Kopi TIMES Bencana Nasional Covid-19

Mudik Virtual di Era Corona

Senin, 30 Maret 2020 - 10:20 | 142.17k
Rachmat Kriyantono, PhD
Rachmat Kriyantono, PhD
FOKUS

Bencana Nasional Covid-19

TIMESINDONESIA, JAKARTA – ​Saat ini wacana perlu tidaknya ritual mudik dilakukan sedang menyeruak seiring maraknya penyebaran wabah virus corona (Covid-19). Bisa dimaklumi karena kontak fisik langsung sebagai instrumen penting mudik merupakan media perantara penyebaran virus dari satu orang ke orang lainnya. Data menunjukkan bahwa para penderita corona yang teridentifikasi awal di Indonesia adalah orang-orang yang pernah melakukan kontak langsung dengan orang lain yang sudah terkena virus ini. Artinya, kontak langsung dan migrasi atau mobilitas dari satu tempat ke tempat lain menjadi faktor utama penyebaran virus corona ini.

​Kasus pertama di Indonesia adalah seorang TKW yang tertulari Covid-19 dari majikannya di Singapura pada Januari 2020. Beberapa wisatawan asing yang mengunjungi Bali, kemudian dinyatakan positif mengidap Covid-19 setelah mereka kembali ke Tiongkok, Jepang, Selandia Baru, dan Singapura. Seorang pasien di Padang diduga menderita virus ini setelah pulang dari ibadah umroh. Beberapa WNI ABK kapal pesiar Diamond Princess terinfeksi karena di kapal itu terdapat penderita Covid-19. Jumlah penderita Covid-19 di Malaysia melonjak setelah perhelatan jamaah tabligh di Negara itu dan sebagian di antaranya adalah WNI yang kemudian membawa virus ini ke Indonesia.  

​Kasus-kasus tersebut menjadi bom waktu, yang secara bertahap menyebar dari satu orang ke orang lainnya akibat kontak fisik langsung dan mobilitas penderita. Seorang pegawai BUMN meninggal dunia pada 3 Maret dan baru dinyatakan positif COVID-19 pada 15 Maret, sekaligus menulari istri dan anaknya. Rentang waktu inkubasi selama 14 hari yang membuat virus ini sulit terdeteksi dengan cepat. Sejak dinyatakan sebagai pandemi di Indonesia pada 2 Maret 2020, sudah ada 1285 orang terkonfirmasi tertular virus ini sampai 29 Maret 2020. Kemungkinan jumlahnya bisa lebih dari itu mengingat sulitnya identifikasi penderita di masyarakat.

Ritual Mudik dan Potensi Penyebaran Covid-19

​Saat Idul Fitri (Lebaran) adalah momen silaturahim dan menjalin persaudaraan (ukkuwah). Dimungkinkan merupakan momen setahun sekali bagi kerabat untuk dapat bertemu setelah sibuk bekerja yang terkadang berjauhan tempatnya. Hal ini membuat wajar jika sebagian masyarakat kita memaknai Lebaran sebagai saling memaafkan, meski semua tahu maaf-memaafkan dapat dilakukan kapan pun (tidak harus menunggu lebaran).

​Istilah mudik dan bermaaf-maafan termasuk halal bihalal memang tidak diatur secara langsung/tersurat dalam Al-Qur’an dan Hadits, tetapi, budaya mudik ini sebenarnya merupakan wujud ajaran-ajaran Rasulullah untuk menjalin silaturahim (menyambung sesuatu yang terputus dengan dasar kasih sayang): untuk bersilaturahim dengan orang tua, kerabat dan sobat lama di kampong halaman, untuk saling bermaafan, untuk saling membantu (seperti berbagi rezeki uang dan baju ke sanak keluarga), untuk berbakti kepada orang tua, baik yang masih hidup atau meninggal (ziarah kubur). Tentu, perwujudannya sesuai budaya masyarakat kita. Budaya ini yang sesuai kearifan kita sebagai masyarakat yang "guyub rukun, rukun agawe sentosa-crah agawe bubrah". Saya kira, budaya ini membangun Islam yang khas Nusantara, yang mungkin tidak ditemui di negara lain.​

​Bahkan, mudik dalam perkembangannya tidak hanya dilakukan oleh umat Islam. Umat agama lain pun juga memanfaatkan momen ini untuk pulang kampung bertemu sanak keluarga dan sahabat-sahabat yang banyak berbeda agama. Saling memafkan pun berlangsung lintas pemeluk agama. Sebenarnya masyarakat selama ini juga sering memaafkan secara virtual lewat telepon, whatsapp, sms atau media sosial, tetapi, bertemu langsung tatap muka lebih mampu menstimuli emosi jiwa untuk saling mengasihi.

​Jumlah pemudik yang tercatat menggunakan angkutan umum, baik darat, laut, dan udara pada 2019 sebesar 18.3 juta orang. Angka ini belum termasuk yang mudik menggunakan sepeda motor dan mobil pribadi. Diperkirakan tahun ini jumlah pemudik berkisar antara angka tersebut. Secara ekonomi, ritual mudik mengakibatkan perputaran uang hingga trilyunan rupiah dan berdampak positif bagi pemerataan perputaran uang hingga ke daerah-daerah.

​Namun, terkait dengan penyebaran virus Covid-19, mudik juga berpotensi menjadi wahana penyebaran virus ini. Kontak fisik langsung antar orang makin meningkat eskalasinya. Orang-orang berdesakan di terminal bus, stasiun kereta api, bandara, hingga pelabuhan. Kontak fisik juga terjadi saat pemudik berada di dalam moda transportasi. Mobilitas orang yang meningkat dari satu tempat ke tempat lain membuat sulit dilakukan pengawasan.

​Mobilitas dan kontak langsung ini memunculkan potensi penyebaran virus. Ketika seseorang yang menderita Covid-19 batuk atau bernapas, mereka melepaskan seperti tetesan cairan yang sudah mengandung virus corona. Kebanyakan cairan itu jatuh pada permukaan dan benda di dekatnya -seperti meja, meja, atau telepon. Orang bisa terpapar atau terinfeksi Covid-19 dengan menyentuh permukaan atau benda yang terkontaminasi - dan kemudian menyentuh mata, hidung, atau mulut. Jika seseorang berdiri pada jarak 1 atau 2 meter (apalagi jika berdesak-desakan saat mudik) dari seseorang penderita Covid-19, maka dapat terjangkir melalui batuk termasuk saat mereka menghembuskan napas. Jadi, Covid-19 menyebar serupa cara untuk flu.

Mudik Virtual sebagai Solusi

​Mudik memang instrumen sangat penting yang biasa digunakan masyarakat, khususnya Muslim, di Nusantara dan sudah menjadi ritual turun-temurun berabad-abad. Saking pentingnya, mudik bisa menjadi “alat pemersatu” perbedaan antar aliran atau golongan beragama. Jika masyarakat sering berbeda dalam ibadah yang lain, seperti perlu doa qunut atau tidak dalam sholat subuh, tahlilan, sholawatan, dan banyak lagi, tetapi, mudik dilakukan oleh semua orang bahkan lintas agama.

​Melalui mudik, masyarakat mengamalkan ajaran berbuat baik kepada bapak dan ibu dengan memelihara mereka di usia lanjut, berkata baik, tidak boleh membentak, merendahkan diri kepada mereka dan selalu mendoakan mereka. Mudik juga diniatkan berbagi rezeki kepada kerabat, fakir miskin, dan orang yang dalam perjalanan. Tampaknya, masyarakat perlu pengorbanan besar untuk tidak melakukan mudik pada tahun ini.

Masyarakat perlu waspada dan menghindari terjangkit virus Covid-19, tetapi, esensi ibadah yang terkandung dalam mudik tetap bisa dilakukan.
​Esensi mudik bisa dilakukan dengan media daring atau secara virtual. Sekarang ini sudah banyak aplikasi daring yang membantu interaksi. Meski tidak menyerupai secara penuh kualitas komunikasi tatap muka langsung, media daring bisa digunakan untuk silaturahim sekaligus waspada Covid-19. Melalui google meet atau zoom, anggota keluarga yang satu bisa melepas rindu, ngobrol, dan bersilaturahim dengan keluarga yang lain. Bisa juga melalui video call di whatsapp atau telepon. Jika ingin berkirim uang bisa menggunakan bank atau internet banking.

​Pemerintah perlu memberikan fasilitas yang memudahkan mudik virtual ini. Fasilitas jaringan internet perlu dioptimalkan. Pemberian internet gratis kepada masyarakat perlu ditingkatkan. Pemberian diskon atau gratis paket-paket internet dari operator juga perlu didorong besar-besaran. Hal ini membuat kualitas komunikasi virtual bisa tercapai.

​Bagaimana dengan pemudik yang menggunakan kendaraan pribadi? Sebenarnya memiliki risiko yang sama tingginya. Pemerintah bisa saja membangun pos-pos pantau yang melakukan test kesehatan kepada setiap kendaraan pribadi yang lewat. Tetapi, tentu sulit menjangkau setiap titik jalur mudik. Anggap saja, ada keluarga yang lolos test saat berangkat mudik, ketika di kampung halaman bisa saja tertular oleh kerabat, dan ketika balik ternyata tidak melewati jalur mudik yang ada pos pantaunya. Karena itu, solusi paling rendah risikonya adalah mudik virtual.

​Selain itu, pemerintah bisa memprogramkan mudik pengganti bagi masyarakat. Jika virus Covid-19 ini bisa diatasi maka pemerintah menyediakan hari libur khusus yang memungkinkan masyarakat mudik. Bisa saja, libur Hari Raya Idul Adha diperpanjang hingga satu minggu. Kita berharap, pada waktu itu, virus Covid-19 sudah benar-benar diatasi dan kehidupan bermasyarakat kembali pulih. (*)

 

*) Penulis Rachmat Kriyantono, PhD Ketua Prodi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya

*) Tulisan opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES