Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Menjamurnya Berita Hoaks dan Upaya Untuk Membatasinya

Senin, 30 Maret 2020 - 15:53 | 51.03k
Khoirul Muttaqin, S.S., M.Hum. Pernah menjadi wartawan dan saat ini menjadi dosen di Fakultas KIP Universitas Islam Malang (UNISMA).
Khoirul Muttaqin, S.S., M.Hum. Pernah menjadi wartawan dan saat ini menjadi dosen di Fakultas KIP Universitas Islam Malang (UNISMA).
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Berita bohong atau dikenal dengan istilah berita hoaks saat ini memang menjadi momok menakutkan bagi pemerintah dan masyarakat. Bahkan, pemerintah pernah membatasi penggunaan media sosial karena banyaknya peredaran berita hoaks. Berita hoaks bisa menjadi salah satu penyebab terpecahnya bangsa dan negara. Apalagi jika berita hoaks itu menyebar melalui media sosial. Hal itu akan semakin berbahaya.  Alasannya adalah minimnya filterisasi berita yang beredar di media sosial. Jika berita bohong itu sampai menyebar di media sosial pasti akan banyak dibaca oleh masyarakat. Hal itu dikarenakan saat ini media sosial hampir dimiliki oleh semua lapisan masyarakat. Data yang dihimpun oleh Dewan Pers dari sumber terpercaya pada Januari 2016 saja menunjukkan bahwa penguna media sosial sudah mencapai 79 juta, yakni 30% dari total populasi rakyat Indonesia.

Bahayanya lagi, banyak pemilik media sosial tersebut langsung percaya begitu saja berita yang mereka dapat dari media sosial mereka tanpa mencari sumber pembanding. Banyak pula orang yang percaya berita bohong itu malah menyebarkan ke yang lain, baik melalui pilihan bagikan di media sosialnya, maupun menceritakan pada orang-orang di sekitarnya saat di dunia nyata. Sejarah berita hoaks di Indonesia ditengarai mulai marak muncul saat pemilihan umum tahun 2014. Hal itu dapat dilihat dari pernyataan Dewan Pers yang diketuai Yosep Adi Prasetyo. Tentu berita bohong itu berkaitan dengan politik. Bahkan, menurut pernyataan Dewan Pers salah satu penyebabnya adalah banyak wartawan yang masuk ke dalam partai, menjadi joki politik, atau menjadi tim sukses pemenangan pemilu.

Tentu dari pernyataan tersebut dapat terlihat bahwa wartawan tersebut akan membuat berita yang menggiring pola pikir masyarakat untuk tertarik pada partainya. Tidak hanya itu, untuk menghancurkan citra lawan politik mereka, mereka juga tidak segan membuat berita bohong. Selain itu, bedasarkan pernyataan Dewan Pers ternyata penyebab lainnya adalah banyak partai yang membuat media baru. Hal ini dengan gamblang menunjukkan betapa media buatan partai akan menjadi sangat tidak netral dan menyalahi kodratnya sebagai sarana mediasi.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Berita bohong tentu menyalahi kodrat berita itu sendiri. Dewan Pers menyatakan bahwa berita dan info media merupakan hal yang berbeda. Jika info media masih ada kemungkinan bohong, berita tidak seharusnya bohong. Menurut Dewan Pers berita merupakan kumpulan informasi yang sudah terverifikasi kebenaranya. Jika masih ada yang bohong tentu sangat menyalahi kodrat dari berita itu.

Saat ini ternyata menyebarnya berita bohong malah lebih parah. Seperti yang dipaparkan tadi, berdasarkan sejarahnya berita bohong di Indonesia dilatarbelakangi faktor politik. Saat ini ternyata tidak hanya dilatarbelakangi politik, bahkan ranah yang lain pun terkontaminasi berita bohong. Hal itu tentu sangat memprihatinkan. Media terkesan telah membuat publik tidak bisa mempercayainya. Profesi kewartawanan menjadi profesi yang mempunyai stigma negatif dalam masyarakat. Hal itu dikarenakan ulah beberapa oknum wartawan sendiri. Banyak wartawan yang sudah tidak netral dan banyak wartawan yang malah terkesan malas. Dewan Pers menyatakan bahwa banyak wartawan yang malah menjadikan media sosial sebagai sumber berita. Padahal dapat diketahui media sosial rawan sekali dengan info bohong.

Pada dasarnya Dewan Pers sudah berupaya agar berita bohong tidak menyebar dengan memunculkan beberapa ketentuan. Pertama, Dewan Pers berupaya mengembalikan otoritas pemegang kebenaran faktual kepada media mainstream. Kedua, Dewan Pers berupaya memberikan logo/QR kode (tanda media terverifikasi) kepada media-media yang terverifikasi. Ketiga, Dewan Pers berupaya memberlakukan standar kompetensi wartawan/jurnalis. Akan tetapi, upaya Dewan Pers yang sudah dicanangkan sejak 2017 tersebut belum bisa membendung banyaknya berita bohong yang dengan mudah dipercayai masyarakat. Hal tersebut dikarenakan masyarakat terutama masyarakat awam tidak pernah mengetahui upaya-upaya itu. Mereka cenderung dengan mudah menerima berita dan menyebarkan pula kepada yang lain, sehingga masyarakat awam yang lain juga menerima berita tersebut mentah-mentah. Padahal Dewan Pers juga sudah memberikan saran untuk penyebaran berita. Ketika masyarakat mendapat informasi hendaknya diselidiki dulu kebenaran informasi tersebut. Jika informasi itu salah jangan sampai menyebarkannya. Jika informasi benar harus dilihat dulu kebermanfaatan informasi tersebut. Informasi yang kurang bermanfaat dan berpotensi menimbulkan konflik serta permusuhan hendaknya tidak disebarkan. Informasi yang bermanfaat tanpa menimbulkan konflik dan permusahanlah yang boleh disebarkan. Jadi, sebagai pengguna media sosial kita harus cerdas dalam menerima dan menyebarkan berita.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Khoirul Muttaqin, S.S., M.Hum. Pernah menjadi wartawan dan saat ini menjadi dosen di Fakultas KIP Universitas Islam Malang (UNISMA).

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES