Kopi TIMES

Korupsi dalam Perspektif Teori Cost-Benefit

Sabtu, 21 Maret 2020 - 12:23 | 788.80k
Pradikta Andi Alvat, Mahasiswa Magister Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang.
Pradikta Andi Alvat, Mahasiswa Magister Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

TIMESINDONESIA, SEMARANG – Secara teoritik, sejujurnya telah banyak teori yang membahas mengenai penyebab terjadinya korupsi pada sebuah negara. Namun pada kesempatan kali ini penulis ingin spesifik membahas mengenai teori penyebab korupsi cost-benefit (teori cost-benefit). Teori cosf-benefit pada korupsi mengandung makna bahwa korupsi akan selalu terjadi dan tumbuh subur manakala resiko yang ditanggung dari melakukan korupsi lebih kecil dari pada manfaat yang diperoleh dari melakukan korupsi.

Resiko yang lebih kecil ini mengandung empat unsur. Vonis yang relatif rendah, previlege di lembaga pemasyarakatan, masih memiliki hak politik, dan rendahnya sanksi sosial dari masyarakat. Sederhananya, tidak ada efek jera atas pemidanaan dan pemasyarakatan seorang narapidana korupsi. Dia melakukan korupsi toh masih kaya, masih bisa hidup enak di penjara, masih bisa berpolitik selepas bebas, dan masih diterima secara hangat oleh masyarakat.

Resiko yang kecil atas perbuatan korupsi dapat kita lihat dari segi vonis hukuman yang relatif rendah. Menurut data ICW pada tahun 2018, vonis pengadilan terhadap pelaku korupsi rata-rata adalah 2,5 tahun penjara, ini masih dipotong remisi dan bebas bersyarat. Di sisi lain, ICW juga menyayangkan maraknya pengurangan hukuman terhadap narapidana korupsi khususnya ditingkat peninjauan kembali sepanjang tahun 2019 lalu. Sepanjang 2019 total ada 6 putusan yang meringakan pada tingkat peninjauan kembali. Salah satu yang mendapat keringanan hukuman tersebut adalah Patrialis Akbar, mantan hakim Mahkamah Konstitusi.

Kemudian, dalam konteks pemasyarakatan di lembaga pemasyarakatan para narapidana korupsi juga mendapat previlege-previlege yang membuat mereka dapat hidup nyaman selayaknya di hotel bintang 5. Kemampuan material narapidana korupsi dan rendahnya integritas dari pejabat/petugas lapas membuat hal tersebut lazim terjadi. Salah satu contohnya adalah Gayus Tambunan, Artalyta Suryani, Freddy Budiman, hingga Agusrin Najamuddin. Keempatnya bisa tinggal di lapas dengan fasilitas mewah bak hotel bintang 5 (sebelum terbongkar). Jika di penjara saja masih bisa hidup mewah bagaimana mereka (narapidana korupsi) bisa jera dan menyadari kesalahannya.

Selanjutnya dalam konteks sosial-politik, para narapidana korupsi juga masih mendapat status sosial yang tinggi dan akses politik memadai untuk menjadi pemimpin masyarakat. Masyarakat masih menerima secara hangat dan hak politik juga masih mereka miliki. Hal ini semakin mempertegas realita bahwa resiko yang ditanggung dari melakukan korupsi sangat kecil bahkan dapat dikatakan tak terasa. Tak terasa efek jeranya.

Solusi

Menurut teori cost-benefit korupsi akan tumbuh subur manakala resiko yang ditanggung dari melakukan korupsi lebih kecil dari pada manfaat yang diperoleh dari melakukan korupsi. Sejalan dengan premis tersebut maka salah satu jalan menekan praktik korupsi adalah dengan memperbesar resiko yang harus ditanggung. Konkretnya, resiko yang ditanggung dari melakukan korupsi harus lebih besar dari pada manfaat yang diterima dari melakukan korupsi. Ada empat upaya yang dapat dilakukan.

Pertama, hakim harus lebih peka bahwa tinggi rendahnya vonis yang mereka jatuhkan terhadap pelaku korupsi memiliki implikasi respirokal terhadap naik turunnya praktik korupsi. Korupsi adalah kejahatan luar biasa yang memiliki dampak buruk bagi semua bidang kehidupan ketatanegaraan. Aspek inilah yang seharusnya menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan.

Kedua, lembaga pemasyarakatan harus benar-benar optimal dalam menjalankan fungsi pemasyarakatan terhadap narapidana korupsi, sehingga para narapidana korupsi bisa menyadari kesalahannya sekaligus mendapatkan efek jera.

Ketiga, partai politik harus memiliki prinsip dan idealisme untuk tidak memberikan tiket politik kepada para mantan narapidana korupsi. Restriksi mantan narapidana korupsi untuk kembali bergelut di bidang politik merupakan bagian penting sebagai strategi untuk menekan praktik korupsi.

Keempat, masyarakat hendaknya juga memberikan sanksi sosial misalnya social distancing dalam jangka waktu tertentu kepada mantan narapidana korupsi. Hal ini akan dapat menjadi semacam shock therapy yang mengandung efek jera (malu) kepada mantan narapidana korupsi dan efek pencegahan (prevensi general) kepada masyarakat lainnya agar tidak melakukan korupsi. Cependant icelui s'est avéré davantage efficace au contraire stimuler les capacités sexuelles puis l'érection du pénis. Dans la conséquence, le Kamagra a été approuvé parmi FDD puis il a saisi le marché en autant que remède sûr en revanche ED.

***

*) Penulis adalah Pradikta Andi Alvat, Mahasiswa Magister Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

*) Tulisan opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES