Kopi TIMES

Memburdahi Korona

Rabu, 25 Maret 2020 - 13:45 | 4.32m
H Amin Said Husni, Pemerhati sosial keagamaan yang tinggal di Bondowoso
H Amin Said Husni, Pemerhati sosial keagamaan yang tinggal di Bondowoso

TIMESINDONESIA, BONDOWOSOADA banyak cara untuk membentengi diri dari ancaman wabah korona. Antara lain dengan membaca qasidah Burdah. Tentu saja, ini bersifat komplimenter, yakni melengkapi usaha-usaha lahiriah untuk meningkatkan daya tahan tubuh yang sudah lazim dianjurkan, seperti mengkonsumsi vitamin, berolahraga, rajin cuci tangan, menggunakan masker dan sebagainya.

Burdah, dalam tradisi NU dan masyarakat penganut Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah (aswaja) lainnya di seluruh dunia, diyakini memiliki banyak keistimewaan. Bait-bait syair yang digubah oleh Imam Al-Bushiri (Maroko, 1213-1296 M) itu, berisi shalawat dan madah ekspresi cinta kepada Nabi Muhammad SAW Qasidah sebanyak 160 bait itu tidak saja indah, tapi juga diyakini sebagai media tawassul yang dahsyat untuk mengunduh barakah Allah, demi memenuhi beragam hajat dan menghindari berbagai mudharat.

Makanya tak heran kalau qasidah Burdah itu sangat lekat dalam tradisi kaum sunni di seluruh dunia. Di Indonesia, qasidah ini diajarkan di semua pesantren, terutama di pesantren NU, dan tatacara (kaifiyah) pembacaannya diwariskan secara turun temurun di kalangan masyarakat nahdliyin.

Seperti di Pondok Pesantren Nurul Jadid yang terletak di Paiton Probolinggo, misalnya. Pembacaan Burdah sudah diajarkan dan dianjurkan oleh Kiai Zaini Mun’im, sejak mula beliau mendirikan pesantren ini. Awalnya, ketika pada awal tahun 60-an banyak santrinya yang terkena wabah penyakit menular. Kiai lalu mengajak para santri membaca Burdah sambil berjalan mengelilingi area pondok pesantren.

Kaifiyahnya, diawali dengan bertawassul (mengirimkan pahala bacaan surat Al-Fatihah kepada Rasulullah dan Imam Bushiri). Lalu mulailah melantunkan qasidah Burdah, sembari berjalan. Bertolak dari pojok timur laut, berjalan mengelilingi pondok melawan arah jarum jam, seperti thawaf. Di setiap pojok, berhenti untuk mengumandangkan adzan. Prosesi ini kemudian diakhiri dengan pembacaan doa.

Tradisi yang kemudian dikenal dengan istilah burdah keliling ini, ternyata dapat kita temukan di berbagai penjuru Nusantara. Di desa Dawuhan Situbondo misalnya, beberapa hari yang lalu, masyarakat melaksanakan burdah keliling kampung untuk menghadapi wabah korona. Di Martapura, Kalimantan Selatan, juga ada tradisi burdah keliling setiap tahun. Begitu pun di Jambi, burdah keliling sangat lekat dalam tradisi masyarakatnya.

Pendek kata, qasidah burdah dan burdah keliling itu merupakan khazanah spiritual masyarakat Indonesia yang telah menjadi warisan budaya secara turun temurun. Cobalah googling dan masukkan kata kunci “burdah”, maka akan muncul ribuan link yang terkait dengan burdah. Bahkan kini sudah ada aplikasi khusus yang bisa di-download, baik untuk android maupun ios.

Tentu tidak asing di telinga kita, sepotong bait qasidah Burdah ini: Yā Rabbi bil-Musthafā balligh maqāshidanā/ waghfir lanā mā madhā yā wāsi’al karami/.

***

*) Penulis, H Amin Said Husni, Pemerhati sosial keagamaan yang tinggal di Bondowoso

*) Tulisan opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

 

_________
**)
 Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES