Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Menyuburkan Kesalehan Kekuasaan

Senin, 30 Maret 2020 - 14:34 | 34.84k
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis buku hukum dan agama.
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis buku hukum dan agama.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Terbaca dengan cermat, bahwa sebagai salah satu dampak virus Corona di negeri ini adalah bertambahnya orang miskin atau minimal “menguatnya” kondisi perekonomian orang miskin.

Sudah banyak “bacaan” dari para pakar, bahwa akibat Corona itu, kondisi kehidupan orang miskin makin memprihatinkan, apalagi jika misalnya negara (pemerintah) lambat dalam menanganinya.

Reaksi orang miskin saat kondisinya semakin sulit sudah sering terjadi di negara ini. Kita memang tidak berharap di saat virus Corona sedang menguji kehidupannya ini, mereka akan menunjukkan reaksi radikalistik dan “mengerikan”  sebagaimana yang sudah pernah terjadi sebelumnya.

Pengalaman pembagian kompensasi atas kenaikan harga BBM beberapa tahun lalu telah mengajarkan pada kita, pasalnya akibat pembagian ini menimbulkan persoalan serius, yang sangat menodai harkat kemanusiaan orang miskin.  Saat itu, di sejumlah daerah misalnya, sebagian warga miskin melancarkan protes radikal, pasalnya mereka tidak kebagian BLT dari kompensasi BBM. Mereka mereaksi dengan asumsi atau temuan, bahwa dana “pelipur lara” senilai Rp. 100.000 perbulan yang dalam tahap dibagikan selama 3 bulan diberikan kepada orang-orang yang dianggap lebih mampu ekonominya dibandingkan dirinya, atau lebih miskin dirinya dibandingkan penerimanya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kasus itu akhirnya melebar, tuduhan pun mengalir pada pihak pendata atau penyalur BLT, bahwa mereka kongkalikong  dengan penerima, ada main mata, ada simbiosis mutualisme, atau dana kompensasi BBM itu sedang disalah-alamatkan kepada orang-orang yang salah, yang seharusnya tidak berhak menerima. Diantaranya, di suatu daerah,  ada tuduhan kalau penerima BLT berasal dari orang-orang yang mendukung kepala desa terpilih, keluarga pendata, atau “kroni” dari aparat desa/kelurahan.

Atas pengalaman kasus tersebut mengajarkan, bahwa orang miskin potensial mengumbar atau melampiaskan kemarahannya ketika disakiti dan dizalimi. Saat dizalimi ini, mereka justru termotivasi untuk mendekonstruksinya sebagai bagian dari jihad kemanusiaan, setidaknya cermin protes keras atas realitas praktik manajemen kekuasaan yang tidak serius dan “sehat” dalam menangani (memedulikan) kemaslahatan fundamentalnya.

Seharusnya siapapun pengemban amanat kekuasaan, mestinya bisa menafsirkan realitas kemiskinan, bahwa orang miskin di negeri ini, adalah kumpulan manusia-manusia yang sudah sekian lama hidup menderita, papa, dan nestapa, seperti mengidap kemiskinan cadangan pangan, kurang gizi, pendidikan rendah, miskin ketrampilan, dan teralinasi dari akses informasi yang menguntungkannya.

Sahabat Ali RA, sosok cendekiawan dan pejuang muda di zaman Nabi Muhammad SAW pernah berkomentar “andaikan aku bertemu kemiskinan, tentu aku akan membunuhnya”. Komentar ini dapat ditafsirkan, bahwa dalam diri seseorang atau sekelompok orang yang memegang jabatan yang berelasi dengan pemedulian kepentingan rakyat, orang-orang miskin merupakan “proyek fundamentalnya”, yang wajib diprioritaskan untuk digarap.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Idealitas yang harus dipahami, bahwa orang miskin memang bukan hanya menjadi “proyek” kesalehan invidual, tetapi utamanya menjadi “kinerja proritasnya” pengemban rezim, sehingga sang pengemban ini dalam keseharian aktifitas yang dijalaninya mengandung praktik penyuburan kesalehan kekuasaan, dan bukan “penyuburan” praktik pengabaian amanat.

Dalam kesalehan kekuasaan, setiap pejabat atau pengelola dananya orang miskin dituntut “sahih” dalam ucapana mupun tindakan. Antara data dengan realitas harus menyatu menjadi bahasa yang berpihak pada rakyat miskin, yang keberpihaknnya ini cermin pembumian keadilan sosial (social justice).

Apa yang sudah menjadi hak orang miskin tidak boleh ditunda-tunda, diabaikan, ditelantarkan, dan apalagi sengaja dipermainkan, karena sejatinya, orang miskin ini sudah tidak sabar menunggu haknya berpihak kepadanya. Mereka membutuhkan jawaban konkrit, apalagi di tengah terpaaan ujian yang tidak ringan seperti sekarang ini.

Orang-orang miskin, orang-orang di jalanan, yang tnggal dalam selokan,  yang kalah di dalam pergulatan, yang diledek oleh impian, janganlah mereka ditinggalkan”,   demikian sajak WS Rendra, yang sebenarnya sebagai bentuk kritik social yang ditujukan, diantaranya pada pengemban amanat kekuasaan.

Krituk Rendra itu secara tidak langsung demi membedah praktik pelecehan, pendiskriminasian, penindasan atau ketidakadilan terhadap orang-orang miskin, orang-orang yang sedang ditindas, atau kumpulan manusia yang sedang dikalahkan oleh seseorang atau sekelompok orang berprediket penguasa yang terseret jadi oknum akibat menunjukkan sepak terjang atau membangun model kekuatan yang memproduk kezaliman berlapis-lapisnya (secara individual maupun struktural).

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis buku hukum dan agama.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES