Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Rumput Tetangga Senantiasa "Terlihat" Lebih Hijau

Rabu, 01 April 2020 - 15:06 | 60.70k
Muhammad Yunus. Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Islam Malang. Salah satu anggota Pengurus Wilayah Lembaga Pendidikan Maarif PWNU Jawa Timur.
Muhammad Yunus. Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Islam Malang. Salah satu anggota Pengurus Wilayah Lembaga Pendidikan Maarif PWNU Jawa Timur.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Pandemi Covid-19 memunculkan persaingan baru. Persaingan kreatifitas dan kebijakan. Terbukanya arus informasi mengakibatkan semua orang dapat dengan mudah mengetahui kebijakan institusi lain atau bahkan negara lain yang dari kondisi tersebut dibanding-bandingkan dengan institusi dan atau negara kita. Mana yang lebih menarik hati akan "seakan-akan" lebih baik dari tempat lain dan menuntut tempatnya juga melakukan hal serupa tanpa melihat bagaimana kondisi "dapur" dari rumah kita itu.

Contohnya seperti ketika kampus-kampus negeri mulai memberlakukan lockdown dan pembelajaran daring sebagai antisipasi penyebaran corona karena mahasiswanya suspect, maka kampus lainpun mulai ribut membahasnya. Mulai dari berbagai pertanyaan sederhana misalnya kenapa kampus kita belum lockdown, apakah kampus kita menunggu ada mahasiswanya yang suspect baru akan ada lockdown, kenapa belum daring, dan berbagai macam pertanyaan lainnya. Jika kampus lain melakukan itu, menuntut tempat kita juga harus begitu. Intinya harus sama dan tidak boleh ketinggalan, tanpa mengkaji bagaimana kondisi dan rumah kita itu.

Terakhir banyak beredar ajakan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny Plate yang mengajak masyarakat untuk bijak saat berselancar di ruang digital dan internet di tengah imbauan menjaga jarak sosial, social distancing, sebagai upaya pencegahan penyebaran pandemi Covid-19. Arahan menteri ini kemudian disusul dengan beredarnya meme yang membandingkan Malaysia dengan Indonesia. Di Malaysia katanya rakyatnya digratiskan menggunakan Internet karena covid-19, kenapa di Indonesia sudah pakai uang sendiri dibatasi pula.

Ungkapan yang menyindir pemerintah ini benar adanya tetapi belum tentu baik. Jika kita lihat Malaysia memiliki jumlah penduduk seperdelapan dari jumlah penduduk Indonesia. Dengan sumber pendapatan perkapita bisa saja Pemerintah Malaysia menggratiskan Internet bagi warganya, bagaimana dengan Indonesia, berapa rupiah yang dibutuhkan untuk mengeluarkan itu jika masyarakat Indonesia digratiskan. Tentu ada skala prioritas yang dilakukan pemerintah agar pengeluaran keuangan negara dapat dimaksimalkan bagi kesejahteraan masyarakat.

Pernah beredar juga video penangangan covid-19 dari beberapa Negara. Divideo itu disajikan bagaimana profesionalismenya Negara-negara di luar Indonesia menyelesaikan corona. Penyemprotan melalui drone, tangki besar sampai penyemprotan ke gang-gang perumahan yang begitu mekanistik, begitu tiba Negara Indonesia yang disajikan adalah antrian pramugrasi yang hanya disemprot ala kadarnya. Dari video tersebut seakan-akan Indonesia begitu tertinggal jauh bahkan dengan Malaysia sekalipun.

Dikalangan dosen, seperti yang disinggung diatas,dua hari terakhir ini viral surat edaran dari Sekjen Mendikbud tentang anjuran perguruan tinggi untuk mengfasilitasi mahasiswanya dalam pembelajaran daring. Intinya jangan terlalu membebani mahasiswa. Kemudian muncul salah satu kampus memberikan subsidi sekian ratus ribu kepada seluruh mahasiswanya melalui pemotongan SPP. Berita yang kemudian viral lantas disbanding-bandingkan dengan kampusnya sendiri yang dianggap kurang responsive dan kalah cepat dalam menyikapi keadaan.

Memang, menjadi pengamat itu mudah, lebih mudah dari apa yang dibacanya. Tinggal lempar isu maka seakan-akan semuanya selesai. Berbeda dengan mereka pengambil kebijakan yang harus melihat banyak sisi agar lembaganya masih terus berlangsung dikemudian hari. Inilah yang harus dipahami oleh semua pihak memahami dapurnya lembaganya, kondisi, dan kebijakan apa yang paling ideal untuk diambil. Memuaskan semua unsur adalah harapan semua pihak, namun rasanya selalu mengharap sesuatu sesuai dengan keinginannya rasanya justru tidak ideal. Memang rumput tetangga selalu “terlihat” lebih hijau dari rumput sendiri.

***

*)Oleh: Muhammad Yunus. Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Islam Malang. Salah satu anggota Pengurus Wilayah Lembaga Pendidikan Maarif PWNU Jawa Timur.  

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*)Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES