Kopi TIMES

Hapus Jaminan Halal Demi Genjot Pendapatan Negara

Kamis, 27 Februari 2020 - 14:04 | 64.54k
Puji Rahayu, komunitas Penulis Peduli Umat.
Puji Rahayu, komunitas Penulis Peduli Umat.

TIMESINDONESIA, MALANG – Pemerintah memberlakukan regulasi sebagai tindak lanjut Undang-Undang Jaminan Produk Halal yang sudah disahkan tahun 2014 melalui sebuah peraturan pemerintah no. 31 tahun 2019 diberlakukan sejak 17 Oktober 2019 bahwa semua produk terutama makanan dan minuman wajib bersertifikasi halal. Yang sebelumnya banyak didapati produk bersertifikasi halal yang beredar di pasaran itu karena masih bersifat sukarela. Tapi sejak 17 Oktober 2019 sifatnya menjadi wajib untuk memiliki bersertifikasi halal.

Tentu saja kita sebagai konsumen sangat gembira kalau ada produk yang melalui  proses yang menjamin produk tersebut halal. Entah memakai standart yang mana untuk menilai kehalalan itu. Karena ada beberapa standart yang diberlakukan untuk menilai halal tidaknya sebuah produk. Tetapi pemberlakuan Undang-Undang Produk Halal ini direspon beragam oleh produsen makanan dan minuman. Sebagian mereka beranggapan bahwa memiliki sertifikasi halal itu merupakan nilai tambah karena akan menjaring konsumen muslim untuk percaya kepada produknya dan ini berpotensi meningkatkan penjualan. Tetapi sebagian yang lain beranggapan bahwa mewajibkan sertifikasi halal ini, adalah sesuatu yang memberatkan. Dan tentu saja sebagamai umumnya regulasi yang berlaku, maka publik juga sudah bisa menyimpulkan bahwa ada sertifikasi halal berarti juga ada harga yang harus dibayar. Ini juga berpengaruh kepada konsumen artinya, kalau produk itu bersertifikasi halal ada harga yang juga harus dibayarkan oleh konsumen. Berarti ada tambahan biaya yang dimasukkan kedalam biaya produksi.

Selain itu ada hal yang belakangan ini menjadi perbincangan para pengamat bahwa pemerintah akan memberlakukan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Salah satunya dengan mengenjot pemasukan melalui UMKM. Kemudian pemerintah berupaya untuk mempermudah beragam regulasi UMKM agar apa yang dikhawatirkan dari berlakunya peraturan pemerintah nomor 31 tahun 2019 tersebut, UMKM akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan sertifikasi halal yang telah diwajibkan. 

Dengan dipermudahnya regulasi UMKM, kita sebagai konsumen tentu khawatir. Apa yang dimaksud  oleh pemerintah tentang mempermudah? Apakah tidak diwajibkan bersertifikasi halal atau bagaimana? Dijelaskan di dalam RUU Omnibus Law bahwa sertifikasi halal itu nanti wajibnya pada tataran produsen bahan baku. Bukan pada tataran makanan jadi. Sebagaimana pernyataan Menteri Koperasi dan UMKM Teten Masduki dalam wawancara khusus dengan kompas.com

“Misalnya pisang goreng harus bersertifikasi halal. Bahan pisang goreng kan jelas, ada pisang, minyak goreng, terigu, susu, gula. Nah, bisa mungkin yang disertifikasi nanti nanti bukan pisang gorengnya, tapi bahan bakunya,”ujar Teten. 

Jadi ini  bukan jaminan halal produk yang dikonsumsi oleh masyarakat. Kenapa? Karena saat  ini beragam kontaminasi dan produk-produk yang tidak halal  bisa saja masuk dan  menjadi faktor yang mempengaruhi hasil jadi sebuah produk makanan atau minuman diluar dari bahan baku. Karena itu wajar kalau publik menyoal RUU Omnibus Law  terkait kemudahan untuk jaminan produk halal yang kemudian harus disertifikasi hanya bahan baku. Jangan-jangan di hasil akhir produk makanan atau minuman tidak ada lagi jaminan kehalalannya.

Inilah kesulitan yang saat ini  ditemukan di dalam sistem kapitalis sekuler. Para pelaku usaha mau mensertifikasikan halal produknya bukan karena landasan ketaqwaan kepada Allah tetapi karena desakan publik semata. Dan ini tidak sejalan dengan misi Negara Kapitalis Sekuler sehingga rawan dimanipulasi demi tercapainya kepentingan materialistik. Karena sistem ini lebih mengutamakan kebijakan-kebijakan yang mendatangkan keuntungan dan pendapatan bukan kebijakan yang memberi kemaslahatan di tengah-tengah masyarakat. Akhirnya para pelaku usaha pun mengikuti kebijakan-kebijakan pemerintah juga untuk keuntungan mereka. Yakni untuk meningkatkan kepercayaan konsumen kepada produknya dan dalam rangka mendongkrak penjualan. Padahal bukankan mereka orang-orang yang yakin pada kewajiban untuk mengkonsumsi makanan atau minuman yang halal lagi thoyib.

وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ

Artinya : "Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya."(TQS Al-Maidah ayat 88)

Sedangkan di pasaran banyak produk-produk yang beredar tidak semua halal. Yang halal dan yang haram bercampur sedemikian rupa. Maka kalau tidak ada pemastian sebuah produk itu halal bukan tidak mungkin produk itu terkontaminasi oleh yang diharamkan. Ini adalah kekhawatiran publik terhadap tidak adanya jaminan produk halal yang diwajibkan untuk semua makanan dan minuman yang beredar. Inilah kegagalan sistem Kapitalis Sekuler dalam melindungi hak publik untuk memberikan jaminan halal.

Islam sebagai sebuah sistem yang sempurna memiliki cara yang sangat sederhana untuk memastikan produk-produk halal yang dikonsumsi masyarakat muslim. Bahwa di dalam Islam hukum asal suatu benda termasuk makanan dan minuman adalah boleh atau halal sampai ada dalil yang mengharamkannya. Maka semestinya makanan yang halal itu jelas keberadaannya. Tidak ada makanan atau minuman yang dikemas seolah-olah produk halal. Karena di dalam sistem Ilahi ini semua orang dituntut untuk melakukan amalan yang didasari ketaatan kepada Allah Sang Pengatur. Dari sini, maka tidak banyak produk-produk haram dipasaran karena masyarakat hanya mengkonsumsi hal-hal yang dihalalkan.

Selain itu negara memastikan secara langsung produk yang beredar di tengah masyarakat muslim pastinya adalah produk-produk halal. Tidak dibiarkan bagi non muslim untuk bebas mengkonsumsi makanan khas agama mereka di tempat-tempat umum yang diharamkan oleh Islam misalnya babi. Makanan tersebut hanya boleh dikonsumsi dikalangan kaum mereka. Amirul mu’minin Umar bin Khatab pernah memerintahkan untuk membeli babi-babi dari suatu kaum non Islam untuk dimusnahkan. Supaya jumlah babi tidak terlalu banyak agar tidak mengkontaminasi produk-produk atau makanan yang di konsumsi masyarakat muslim.

Islam juga memberikan jaminan makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat bukan hanya makanan yang halal dari aspek zatnya tetapi juga makanan yang halal sekaligus thoyib dari aspek higienisnya, aspek standart kualitasnya, layak tidaknya untuk dikonsumsi dan lain sebagainya. Hal tersebut sebagai tugas dari qadhi hisbah yang mereka senantiasa berkeliling di pasar-pasar, ketempat-tempat masyarakat berkumpul untuk memastikan bahwa makanan yang mereka konsumsi adalah makanan yang layak dan aman dimakan, tidak ada makanan busuk maupun terkontaminasi racun, apalagi makanan-makanan yang memiliki kandungan yang diharamkan oleh Allah. Inilah sistem Islam, yang merupakan sistem terbaik sepanjang masa untuk umat manusia.

***

*) Oleh : Puji Rahayu, komunitas Penulis Peduli Umat.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Irfan Anshori
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES