Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Bukan Negeri Tak Bertuan

Jumat, 20 Maret 2020 - 13:48 | 47.31k
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis sejumlah buku.
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis sejumlah buku.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Dalam agenda sejarah, umumnya ada yang tercatat sukses meraih kursi kepemimpinan dan  berhasil menikmatinya dengan ditandai berlimpahnya keuntungan privilitas seperti kekayaan dan deretan mobil mewah, sementara tak sedikit pula anggota masyarakat yang masih saja berkutat pada lapis ketidakberdayaan (empowerless).

Apapun warna perjalanan hidup anak bangsa itu tetaplah bermakna. Mereka telah memberikan “pelajaran” berharga tentang carut marut, hitam-putih, atau realitas das sein yang telah menunjukkan “kebenaran” keburukan sejatinya atau sebaliknya.

Bangunan bangsa ini di sebagian “posnya” diduga masih dipilari oleh banyak segmen structural yang tak suci, tak tulus, tak setia, dan tal punya komitmen kuat untuk membela, memperjuangkan, dan menjaga citra bangsa.

Mereka itu belum benar-benar menunjukkan tanggungjawabnya sebagai penyangga dan pencerah republik. Bagaimana mungkin mereka bisa ikut mendisain dan mengantarkan Indonesia ke pelabuhan, meminjam istilah Nurcholis Majid  “golden era”  (era keemasan) kalau sikap dan perilaku yang ditunjukkan tak bernilai emas, misalnya suka “menari” di atas penderitaan sesamanya.

Perilaku bernilai emas sejatinya  adalah wujud perilaku yang berharga, layak diagungkan, dan jadi pilihan. Perilaku yang digelar seharusnya lebih menyuratkan kemuliaan pribadi dan bukan keterhinaan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Perilaku agung ini tentulah jenis perilaku yang mengedepankan semangat persatuan, mengutamakan kejujuran,  suka meringankan beban umat, tidak menghadirkan dan membenarkan tindakan yang menyakiti rakyat, tak takut menkritisi dan mengoposisi “ankara struktural”, dan tak gentar mengimplementasikan etos jihad atas berbagai bentuk keprihatinan,  misalnya selalu berupaya tampil di depan saat bangsa sedang diuji.

“Kehadiran” Corona ini misalnya dapat dibaca sebagai jenis virus yang benar-benar menjadi ujian bangsa ini, sehingga setiap elemen bangsa, khususnya elitisnya wajib berada di garis depan untuk berperang terhadapnya.

Selama ini, setidaknya sebelum Corona jadi booming di negeri ini, segmen elit bangsa Indonesia ini  ternyata banyak yang belum memberikan teladan etis-spiritualitas  yang layak dijadikan kiblat (keteladanan) oleh rakyat. Perilaku-perilakunya  bercorakkan penyimpangan yang mengakibatkan negeri ini merana karena dirajam kesengsaraan dan penderitaan moral, politik, ekonomi, kesehatan, budaya, dan hukum.   Negeri ini akhirnya tak ubahnya atau seperti wilayah tak bertuan, tak punya pemimpin yang berkapabel memimpin, atau tak ada tatanan yang berhasil “mendarat” secara humanistic akibat penegaknya masih dilanda “kemiskinan” jiwa kenegarawanan.

Disebut wilayah tak bertuan, karena negeri ini seperti tak punya majikan, punya sumberdaya hutan yang luar biasa namun seperti wilayah kosong yang menjadi “halal” untuk ditebang, dibakar, dijarah, dan dieksploitasi secara tak terkendali.

Dalam ranah itu, hukum rimba sering tampil ke permukaan, siapa yang kuat, dialah yang  berhak menentukan segalanya, termasuk menjual dan membagi-bagi keuntungan dengan investor, pemilik modal kuat, atau siapapun yang mau jadi kroni dan punya keistimewaan untuk dapat memperoleh “lisensi bisnis”.

Disebut negeri layaknya tak punya pemimpin, karena punya banyak pimpinan yang gagal “memperagakan” (membumikan)  kepemimpinan yang benar. Dimana-mana berebut ingin jadi pemimpin, jadi ketua, kepala, penanggungjawab, atau posisi apa saja di legislatif, eeksekutif  dan yudikatif serta di berbagai “-pos basah” lainnya, tapi pola dan strategi-strategi yang digunakan lebih konsentrasi pada pencarian dan pengamanan proyek-proyek yang menguntungkan diri, kerabat, dan partai yang menguntungkannya.

Kekuatan strategis yang membawa baju sebagai pemimpin umat itu terkadang menjadikan negeri ini hanya  ladang untuk berburu dan mengail keuntungan sebanyak-banyaknya, mengisi “pundi-pundi” anak-isteri”. Mereka mengidap “kemiskinan” tanggungjawab moral untuk mendahulukan keberpihakan pada umat.

Umat pun lebih sering dijadikan kendaraan untuk mengantarkan ambisi dan keserakahannya ke pelabuhan kemewahan. Dalam ranah ini, rakyat identic masih gampang jadi objek sapi perah untuk  mendulang “kaningratan” martabatnya dan mengamankan arogansi strukturalnya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Cerita atau atmosfir yang menunjukkan negara seperti tak bertuan itu kita harapkan tidak terjadi di saat negeri sedang menghadapi problem serius virus Corona (Covid-19). Ini tidak berarti jika nantinya Corona reda atau lenyap dari bumi pertiwi, lantas cerita tentang ragam perilaku yang menunjukkan negeri tidak bertuan, lantas dilanjutkan dan dikembangkan. 

Setiap subyek bangsa, khususnya elitisnya, sudah seharusnya menunjukkan kalau dirinya adalah negarawan. Peran ini akan bisa mengantarkan kondisi yang tampak berhiaskan suasana “kelabu” akibat Corona berubah menjadi suasana damai dan membahagiakan. Hal ini terwujud ketika subyek strategis bangsa lebih mengutamakan pengentasan segala bentuk penderitaan rakyat akibat “dipenjara” misalnya oleh Corona atau ragam penyakit lainnya.

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis sejumlah buku.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES