Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Mewujudkan Pilkada Yang Riang Gembira

Senin, 30 Maret 2020 - 15:00 | 83.30k
Dr. H. Ahmad Siboy., S.H., M.H, Dosen Pascasarjana Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Dosen Luar Biasa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
Dr. H. Ahmad Siboy., S.H., M.H, Dosen Pascasarjana Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Dosen Luar Biasa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Pemilihan kepala daerah (Pilkada) merupakan pesta kedaulatan rakyat. Pilkada menjadi ajang pesta kedaulatan rakyat karena pada momen Pilkada inilah rakyat menggunakan kedaulatan yang dimiliki untuk memilih siapa yang akan memimpinnya.

Sebagai pesta maka penyelenggaraan Pilkada harus benuansa seperti “pesta”. Pesta merupakan suatu aktivitas dimana digelar dalam rangka untuk merayakan sesuatu atau merupakan forum riang gembira. Forum riang gembira adalah forum dimana antara yang menggelar pesta, panitia dan tamu yang datang dalam kondisi bahagia, senang sehingga gedung pesta berisi dengan senyum bahagia. Tidak ada pembicaraan yang mengundang urat leher, tidak ada singgung-singgungan argumentasi apalagi saling intrik.

Dinamika yang terjadi pada pesta seperti di atas belum terlihat dalam penyelenggaraan Pilkada. Pilkada yang merupakan pesta demokrasi  justru tidak menggambarkan nuansa pesta. Penyelenggaraan Pilkada justru mencerminkan  dinamika yang sebaliknya. Penyelenggaraan Pilkada seringkali diwarnai oleh berbagai konflik, intrik bahkan polarisasi rakyat. Berbagai potret penyelenggaraan Pilkada yang tidak menggambarkan nuansa pesta ialah: pertama, dalam penyelenggaraan Pilkada justru memperlihatkan perseteruan yang sangat keras antar peserta Pilkada (pasangan calon). Antar pasangan calon menebarkan pernyataan yang ”saling” menyerang satu sama lain. Kalimat-kalimat yang terlontar bukan saling menyejukkan tapi justru saling menyinggung sehingga memancing emosi.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Tatkala emosi yang ada dalam hati dan pikiran maka membuat kondisi komunikasi antar pasangan calon semakin keruh. Masing-masing calon telah menggunakan telinga setan terhadap  pernyataan dari lawan politiknya. Karena telinga setan yang digunakan maka setiap apa yang dilontarkan oleh lawan politiknya dianggap sebagai suara dari setan yang pasti salah.

Kedua, operasi senyap. Masing-masing kandidat memiliki tim kampanye yang seringkali menggunakan operasi senyap untuk “menyerang” lawan politiknya. Operasi senyap ini biasanya operasi dengan melakukan pergerakan untuk mengetahui kelemahan lawannya kemudian kelemahan tersebut di tebar diberbagai tempat dengan harapan reputasi dari calon kepala daerah yang menjadi kompetitornya hancur. Kondisi operasi senyap yang seperti inilah yang kemudian membuat kontestan yang kelemahannya ditebar melakukan feed back atau serangan balik. Ia terpaksa mencari kelemahan lawannya demi menyeimbangkan kelemahan yang ia miliki dengan kelemahan calon lain. Artinya, saling buka kelemahan antar masing-masing calon dilakukan supaya rakyat mengetahui bahwa masing-masing calon yang bertarung dalam Pilkada sama-sama memiliki kelemahan. Apabila hanya satu pasangan calon saja yang diketahui memiliki kelemahan maka tentu akan menguntungkan pasangan calon yang tidak memiliki kelemahan. Hal ini jelas berbeda dengan kondisi pesta yang berisi saling puji antara satu undangan dengan undangan yang lain.

Ketiga, dalam Pilkada yang ada adalah bagaimana kebahagian pribadi bukan kebahagian bersama. Kebahagian pribadi dalam konteks ini ialah bagaimana calon tertentu dapat memperoleh kemenangan tanpa memikirkan keadaan pasangan lain dan rakyat. Masing-masing pasangan calon menyebarkan pernyataan dan pergerakan yang dapat meningkatkan perolehan suara tanpa memikirkan akibat buruknya. Padahal dari pola pikir dan pola kampanye yang hanya berorienstasi kepada kepentingan pribadi tersebut akan membuat suasana Pilkada menjadi suatu suasana yang keruh. Padahal kalau Pilkada dimaknai sebagai suatu pesta maka seharusnya bukan hanya kebahagian pribadi melainkan kepentingan bersama termasuk kebahagian calon lain dan rakyat. Kebahagian tidak akan pernah tercapai bilamana antar kontestan berada dalam suasana yang gaduh. Kebahagian akan tercipta dalam kondisi yang teduh.

Keempat, kepalsuan. Masing-masing pasangan calon kepala daerah masih menunjukkan kepalsuan sikap yang mudah terbaca oleh publik. Kepalsuan sikap dari pasangan calon kepala daerah tersebut terlihat dari sikapnya yang menampilkan kepura-puraan dimata rakyat. Pura-pura tersenyum tapi menampilkan aura kebencian, pura-pura merangkul tapi memukul, pura-pura santai tapi membantai. Kondisi kepalsuan yang mudah diketahui inilah kemudian yang juga menjadikan suasana Pilkada begitu “seram” ketimbang suasana pesta yang cerah dalam pandangan mata dan hati.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Fakta-fakta di atas tentu merupakan fakta yang tidak dapat dibiarkan. Penyelenggaraan Pilkada harus dikembalikan kepada hakikat penyelenggaraan Pilkada. Yakni, sebuah pesta kedaulatan rakyat yang riang gembira. Hanya lewat penyelenggaraan Pilkada yang riang gembira inilah kemudian suasana Pilkada akan meningkatkan kualitas demokrasi lokal dan memperkuat tali silaturrahim antar pasangan calon, tim kampanye dan rakyat. Pilkada digelar bukan untuk melahirkan polarisasi karena ketatnya persaingan.

Setidaknya ada beberapa hal yang wajib difahami dan dipatuhi untuk menciptakan Pilkada yang riang gembira. Pertama, penyelenggaraan Pilkada harus dimaknai sebagai “pesta” rutinan untuk mewujudkan kedaulatan formal rakyat dalam pemilihan kepala daerah. Karena Pilkada “hanya” dianggap rutinitas lima tahunan maka kondisi dan situasi dimana Pilkada dimaknai sebagai sebuah peperangan besar  akan sirna. Tatkala Pilkada sudah tidak lagi dimaknai sebagai peperangan maka pada saat Pilkada sedang berlangsung, dinamika politik tidak akan berada dalam tensi yang tinggi sehingga suasana kekeluargaan antar pasangan calon, pendukung dan rakyat tetap adem ayem.

Kedua, kemenangan dalam Pilkada bukanlah tujuan utama. Dengan menjadikan kemenangan tidak sebagai tujuan utama maka hal-hal yang haram atau dilarang selama penyelenggaraan Pilkada dapat diminimalisir. Anggapan bahwa apapun boleh dilakukan dalam Pilkada kecuali kalah dapat ditanggalkan. Apabila kemenangan yang masih dijadikan sebagai tujuan utama maka hal tersebut sama persis dengan menjadikan jabatan kepala daerah sebagai sebuah ambisi. Ambisi berarti sesuatu yang wajib diperoleh  karena jabatan kepala daerah dinilai sebagai ujung dari segala perjuangan.

Sebaliknya, apabila kemenangan tidak dijadikan sebagai tujuan utama maka kompetisi dalam Pilkada dianggap sebagai sebuah proses atau “permainan“ sehingga pada saat berlangsung yang tercipta adalah suasana bahagia seprti orang-orang yang sedang bermain ditempat wisata semisal naik roller coaster, dufan dan lain-lain.

Ketiga, kedewasaan memaknai hasil. Penyelenggaraan Pilkada harus dimaknai bahwa para kontestan adalah orang-orang terbaik sebab apabila bukan orang terbaik maka tidak mungkin menjadi pasangan calon peserta Pilkada. Apabila rasa ini sudah hadir maka setiap pasangan calon yang menjadi peserta Pilkada akan memiliki jiwa siap kalah dan siap menang atas segala hasil dari pilihan rakyat dalam Pilkada.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Dr. H. Ahmad Siboy., S.H., M.H, Dosen Pascasarjana Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Dosen Luar Biasa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES