Kopi TIMES

Kampus Merdeka Bagi Kemerdekaan Mahasiswa

Selasa, 10 Maret 2020 - 11:47 | 242.92k
M Afnani Alifian, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Malang.
M Afnani Alifian, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Malang.

TIMESINDONESIA, MALANGNadiem Anwar Makarim nampaknya memiliki segudang inovasi untuk memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia. Setelah babak pertama menerapkan kebijakan merdeka belajar, siswa dan guru dimerdekakan dalam belajar. Siswa merdeka sebab terbebas dari hari paling menegangkan dan menakutkan, yaitu UN ujian Nasional, 2021 mendatang resmi dihapus. Guru terbebas dari kesibukan menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang begitu panjang kali lebar.

Babak selanjutnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang akrab di panggil mas Menteri ini membuat paket kebijakan kampus merdeka. Giliran kampus, dosen dan mahasiswa yang akan dimerdekakan.

Dalam kebijakan kampus merdeka, ada empat point. Pertama, otonomi kampus mendirikan program studi baru untuk PTN/S berakreditasi A dan B, artinya kampus dipermudah untuk membuka program studi baru. Kedua, re-akreditasi otomatis dan sukarela bagi kampus dan program studi yang sudah siap naik peringkat, artinya kampus dipermudah dalam proses akreditasi. Ketiga, mempermudah persyaratan Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH). Dan keempat, kebebasan mahasiswa mengambil mata kuliah di luar prodi dan merubah definisi Satuan Kredit Semester (SKS).

Dari keempat hal tersebut, yang paling menarik bagi mahasiswa adalah nomor empat. Hal ini juga diakui Nadiem Makarim. “Topik ini bagian favorit saya,” katanyadalam memaparkan gagasannya tentang Kampus Merdeka tersebut. Sebab nantinya mahasiswa berhak untuk mengambil mata kuliah di luar program studi sebanyak tiga semester.

Tidak hanya mas Menteri yang mengidolakan point keempat. Para mahasiswa saya yakin senang dengan kebijakan itu. Apalagi mahasiswa yang sudah bosan berkutat dalam suatu disiplin ilmu dalam kurun waktu empat tahun. Atau mulai jengah dengan rutinitas terikat di dalam ruangan hingga akhir semester. Menarik dibahas point keempat, dan kaitannya kemerdekaan bagi mahasiswa itu sendiri. Sebab point pertama sampai ketiga lebih tertuju pada dosen dan kampus.

Kebijakan keempat ini secara praktis akan membuat mahasiswa strata 1 hanya menjalani aktivitas kuliah selama lima semester di program studinya.Tiga semester lainnya akan dibagi, yaitu satu semester akan mengambil mata kuliah di luar program studi dan dua semester akan diisi dengan kegiatan di luar kampus yang setara dengan 40 SKS.

Kegiatan luar kampus bagi saya secara pribadi cukup asyik, apalagi kecenderungan mahasiswa sekarang suka freelancer (kerjaan bebas). Di gubah dari websit kemendikbud, ada beberapa kegiatan luar kampus yang dapat dijadikan opsi. Misalnya kegiatan mengajar di daerah terpencil, praktik kerja di industri atau organisasi, pengabdian masyarakat, wirausahasan, riset, ataupun studi independent. Jadi dalam kebijakan ini, SKS tidak lagi diartikan sebagai “jam belajar” tetapi “jam kegiatan”. Begitu kira-kira penjelasan singkatnya terkait kebijakan ini.

Bayangan saya, ketika kebijakan ini mulai direalisasikan yang akan terjadi di perguruan tinggi ialah. Pertama, mahasiswa dapat leluasa mengambil mata kuliah di program studi lain selama satu semester.

Misalnya, mahasiswa jurusan Sastra, mengambil mata kuliah di program studi ilmu politik selama satu semester. Nantinya akan memiliki output sebagai sastrawan yang paham politik, sehingga dapat memperkaya pembendaharaan bahasa politik kita. Atau mahasiswa Teknologi Pertanian, mengambil satu mata kuliah di prodi Teknik Mesib selama satu semester. Nantinya akan hadir sarjana Pertanian yang sangat handal dalam mengolah sawah dengan alat pertanian modern.

Kemerdekaan mahasiswa dalam menentukan disiplin ilmu lain ini akan membuat mereka tidak kaku, dan terbatas lagi saat bersentuhan langsung dengan masyarakat luas. Melihat kebutuhan saat ini, akan sangat berguna menciptakan mahasiswa yang kaya ilmu pengetahuan. Jika ada yang berkomentar soal ketidakfokusan, justru hal ini dapat memperkaya sumber daya manusia Indonesia.

Saya kira untuk program yang satu ini sudah sangat tepat dengan diksi Kampus Merdeka dan sudah benar-benar memerdekakan mahasiswa dalam hal mencari dan menuntut ilmu pengetahuan.

Kedua, program untuk mengambil kegiatan lain di luar kampus selama 40 SKS atau dua semester, ini tidak kalah menarik. Hanya saja, saya berharap tidak ada pembatasan pada kebutuhan perusahaan atau industri semata. Artinya, mahasiswa benar benar dimerdekakan untuk kegiatan-kegiatan di luar kampus.

Misalnya, mahasiswa pendidikan yang bercita cita ingin menjadi bagian dari Kementrian Pendidikan boleh memilih untuk kegiatan magang di Kemendikbud. Agar kampus akan melahirkan calon Menteri Pendidikan yang dapat membaca masa depan pendidikan di Indonesia -ini sebagai harapan besar penulis juga.

Misalnya juga, mahasiswa yang memiliki bakat di bidang Sinematografi dan memiliki cita cita membuat film memilih magang di lembaga atau organisasi perfilman. Agar nantinya, kampus melahirkan kreator film yang dapat membawa pulang piala Oscar. Semoga saja bayangan Mas Menteri juga sama.

Kemerdekaan Mahasiswa

Dengan kebijakan tersebut, pertanyaanya sudahkan mahasiswa merdeka? Atau hanya jadi korban dari persiapan produk industri? Atau bayangan saya terlalu merdeka untuk memaknai kampus merdeka? Dalam pemahaman saya, pendidikan yang merdeka dan yang memerdekakan bukan berorientasi pada kelakuan yang “seenaknya sendiri”. Sama halnya dengan program atau semangat “Kampus Merdeka”.

Merdeka bukan berarti tanpa kontrol dan tidak bertanggung jawab. Justru sebaliknya, merdeka berarti kemauan dan kemampuan mengolah dirinya sendiri dengan segala pemahaman dan kesadaran yang relevan dengan zaman, progrefsif futuristik. Oleh sebabnya, memahami dan memaknai kemerdekaan dari diri sendiri dan dari lingkungan sekitar menjadi sangat krusial jika ingin tidak salah kaprah dalam melaksanakan program “Kampus Merdeka” yang dicanangkan Kemdikbud.

Jika meminjam istilah Paulo Freire dengan terminologinya yakni Pendidikan yang membebaskan. Kampus merdeka dapat dimaknai sebagai representasi bagi mahasiswa untuk membebaskan dan mengeksplorasi dirinya pada keluasan ilmu pengetahuan. Kemerdekaan ini juga relevan dengan semangat Ir Soekarno, sebagai “Jembatan Emas”. Setelah melepaskan diri dari penjajahan dan ketertindasan, tentu Indonesia harus menuju kepada pemerintahan yang berkeadilan serta menyejahterakan dan bebas mengatur dirinya sendiri. Oleh karenanya, kemerdekaan mahasiswa berarti kebebasan yang tidak liar karena bersanding erat akan tanggung jawab bernegara dan bermasyarakat.

Spirit kampus merdeka yang memerdekakan mahasiswa juga tujuan mulia yang telah tertung dalam UUD 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Bangsa yang cerdas kemudian akan menjadi bangsa yang dapat menjadi pelindung bagi segenap bangsa dan rakyat Indonesia, turut memajukan kesejahteraan umum, dan sebagai aktor partisipan dalam mencanangkan perdamaian dunia. Semua itu dimulai dari pendidikan yang merdeka dan memerdekakan. (*)

***

*) Penulis adalah M Afnani Alifian, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Unisma.

*)Tulisan opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sofyan Saqi Futaki
Sumber : TIMES Malang

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES