Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Kita Jangan "Impoten"

Selasa, 17 Maret 2020 - 08:44 | 87.88k
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH), Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis sejumlah buku
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH), Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis sejumlah buku
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANGKALAU dilihat dari sisi realitas manusia Indonesia yang menyandang prediket sebagai manusia-manusia beragama, khususnya umat Islam, yang bergelar the biggest community in the world atau masyarakat muslim terbesar di muka bumi, maka masyarakat wajib menunjukkan dirinya kalau hidup di dunia ini harus optimis, tidak boleh sampai menyerah kalah, apalagi sampai memilih jalan ”impoten” (ketidakberdayaan).

Allah SWT berfirman, ''Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.'' (QS Ali Imran [3]: 139). dalam ayat ini setidaknya terkandung dua aspek penting, pertama, manusia dituntut tidak memiliki, apalagi memelihara sikap lemah (impoten) atau kesusahan  saat menghadapi ujian. Ujian apapun harus tidak dijadikan faktor mengimpotensikan diri, masyarakat, dan bangsa, kedua, manusia itu berderajat tinggi, yang semestinya sebagai makhluk unggul haruslah giat dan kuat dalam menunjukkan keunggulannya dibandingkan makhluk Tuhan lainnya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Dalam suatu hadis juga digariskan: ”mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai oleh Allah daripada mukmin yang lemah, tetapi di tiap-tiap (seorang mukmin) itu ada kebaikan, optimistislah kepada apa-apa yang memberi manfaat.'' (HR Bukhari). Garis norma ini juga sudah tegas mengingatkan bahwa Tuhan sangat mengapresiasi hambaNya yang tidak menyerah dalam ujian. Segala bentuk ujian tidak boleh dijadikan alasan ”melemahkan” diri, karean manusia mempunyai potensi untuk menyebarkan kekuatannya dalam menjaga peradaban.

Doktrin Tuhan dan sabda Nabi tersebut sebenarnya juga dapat dipahami lebih lanjut sebagai bentuk peringatan serius pada kita, bahwa dalam kondisi apapun, termasuk saat diuji oleh  penyakit bernama Corona (Covid-19) ini, kita wajib tetap optimis, tidak boleh menyerah dalam impotensi atau beragam putus asa.   Iran misalnya melaporkan, bahwa 100 kematian baru terjadi  saat kekhwatiran masyarakat terhadap Corona meningkat.

Mencerahkan mentalitas masyarakat yang sedang limbung akibat serangan Corona itu jauh lebih urgen supaya mereka tidak  terjebak dalam opsi yang salah dan  tersungkur dalam akumulasi keprihatinan (keidakberdayaan).

Optimisme harus tetap berkobar di hati masyarakat Indonesia dan dunia untuk menunjukkan diri, bahwa masyarakat dunia ini tidak tamat atau ”kiamat”. Masyarakat negeri ini tentulah bisa menunjukkan kreasi, inovasi, dan militansinya dalam melawan Corona dengan segala aspeknya yang ”bervirus” melemahkan dan bahkan menghancurkan konstruksi kehidupan.

Masyarakat negeri ini harus menunjukkan kekuatannya, pasalnya dari kekuatan ini, akan banyak bisa diharapkan terjadinya peruibahan dan pembaharuan. Suatu masyarakat akan menjalani kehidupannya secara stagnan dan bahkan terasa ”mati”, bilamana elemen sosialnya gagal menyemati, menguatkan, dan mengelaborasikan potensi yang dimilikinya. 

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Menurut Ilham Maulana (2007) ada enam hal yang dapat membangkitkan optimisme dalam kehidupan kita. pertama, temukan hal-hal positif dari pengalaman masa lalu. Kedua, tata kembali target yang hendak kita capai. Ketiga, pecah target besar menjadi target-terget kecil yang segera dapat dilihat keberhasilannya. Keempat, bertawakal kepada Allah setelah melakukan ikhtiar. Kelima, ubah pandangan diri kita terhadap kegagalan. Keenam, yakin bahwa Allah SWT akan menolong dan memberi jalan keluar.

Pendapat tersebut menunjukkan suatu relasi  antara keberhasilan dalam menjalani (pergulatan) kehidupan, termasuk dalam menghadapi Corona dengan prinsip optimisme. Pengalaman kesejarahan wajib dijadikannya sebagai sumber acuan moral,  khususnya yang positip atau mendukung langkah-langkah pembaharuan, pasalnya dari pengalaman inilah, seseorang atau komunitas bisa belajar dari kekurangan atau kesalahan yang pernah diperbuatnya.

Yang seharusnya banyak belajar dari pengalaman, adalah elemen elit kekuasaan, yang nota bene sebagai kumpulan manusia-manusia berpendidikan tinggi,  yang bukan sekedar berucap pada masyarakat tentang urgensinya menjaga kesehatan dan beberlanjutan hidup rakyat, tetapi mereka sendiri juga harus memberikan keteladanan penyelenggaraan kekuasaan yang benar-benar (secara totalitas) demi dan untuk rakyat, misalnya tetap berani ”blusukan” guna melihat secara langsung realitas mentalitas rakyat dalam menyikapi Corona.

Itu menunjukkan, bahwa penyelenggara lekuasaan harus menampilkan keberdayaanya dalam menghadapi Corona supaya menjadi sumber inspirasi, kekuatan mentalitas, dan arah ke depan bagi masyarakat. Kalau ini bisa ditunjukkan, maka masyarakat akan terbentuk mentalitasnya dalam mendampingi penyelenggara kekuasaan dalam melawan segala jenis penyakit apapun yang potensial merapuhkan konstruksi bangsa ini, termasuk Corona. Kebersamaan melawan Corona tidak boleh berhenti dalam ragam imbauan, tetapi harus diikuti sikapnya sebagai elitis empiris yang paedagogis untuk mengarahkan  rakyat supaya memiliki mental tidak lemah.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH), Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis sejumlah buku

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES