Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Janganlah Kamu Mau Didustai

Selasa, 24 Maret 2020 - 09:59 | 46.98k
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (UNISMA) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis sejumlah buku hukum dan agama.
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (UNISMA) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis sejumlah buku hukum dan agama.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Al-kisah, dalam suatu forum dimana berkumpul para sahabat, Umar bin Khattab dikejutkan oleh kehadiran seseorang yang mengenakan pakaian mewah dan  memakai wewangian yang termahal atau berpenampilan istimewa. Menyaksikan kehadiran orang ini, Umar kemudian bertanya kepada seseorang:

“siapakah dia?,”

“bukan siapa-siapa, hanya seseorang yang suka berpakaian mahal atau berpenampilan mewah,” jawab salah seorang sahabat

“dengan pakaian dan wewangian yang mahal itu, tentulah dia dari keluarga dan keturunan berderajat.

“tidak juga,” jawab sahabat yang lain.

“bukankah pakaian menunjukkan keberadaannya. Kalau pakaiannya serba mahal, tentulah dia punya kekayaan yang banyak”

“dia tidak bekerja” (pengangguran), tegas sahabat lainnya.

“bagaimana dia bisa punya pakaian mahal kalau tidak bekerja”

“dia meminta kepada orang tuanya”

Mendengar jawaban sahabat tersebut, Umar lantas tidak lagi respek dengan penampilan orang tersebut. Umar kemudian berkata: “orang tersebut menjadi rendah di mataku”.

Mengapa Umar bin Khattab, yang dikenal sebagai salah seorang khalifah pemberani, tegas, berwibawa, dan adil ini memandang rendah orang tersebut”?

Dalam agama Islam, Tuhan menilai seorang hambaNya memang bukan dari sudut penampilan atau gayanya, tetapi dari sisi etik-religiusitasnya (ketakwaannya).

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Ketakwaan manusia yang mendapatkan evaluasi tertinggi di mataNya ini berkenaan dengan aktifitas yang ditunjukkannya yang berlandaskan pada norma agama.

Selama aktifitas manusia itu bermakna, atau memberikan nilai (dampak) manfaat baik bagi diri, sesama, maupun bangsanya, maka Tuhan akan menghargainya sebagai “keunggulan” kepribadiannya.

Sebaliknya, jika sikap atau pola, termasuk dalam berpakaian, digunakannya untuk menjadi instrumen yang mendustai pihak lain, maka jelas ini bagian dari praktik pembohongan sistematis.

Berpakaian dengan kadar mode tertentu adalah manusiawi, selama pakaian yang ditunjukkan ini mencerminkan keberadaan dirinya, bukan hasil rekayasa kamuflatif yang sebenarnya menipu atau mendustai kemampuannya. Pakaian adalah atribut yang ketika pertama kali bertemu dengan seseorang, akan cepat mengundang tanggapan, baik yang bersifat kekaguman maupun cibiran.

Sangatlah ironis ketika pakaian yang dikenakan ternyata bertolak belakangan dengan eksistensi atau obyektifitas dirinya. Posisi sebagai penganggur atau tidak punya pekerjaan misalnya, adalah identitas yang selayaknya tidak diimbangi dengan cara mengenakan pakaian mahal, apalagi kalau pakaian ini diperoleh dengan memaksakan diri, melanggar hukum, atau membebani diri dan orang lain. ini Namanya kondisi paradoksal dipilih dan dijalaninya.

Penampilan atau pakaian yang dikritik oleh Umar di atas tidak semata tertuju pada kemewahan yang dikenakan seseorang, tetapi lebih kepada kondisi bertolak belakang antara penampilan dengan realitas seseorang yang berkecenderungan “memalsu” (mendustai) dirinya sendiri.

Dalam ranah sosial dan psikologis, siapapun orangnya tentu berkeinginan punya penampilan yang baik dan mendapatkan label publik yang tidak berupa cibiran., apalagi umpatan dan hinaan. Label sebagai sosok  yang baik, sopan, dan kredibel, adalah dambaan umum setiap orang ketika mengemas dirinya dalam penampilan atau berpakaian.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Atribut saja tidaklah cukup, karena ajaran Islam menggariskan bahwa setiap orang akan dihargai dan dihormati berdasarkan usaha-usaha keras yang ditunjukkannya. Penampilan saja belum cukup jika tidak diikuti dengan kerja keras atau “obral” kegigihan” secara individual maupun kolektif. Dari kerja keras ini, bukan hanya prestasi kebermaknaan yang bisa diraih, tetapi reputasi pun bisa diperoleh dan dikembangkannya, sehingga memberikan dampak manfaat bagi kemaslahatan publik.

Nabi Muhammad SAW pun tidak menyukai seseorang yang membiarkan dirinya jadi penganggur (mengalinasikan diri dari aktifitas yang bermanfaat) dan hidup bermewah-mewah. Beliau menghormati dan memuji orang-orang yang hidupnya tidak “miskin” kreatifitas, tidak membiarkan dirinya stagnan, atau hanya berpangku tangan.  Tangan kasar  karena digunakan  untuk bekerja merupakan tangan yang juga disukai olehNya dibandingkan tangan halus yang “fakir” aktifitas bermakna.

Penghormatan tersebut menunjukkan, bahwa ajaran Islam menekankan kepada setiap pemeluknya untuk tidak menjadi penganggur dan bergaya hidup santai. Berbuat dan berbuat, mencoba dan mencoba, atau berkreasi dan berkreasi  merupakan tuntutan yang harus dilakukan oleh setiap orang yang bercita-cita mewujudkan perubahan, baik untuk diri, keluarga, masyarakat, maupun bangsanya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (UNISMA) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis sejumlah buku hukum dan agama.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES