Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Belajar Dari Pemenang Nobel

Kamis, 05 Maret 2020 - 13:29 | 59.30k
Anang Sulistyono, Doktor Ilmu Hukum, Dosen dan Ketua BKBH Universitas Islam Malang (UNISMA).
Anang Sulistyono, Doktor Ilmu Hukum, Dosen dan Ketua BKBH Universitas Islam Malang (UNISMA).
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Secara umum, mantan Presiden bukan hanya masih mempunyai massa besar, tetapi apa yang disampaikannya juga tetap bisa menjadi “konsumsi” publik yang menarik. Ia mempunyai modal informasi dan kekuatan relasional secara makro yang

bisa diandalkan untuk membangun dan menguatkan bangunan Indonesia, disamping sosoknya tetap mempunyai kekuatan politik yang diperhitungkan.

 Sebagai bahan evaluasi politik membangun demokrasi di neagara ini, kita bisa merujuk  pada saat seseorang masih menjabat sebagai Presiden. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) misaknya pernah melontarkan pernyataan yang mengundang kritik pakar. Salaah satu pernyataan menggelitiknya adalah jika dirinya sudah jadi mantan Presiden,  dia tidak akan mengganggu Presiden yang sedang menjabat.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Konstatasi mantan Presiden itu tentu saja menimbulkan banyak dan beragam pertanyaan atau penafsiran, apakah sang mantan selama menjabat sebagai presiden demikian sering “diganggu” oleh dari para mantan Presiden Inonesia? Kalau memang ada diantara yang mengganggunya, gangguan macam apakah itu yang bisa membuatnya gusar? Mengapa sampai perlu menempatkan kritik sebagai gangguan?

Jika dibaca dari sudut interpretasi makna gerakan, ternyata tidak terbukti sama sekali adanya gangguan dari mantan Presiden kepada Presiden,  maka yang bisa ditafsirkan sebagai gangguan pada Presiden itu adalah bentuk kiritik dari mantan presiden. Kalau kritik dari mantan presiden, yang ditujukan pada gaya kepemimpinan dan manajemen pemerintahan sang Presiden memang sesekali terdengar, baik dari Gus Dur (semasa masih hidup) maupun Megawati.

Hak masyarakat, terutama sosok yang sedang mendapatkan amanat rakyat untuk mengelola kekuasaan seperti Presiden Jokowi   untuk mendapatkan informasi yang obyektif, aktual, dan benar tidak akan sampai stagnasi, pasalnya ada banyak dan beragam informasi yang terus diperoleh dan dijadikan modal “berdakwah” strukturalistiknya.

Sean Bride, pemenang Hadiah Nobel Perdamaian ini pernah ditanya wartawan  tentang hak mendasar yang dimiliki manusia, lantas ia menjawab “hak untuk mendapatkan informasi” (right for information). Mengapa pemenang Nobel ini menjadikan hak mendapatkan informasi sebagai opsinya? Bukankah masih banyak hak-hak asasi manusia lainnya, seperti hak berekspresi, hak berorganisasi, hak berpolitik, hak menentukan pilihan dengan bebas, hak bebas dari ketakutan, dan lainnya?.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Rupanya, pemenang Nobel itu benar-benar bisa menangkap dan menerjemahkan urgensinya hak mendapatkan informasi, diantaranya bisa informasi yang bermuatan kritik bagi kehidupan dan keberlanjutan hidup manusia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. 

Tanpa informasi yang memadai, barangkali hak-hak manusia lainnya tidak akan banyak gunanya atau gagal ditegakkan dengan baik, benar, dan bertanggungjawab, karena dari informasi ini, banyak hal yang bersifat asasi atau fundamental yang bisa dimanfaatkan atau berdayakan.

Bukanlah menjadi sosok mantan presiden yang negarawan jika menjatuhkan opsi mendiamkan atau bahkan mengamini setiap bentuk penyalajgunaan kekuasaan atau model rezim yang membuka kran-kran terjadinya dan bersemainya korupsi di negeri ini.

Sebagai mantan presiden, tentulah pengalaman yang dimilikinya selama  menjabat  pemimpin (penguasa), dapat digunakan untuk memberikan penyehatan, pencerahan atau pencerdasan terhadap manajemen kekuasaan dari Presiden yang sedang berkuasa.

Di rezim sekarang ini misalnya, kultur kritik justru yang harus dikonstruksi dan bahkan dikembangkankan. Setiap warga negara wajib dididik atau didorong untuk menjadi warga negara yang suka bersuara, lantang berpendapat, atau tidak berhenti melontarkan ide-ide cerdas yang diorientasikan demi memperbaiki kinerja mesin-mesin rezim, mulai dari mesin utama hingga mesin kekuasaan yang paling bawah.

Umar bin Kbattab berhasil membangun rezim yang bebas kemiskinan atau sukses memartabatkan dan menyejahterakan rakyatnya, berkat atmosfir dialogis yang digalakkannya setiap saat.

Umar juga selalu terjun langsung ke tengah-tengah masyarakat yang mengkritiknya untuk membaca realitas dan memberikan solusi empiric, terbaik, dan tercepat. Umar misalnya langsung mengangkut dan mengangkat sendiri bahan pangan  untuk disalurkan pada warganya yang ditemukan sedang hidup dalam kemiskinan. Umar tidak sampai menghalang-halangi elemen warga yang menyuarakan kritiknya dengan pedas. Siapapun yang datang menyampaikan aspirasi, diterimanya dengan  nurani dan kearifannya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Itu cermin kepemimpinan yang layak diteladani. Jokowi atau siapapun pemimpin negeri yang jadi mesin-mesinnya Jokowi ini. Mereka yang sudah dipercaya rakyat ini tidak perlulah galau hanya gara-gara kritik atau gerakan-gerakan protes yang berpola mengajak membangun negeri ini, sekurang-kurangnya lebih baik galau akibat kesulitan memikirkan minimalitas kinerja daripada memproduk sensansi politik yang dominan memburu pencitraan diri sendiri dan partai.

*) Penulis: Anang Sulistyono, Doktor Ilmu Hukum, Dosen dan Ketua BKBH Universitas Islam Malang (UNISMA).

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES