Kopi TIMES

Konsep Oposisi dalam Negara Demokrasi

Jumat, 27 Maret 2020 - 11:11 | 234.01k
Vayan Yanuarius, Mahasiswa Ilmu Filsafat Sekolah Tinggi Filasafat Katolik Ledalero Maumere NTT.
Vayan Yanuarius, Mahasiswa Ilmu Filsafat Sekolah Tinggi Filasafat Katolik Ledalero Maumere NTT.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pasca penetapan Menteri kabinet kerja jilid II, Jokowi-Ma’ruf Amin periode 2019-2024, menuai kritik dari berbagai kalang lantaran Jokowi memilih Prabowo sebagai Menteri Pertahanan (Menhan) Republik Indonesia. Kritik muncul baik dari relawan Prabowo maupun relawan Jokowi. Dari relawan Prabowo dengan dalih tidak konsisten untuk memperjuangkan nasib rakyat dengan memilih menjadi oposisi pemerintah. Sedangkan dari pihak Jokowi mengatakan bahwa pemilu tidak ada gunanya kalau toh ujung-ujung terjadi konspirasi dengan lawan politik. Atau, anggapan bahwa demokrasi menjadi hambar tatkala absennya kehadiran oposisi dan anggapan bahwa tanpa oposisi negara bisa berubah menjadi otoriter atau monarki.

Oposisi

Opposition sering disebut sebagai oposisi. Kata oposisi berasal dari bahasa Latin yaitu opponere yang berarti menentang, menolak, dan melawan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan oposisi sebagai penentang di dewan perwakilan dan sebagainya yang menentang dan mengkritik pendapat atau kebijakan politik golongan penguasa. Jadi, oposisi adalah jalur yang mengontrol kebijakan pemerintah dari luar lingkaran kekuasaan atau penguasa.

Biasanya oposisi lahir dari partai-partai yang kalah dalam kontestasi politik (pemilu) atau dari golongan anti-pemerintahan seperti golputers. Misalkan kontestasi politik (pemilu) 2019 beberapa waktu lalu antara Jokowi-Maruf Amin sebagai petahana dan Prabowo-Sandi sebagai oposisi. Jokowi-Maruf Amin disebut petahana karena masih aktif memegang estafet kepemimpinan sedangkan Prabowo-Sandi dikatakan oposisi karena berlawanan arus politik petahana.

Pertanyaannya ialah apakah oposisi sebagai pihak lawan (harus) berada di luar lingkaran kekuasaan pemerintah? Atau dengan rumusan lainnya, haruskah pengontrolan kebijakan pemerintah datang dari luar pemerintah? Pertanyaan ini menjadi tema diskusi para intelektual dan politisi di ruang publik pasca pilpres 2019 lalu. Ada yang bersepakat bahwa oposisi harus berada di luar lingkaran kekuasaan atau penguasa. Namun, ada juga yang tidak sependapat seperti yang tertera pada awal tulisan ini.

Menurut perspektif filsafat Aristoteles. Aristoteles (384-322 SM) adalah seorang filsuf besar yang paling berpengaruh di pemikiran barat. Aristoteles memahami politik sebagai arena pertarungan kekuasaan untuk mencapai kehidupan yang baik. Karena itu, dia mengharapkan bahwa setiap orang harus berpartisipasi dalam dunia politik berjuang keras untuk mencapai cita-cita bersama yakni bonum commune. Partisipasi masyarakat tidak terbatas pada momen-momen pemilihan umum (pemilu) tetapi lebih dari pada itu masyarakat ikut berpartisipasi dalam mengontrol atau memonitor setiap kebijakan pemerintah. Rakyat dalam suatu negara demokrasi memiliki hak untuk menggugat pemerintah ketika pemerintah tidak melaksanakan amanat rakyat dengan efektif dan efesien.

Merujuk pada pemikiran Aristoteles dapat disimpulkan bahwa untuk membangun suatu bangsa yang beradap dibutuhkan loyalitas masyarakat yang beradap pula. Dalam rumusan filsafat Aristoteles ialah negara yang baik adalah masyarakat yang baik. Karena itu, tidak ada oposisi absolut dalam suatu negara demokrasi. Semua masyarakat menjadi oposisi pemerintahan sekaligus pada waktu yang sama berkoalisi dengan pemerintahan. Pada level masyarakat oposisi ketika terjadi kebijakan pemerintah yang tidak mencerminkan bonum commune, jauh panggang dari api. Sedangkan pada level koalisi, masyarakat mendukung program unggulan pemerintahan demi stabilitas kehidupan masyarakat itu sendiri.

Pengontrolan kebijakan pemerintah oleh oposisi tidak seharusnya datang dari luar lingkaran kekuasaan. Pengontrolan itu juga bisa datang dari dalam lingkaran kekuasaan. Dengan kata lain, oposisi masuk dalam lingkaran kekuasaan tanpa mengurangi kadar keoposisiannya. Taring oposisi tetap dipertajam dalam mengkritik segala kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat, mengutip R. Gerung mereka seranjang tapi beda selimut.

Hemat saya, terpilihnya Prabowo sebagai menteri Pertahanan sekali-lagi tidak mengurangi kadar keoposisian dalam mengontrol kebijakan pemerintahan Jokowi. Oposisi dalam konteks ini tidak lagi dipahami sebagai perlawanan terhadap kebijakan pemerintah tapi dipahami sebagai kontributor kebijakan pemerintah atau oposisi sebagai tokoh protagonis pemerintah. Artinya menjadi oposisi melawan kebijakan pemerintah yang salah atau keliru dengan cara merekonstruksi kebijakan pemerintah salah tersebut.

Manuver oposisi terhadap koalisi menggambarkan secara jelas bahwa politik itu bersifat dinamis, cair atau tidak satu pun bersifat permanen. Setiap saat berubah sesuai dengan orientasi dan perubahan iklim politik itu sendiri. Kadang mangsa jadi sahabat atau sahabat jadi lawan. Aristoteles mendefinisikan politik sebagai seni. Seni dalam filsafat estetika bersifat subjektif. Artinya, nilai kesenian sebuah seni tergantung cara pandang orang itu sendiri. Sangat mungkin interpretasi terhadap suatu karya seni berbeda-beda dari setiap orang. Demikian pun dengan politik.

Sebagaimana yang diceritakan oleh Prabowo beberapa waktu lalu tentang Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat ke enam belas dengan rival politiknya kala itu William Seward kepada Jokowi. Prabowo mengatakan bahwa Lincoln ketika terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat ke enam belas memilih Seward sebagai Menteri Luar Negeri Amerika Serikat atau secretary of state. Posisi tersebut merupakan posisi ketiga setelah Presiden dan wakil presiden. Ketika Seward menginterogasi Lincoln mengenai keputusan pengangkatannya sebagai Menteri Luar Negeri, Lincoln menjawab bahwa dalam segala kita berbeda tapi rasa cinta kita terhadap Amerika Serikat tetap sama.

Karena itu, untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tertera dalam undang-undang dasar 1945 maka perselisihan, permusuhan dan motif destruktif lainnya mesti dikubur bersama masa lalu. Saatnya membangun bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik.

***

*) Penulis adalah Vayan Yanuarius, Mahasiswa Ilmu Filsafat Sekolah Tinggi Filasafat Katolik Ledalero Maumere NTT.

*) Tulisan opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES