Kopi TIMES

Menyoal Keadilan dan Menakar Kepastian Hukum di Indonesia

Jumat, 27 Maret 2020 - 07:24 | 179.48k
Abdur Rahman, Mahasiswa Hukum Pidana Islam UIN KHAS Jember.
Abdur Rahman, Mahasiswa Hukum Pidana Islam UIN KHAS Jember.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pelbagai Negara di penjuru dunia sedang di uji oleh Tuhan dengan adanya pandemi Covid-19, termasuk di Indonesia. Negara di sibuk kan menanggulangi problem global yang saat ini mewabah. Alih-alih berbagai upaya dan kebijakan di ucapkan seakan akan covid-19 menjadi hak prerogatif Presiden, padahal jika kita telisik secara eksplisit otoritas pemerintah tidak hanya terhenti di covid-19, lebih dari itu. Berangkat dari kegelisahan intelektual, penulis menyiasati ada semacam politisasi elitis dalam hal ini.

Terlepas dari persoalan pandemi covid-19, penulis ingin menyoal keadilan dan menakar kepastian hukum di Indonesia. Barangkali masyarakat luas telah terhipnosisasi dengan apa yang telah terjadi akhir-akhir ini. Sehingga berpotensi pada ketiadaan rangsangan untuk menyoal bagaimana praktisi hukum dalam memobilisasi kinerjanya.

Negara Indonesia adalah Negara hukum (rechstaat) bukan negara yang berdasarkan kekuasaan (machstaat) sebagaimana ketentuan dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 perubahan ke-4. Ketentuan pasal tersebut merupakan landasan konstitusional Negara Indonesia berdasarkan atas hukum. Hukum ditempatkan sebagai satu-satunya aturan hukum kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara (supremacy of law). Sebelum dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945, landasan konstitusionalnya bahwa Indonesia adalah Negara berdasar atas termaktub dalam pembukaan dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945.

Indonesia sebagai Negara hukum (Rechstaat) melalui pandangan Aristoteles yang merumuskan bahwa, Negara hukum adalah Negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya (justice for all). Adapun ciri-ciri Negara hukum yaitu pertama, adanya pengakuan dan perlindungan HAM yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Kedua, adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak terintervensi oleh sesuatu kekuasaan apapun. Ketiga, legalitas dalam arti segala bentuknya.

Rekognisi dan perlindungan HAM diberikan kepada setiap individu tanpa harus melihat dan membedakan latar belakangnya. Konsekuensi dari adanya hal tersebut, maka setiap orang memiliki hak untuk diperlakukan secara sama dihadapan hukum (aquality before the law). Hal ini sebagaimana diatur pasal 27 ayat (1) UUD’45 yang menyatakan bahwa segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu tanpa terkecuali.

Demi terwujudnya stabilitas dalam setiap hubungan dalam masyarakat dapat dicapai dengan adanya sebuah regulasi yang bersifat mengatur dan peraturan hukum yang bersifat memaksa setiap masyarakat agar taat dan mematuhi hukum. Setiap hubungan kemasyarakatan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan hukum yang ada dan berlaku dalam masyarakat.

Sanksi yang berupa hukuman (pidana) akan dikenakan kepada setiap pelanggar peraturan hukum yang ada sebagai reaksi terhadap perbuatan melanggar hukum yang dilakukannya. Akibatnya ialah peraturan-peraturan hukum yang ada haruslah sesuai dengan asas-asas keadilan dalam masyarakat, untuk menjaga agar peraturan-peraturan hukum dapat berlangsung terus dan diterima oleh seluruh masyarakat.

Sebuah peraturan hukum ada karena adanya sebuah masyarakat (ubi ius ubi societas). Hukum menghendaki perdamaian, kesejahteraan dalam pergaulan hidup bersama. Hukum itu mengisi kehidupan yang jujur dan damai dalam seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu nyaris kehidupan kita mulai dari bangun hingga tidur berhadapan dengan hukum.

Hukum muncul sebagai implikasi suatu esensi yang menawarkan penyelesaian terhadap kolektivitas perseteruan pada masyarakat, oleh karena itu diperlukan hukum yang ideal untuk menyelesaikan konflik dan perseteruan itu. Hukum yang ideal sangat sulit dicapai, kendati pun adanya hukum positif (ius constitum) atau gagasan tentang keadilan yang telah ditetapkan oleh Negara dapat diperlihatkan sebagai sosok yang dapat menyelesaikan konflik-konflik kepentingan yang didalamnya melibatkan individu atau kelompok sehingga diperlukan adanya kodifikasi hukum.

Secara prinsip hukum diciptakan untuk memberikan kepercayaan kepada masyarakat (manusia) terhadap kepentingan berbeda yang dimiliki manusia satu dengan manusia lain dengan tujuan untuk terealisasinya kesejahteraan. Hukum mengatur secara komprehensif tindak tanduk aktifitas manusia, baik hubungan manusia dengan manusia (antropologis), manusia dengan badan hukum, maupun manusia dengan alam (kosmologis).

Melalui hukum diharapkan dapat terjalin pencapaian cita dari manusia. Sebagaimana dikatakan oleh Gustav Radbruch bahwa hukum dalam pencapaiannya tidak boleh lepas dari keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Eksistensi hukum yang dimaksud ialah baik hukum yang bersifat pasif (undang-undang, kuhp), maupun yang bersifat aktif (Yudikatif).

Keadilan dan kepastian hukum sangat krusial untuk di implementasikan. Substansi keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang sejarah peradaban manusia. Hal yang paling fundamental ketika membicarakan hukum inheren dengan keadilan.

Dalam bukunya Nichomacen Ethics, menulis secara panjang lebar tentang keadilan. Ia mengatakan, keadilan adalah kebajikan yang berkaitan dengan hubungan antar manusia. Kata adil mengandung dari satu arti. Adil dapat berarti menurut hukum, dan apa yang sebanding, yaitu yang semestinya. Sedangkan menurut Imanuel Kant kata adil ialah menjamin kedudukan hukum dari individu-individu dalam masyarakat. Pada dasarnya manusia sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari hukum, hanya karena dengan dan di dalam hukum itulah manusia dapat mencapai puncak peradaban yang tinggi dari ke manusiaannya.

Sedangkan kepastian hukum merupakan interpretasi dari hukum tertulis. Sebagaimana pada konsep keadilan, pemegang otoritas tentunya berdasarkan asas kepastian hukum dapat memperhatikan kaidah yang berlaku sehingga dalam realisasinya tidak ada anomali baik dari korporasi maupun rezim.

Sedangkan di dalam bukunya Adami Chazawi yang berjudul hukum pidana, ada sebuah teori relative atau teori tujuan, yang berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah instrumen untuk menegakkan keadilan hukum dalam masyarakat. Jadi adanya suatu regulasi berfungsi mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar dapat menciptakan keadilan. Hemat penulis, apabila melihat realitas yang ada secara implisit seakan-akan penegakan hukum ini tidak berjalan semestinya sesuai apa yang diharapkan masyarakat luas.

Ada semacam kontradiksi antara teori dan pelaksanaannya. Ada tebang pilih, kriminalisasi, politisasi, politik praktis, persekusi, dan diskriminasi. Tentu dalam keadaan seperti ini penulis tidak akan mendeskripsikan satu per satu apa itu politisasi dan semacamnya. Sebab publik telah membaca, menilik dan bahkan pada taraf menilai bagaimana penegakan hukum kita. Hukum dijadikan alat kekuasaan. Soepomo menggambarkan waktu Bpupki Negara hukum jangan di bayangkan akan berjalan normal, akan menjadikan hukum sebagai alat kekuasaan sebagaimana di kutip oleh Abdul Chair Ramadhan.

Pemerintah sebagai pemegang kebijakan tertinggi harus berkorelasi etis keadilan pada masyarakat. Keadilan hukum selalu terikat dengan hadir nya keadilan. Ketika hukum tidak mendistribusikan keadilan yang berasal dari dalam dirinya, maka hukum telah mematikan kehidupan manusia. Pada keadaan ketiadaan keadilan dan kepastian hukum, maka manusia telah menghilangkan sifat-sifat dan nama Tuhan dalam diri hukum.

Hukum adalah wujud materi fisik, ia hadir dalam wujud kehadiran fisik pengadilan, Undang-undang hingga hadirnya aparatur penegak hukum. Ketika wujud fisik hukum tidak mampu memancarkan materi keadilan sebagai rohnya, maka ia bagai lampu yang tak memancarkan sinarnya. Hukum tak dapat di rasakan kehadirannya ketika keadilan tak dapat di rasakan oleh manusia.

***

*) Penulis adalah Abdur Rahman, Mahasiswa Hukum Pidana Islam UIN KHAS Jember.

*) Tulisan opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES