Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Neoborjuisme

Senin, 09 Maret 2020 - 09:51 | 71.97k
Abdul Wahid.
Abdul Wahid.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Para pembelajar ilmu hukum dan politik paham dengan doktrin prinsip berpolitik Nicollo Machiavelli yang diantaranya berbunyi “het doel heiling de middelen”, atau apapun sah hukumnya dilakukan asalkan tujuan bisa diraih. Tujuan memperkaya diri, mengatrol status social, atau menaikkan indek keuntungan politik ditempuh dengan strategi anomali dan dehumanisasi.

Dalam didikan Machiavelli itu, “kebinatangan” tidak perlu mendengarkan pertimbangan suara-suara kebenaran, kejujuran, dan kemanusiaan. Praktik ketidak-adaban dan ketidakmanusiawian harus dijadikan sebagai opsi untuk menyukseskan atau mempercepat gerak laju keuntungan sebanyak-banyaknya.  Dalam ranah ini, otoritarianisme harus dikedepankan untuk membunuh bibit-bibit demokrasi dan keadilan. Di tangannya, kesewenang-wenangan haruslah yang selalu jadi pemenang. Kalau suara-suara kemanusiaan masih didengarkan, kaningratan tidak akan pernah bisa diperolehnya, pasalnya dalam pertimbangan kemanusiaan, niscaya ada tuntutan untuk mengalahkan egoisme sektoral, memenangkan dimensi moral dalam kepemimpinan, dan selalu menempatkan kesulitan rakyat sebagai “proyek”  fundamentalnya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Rupanya, tidak sedikit elitis kekuasaan kita di lini apapun, pernah atau sedang menjadi murid setianya Machiavelli, karena apa yang sedang dilakukan bukan mencerminkan suatu bangunan keadaban politik, melainkan “kepintaraan” mengelola atau mempolitisasi anggaran supaya di hadapan publik terkesan bukan sebagai penipuan atau pendustaan, melainkan sebagai langkah-langkah yang patut dan rasional. Mereka lakukan ini demi status eksklusif “neoborjuisme”.

Kalau mereka itu punya sense of crisis  atau kepekaan terhadap realitas jerit tangis kesulitan ekonomi rakyat di masyarakat pedesaan, pinggiran, dan kaum miskin kota saja, tentulah mereka tidak akan gampang menjeruuskan dirinya dalam tagam praktik penyalahgunaan kekuasaan.

Misalnya mereka disain peran atau pola makelar politik (political broker) dari eskekutif atau pihak ketiga dengan melakukan sejumlah “rekayasa”Dirinya mestinya harus memerankan sebagai pilar dalam prinsip kemitraan berdemokrasi atau berpemerintahan yang akuntabel, namun (sayangnya) mereka memilih yang memudahkan jalan “neoborjuisme”.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Bung Karno pernah bilang kepada rakyat, bahwa bangsa kuli (nation of coolies) tidak boleh menimpa dan menjerat  rakyat negeri ini. Rakyat atau masyarakat negeri ini dimintanya menjadi kekuatan yang bisa memandirikan diri dengan menggali dan menikmati segala kekayaan negara sebagai wujud kalau sumberdaya bangsa ini untuk “sebesar-besarnya” kemakmuran rakyat, dan bukan kemakmuran perorangaan atau golongan.

Rakyat tidak boleh dikondisikan menempatkan diri dan diperlakukan oleh kekuatn elitis yang menjadi representasi negara sebagai bangsa kuli. Bangsa kuli hanyalah cermin dari sebuah negara yang rakyatnya hidup serba tertindas, tidak berdaya, banyak dihadapkan dengan ragam problem keprihatinan dan ketidakadilan, dan kehilangan harapan kemakmuran.

Segmen rakyat yang bekerjanya di ranah pekerjaan bejenis kasar” atau memperlakukan dirinya layaknya kuli tdak boleh diidentikkan sebagai kelompok sosial yang “dipantaskan” menempati strata “sudra”, meliankan tetap sebagai subyek sosial yang menjadi pemilik kedaulatan negara ini.

Keringat mereka yang  lebih banyak menetes dan terkuras untuk mengabdi dan bekerja demi negara adalah bukti kecintaannya pada pertiwi, meski apa yang diperolehnya sedikit atau jauh dari menyejahterakan.  Mereka tetap terus menjadi pengabdi untuk dan demi bumi pertiwi, tanpa memikirkan apakah mereka nantinya akan sampai ke ranah hidup sebagai borjuisme atau neoborjuisme.

Sayangnya, kekuatan elitis kita tidak benar-benar berusaha mencermati dan membahasakan diri dengan hati nuraninya, bahwa “kaum alit” yang sudah banyak mengabdi untuk negeri, sejatinya membutuhkan banyak dan seringnya tangan-tangan saktinya (kaum elitis) sebagai pemanggul amanat konstitusi guna melakukan perubahan-perubahan besar yang berpihak pada “wong cilik”.

Kita bisa membaca, bahwa di satu sisi, kekuatan elitis (negara) belum maksimal dalam memberikan perhatian yang memadai atau memanusiakan, sementara  di sisi lain, negara (mereka) terus menerus mencari celah-celah untuk mencari proyek-proyek eksklusif yang menguntungkan pribadi, istri, anak, dan para kroninya, meski semua ini harus ditempuhnya dengan menghalalkan segala macam cara.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Target menjadi “neoborjuisme” masih lebih dimenangkan atau dikedepankan dibandinkan menciptakan pembangunan beridealisasi keadilan sosial dalam realitas (bukan di atas kertas). Mereka belum benar-benar menyadari, bahwa “kaningratannya” sebagai abdi negara adalah tidak lepas dari cucuran keringat yang diberikan secara berkelanjutan oleh “wong cilik”.

Idealitasnya, di rezim sekarang ini, rakyat harus gencar diantarkan mencapai hidup sejahtera dan banyak menikmati kemakmuran, dan buknanya diakrabkan dan dilekatkan dengan berbagai bentuk kesulitan dan ketidakberdayaan dalam menjalani kehidupannya.

 

*)Penulis; Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (Unisma) dan penulis sejumlah buku hukum, etika, dan agama

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Adhitya Hendra

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES