukkan, bahwa dunia pendidikan menempati posisi strategis dalam menentukan maju tidaknya suatu bangsa. Sebagai pucuk pimpinan, John F Kennedy tidak terima dikalahkan oleh Rusia. John F Kennedy berambisi mengejar kekalahan atau ketertinggalannya, yang diantaranya dengan menggenjot dunia Pendidikan.

Dalam ranah itu, John F Kennedy bisa membaca akar dan hasil. Ketika hasil tidak memuaskan yang dicapi oleh negara atau masyarakatnya, John F Kennedy melacak dari aspek akar masalahnya. Akar masalah ini terletak pada aspek strategis, yakni dunia pendidikan. Kesalahan dalam hal pengabaian dunia Pendidikan membuat Amerika harus membayar mahal, yakni kalah dalam pertarungan hasil Iptek dengan negara lain.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Itulah yang disebut efek Sputnik, keterkejutan atas ketertinggalan yang membawa kepada kesadaran perlunya sebuah perubahan. Sputnik membuat John F Kennedy tidak tinggal diam. Ia melakukan gerakan perubahan. Hanya dengan mengubah paradigma dan kebijakan dunia Pendidikan, maka “dunia lainnya” bisa diubah, atau diantarkan menunju kemajuannya.

Sekarang pada bangsa kita. Bangsa kita sebenarnya sudah sering dikejutkan berbagai lembaga internasional yang memberi penilaian yang tidak enak didengar, yang sejatinya sebagai kritik serius yang menunjukkan pada kita kalau sebenarnya masih banyak “pekerjaan rumah” bangsa yang harus dibenahi disana-sini, yang berhubungan dengan masalah sumber daya manusia (SDM).

Salah satu dari penilaian itu adalah tentang rendahnya mutu sumber daya manusia Indonesia yang menempatkan Indonesia di posisi amat rendah, sehingga ketika kita diposisikan demikian, hal ini identik dengan mempertanyakan tentang keseriusan kita dalam mengedukasikan diri di situasi atau kondisi apapun.

Di era sulit seperti sekarang akibat virus Corona, patut diapresiasi langkah negara (pemerintah) yang tidak main-main dengan Pendidikan. Negara menelorkan kebijakan “tetap wajib” belajar dan belajar, meskipun dari rumah. Tidak boleh ada istilah libur dalam belajar.

Setiap subyek didik punya kewajiban menunjukkan aktifitasnya dengan menciptakan atmosfir edukasi dimana-mana, meski tidak harus bersama-sama (dalam tatap muka). Mereka diwajibkan untuk menjaga urgensiny proses pembelajaran demi keberdayaan, kejayaan, dan keemasan bangsa.

Secara umum, potret bangsa bisa terbaca melalui penyelenggaraan pendidikannya. Kalau bangsa ini maju, niscaya pendidikannya maju. Kalau bangsa ini mundur, berarti pendidikannya tidak maju. Atas dasar ini, bisa kita pahami langkah pemerintah yang tidak menginginkan akibat Corona, lantas dunia pendidikan  menjadi terimbas dalam ranah ketiakberdayaan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Paradigma kausalitas itulah yang seringkali digunakan menembak atau memperlakukan Indonesia sebagai “tersangka” dengan dakawaan pendidikannya masih belum beranjak dari lingkaran satganasi atau hanya sedikit progresifitas, atau jauh dari misi menyelamatkan dan mencerahkan sumberdaya dididk.

Seringkali terbaca dalam tuduhan, bahwa ketika di tangah masyarakat masih banyak orang yang buta huruf, drop out, atau belum maksimal partisipasinya dalam mewajibkan dirinya berperan aktif  di dunia pendidikan, serta merta  mereka ini digolongkan sebagai kumpulan manusia tidak maju atau terkotak dalam keterbelakangan, padahal mereka ini terkadang berposisi sebagai “warga” yang kurang mendapatkan perhatian serius atau belum dijadikan sebagai “proyek prioritas” dalam diskresi penyelenggaraan Pendidikan.

Menjadi lebih mantab lagi jika efek Corona di negara ini tidak kalah dengan efek Sputnik terhadap Amerika. Negeri Paman Sam yang bisa bangkit dengan mengubah pondasinya yang tidak kuat (dunia Pendidikan) dapat merasakan hasilnya bagi kemajuan masyarakat atau bangsanya, tentu saja seharusnya Indonesia (kita) pun demikian atau bahkan melebihi Amerika.

Meski kita sedang diuji oleh Corona, seharusnya proses pembelajaran tetaplah menjadi prioritas, baik di rumah maupun sekolah (kampus). Tidak boleh menganggap atau menempatkan serangan virus Corona ini sebagai “kesempatan” bersantai-santai, apalagi sampai meninabobokkan  dunia Pendidikan.

Setiap subyek bangsa berkewajiban selalu menghadirkan atmosfir bagi terbentuknya etos edukasi pada semua pembelajar. Tidak boleh ada kata malas, apalagi sampai sengaja “memandulkan” gairah belajar (menuntut ilmu), pasalnya maju mundurnya masyarakat dan bangsa ini ditentukan oleh besar tidaknya peran yang ditunjukkan kita sendiri.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES