Peristiwa Daerah

Pilkada Surabaya 2020, Machfud Arifin Harus Pilih Pendamping Milenial 

Sabtu, 29 Februari 2020 - 14:14 | 111.40k
Mantan Kapolda Jatim Machfud Arifin. (FOTO: Lely Yuana/Dok.TIMES Indonesia)
Mantan Kapolda Jatim Machfud Arifin. (FOTO: Lely Yuana/Dok.TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Usai memborong rekom dari enam partai, mantan Kapolda Jatim Machfud Arifin masih menyimpan nama bakal calon pendampingnya di Pilkada Surabaya 2020.

Ada dua syarat yang disampaikan Machfud Arifin (MA). Bukan sekedar mampu mengkatrol suara elektoral, calon pendamping Machfud juga tidak boleh nyrimpeti atau mengganggu saat bekerja. Hal tersebut ia ungkapkan beberapa kali dalam tiap agenda silaturahmi politik. Lantas, sosok seperti apakah yang pantas mengawal kemenangan Machfud Arifin? 

Direktur Utama Surabaya Survey Center (SSC) Mochtar W Oetomo kepada TIMES Indonesia menjelaskan, setidaknya ada tiga kriteria MA dalam memilih calon pendamping di kontestasi Pilwali Surabaya. 

"MA setidaknya juga harus memperhitungkan siapa yang akan menjadi kompetitornya nanti," kata Mochtar, Sabtu (29/2/2020). 

Pertama, kata Dosen Universitas Trunojoyo tersebut, bakal calon pendamping Machfud Arifin harus mampu mendulang perolehan suara. Artinya, memiliki basis suara yang berbeda dengan Machfud Arifin. Dengan kata lain, bisa mengambil ceruk suara calon PDI Perjuangan.

"Atau membentengi ceruk suara agar tidak bisa diambil oleh calon kompetitor yakni PDIP," jelasnya. 

Calon pendamping Machfud Arifin bisa diambil dari kalangan Nahdlatul Ulama atau kalangan partai pendukung bahkan gabungan dari keduanya. 

Edisi-Sabtu-29-Februari-2020-machfud-nyar.jpg

Kedua, kandidat harus diterima oleh partai koalisi dan tentu saja harus diterima oleh publik. Sosok yang bisa mewakili warna partai koalisi atau warna Surabaya dengan segenap karakternya. 

"Ketiga, calon pendamping Machfud Arifin harus memiliki kapasitas teknokratis yang memadai mengingat standart tinggi yang ditinggalkan oleh Risma dengan segenap keberhasilannya," ungkapnya. 

Sedangkan yang terakhir, Machfud Arifin harus mempertimbangkan komposisi usia atau gender. Mochtar menambahkan, wakil yang lebih muda atau perempuan akan lebih menambah warna baru.

"Iya mestinya MA berani ambil wakil millenials," tandasnya.

Seperti yang diungkapkan Mochtar, ada alasan kenapa Machfud Arifin harus mempertimbangkan sosok pendamping dari generasi muda. Apakah untuk menjaga hirarki kepemimpinan sehingga membutuhkan partner yang nurut alias pasif, Mochtar W Oetomo menganalisa. 

"Logika politiknya sebenarnya sederhana, namanya wakil ya mestinya harus sevisi dengan walikotanya," terang pakar komunikasi politik tersebut. 

Sehingga, kata-kata nurut dinilai kurang tepat, sebab cenderung bersifat pasif. Sementara kinerja pemerintahan modern makin kompleks, cepat dan dinamis.

Oleh karena itu memerlukan wakil yang aktif, kreatif dan inovatif. Sudah bukan zamannya lagi wakil bersifat pasif.

Walikota dan wakil seharusnya berada dalam kesatuan dwi tunggal. Bukan satu mengatur yang lain tapi saling melengkapi dan memperkuat guna mengatur serta mengelola kota bersama-sama. 

"Jadi menurut saya pilihan katanya yang kurang tepat. Karena "nurut" itu cenderung bersifat pasif. Barangkali bahasa yang lebih tepat bukan "nurut" tapi satu "vision". Aktif tapi tetap dalam koridor visi walikota untuk melengkapi dan memperkuat kinerja walikota," jelas Direktur Utama Surabaya Survey Center Mochtar W Oetomo ketika dimintai analisa terkait pendamping Machfud Arifin di Pilkada Surabaya 2020. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sofyan Saqi Futaki
Sumber : TIMES Surabaya

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES