Kopi TIMES

Menggugat Data BPS Mengenai Kemiskinan di Jatim

Rabu, 26 Februari 2020 - 14:14 | 72.19k
Dekki Umamur Ra’is, Dosen Administrasi Publik, Fisip, Universitas Tribhuana Tunggadewi Malang dan Peneliti Pusat Studi Desa Indonesia (PUSDI).
Dekki Umamur Ra’is, Dosen Administrasi Publik, Fisip, Universitas Tribhuana Tunggadewi Malang dan Peneliti Pusat Studi Desa Indonesia (PUSDI).

TIMESINDONESIA, MALANG – Terbitnya laporan Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai daerah tertinggal (kemiskinan) di Jawa Timur patut diberikan perhatian khusus. Terlebih lagi penelitian tersebut masih menggunakan pengukuran lama dengan membandingkan pendapatan dan konsumsi masyarakat masing-masing daerah.

Perbandingan yang hanya didasarkan kepada satu muara fenomena ekonomi tersebut sudah saatnya dilakukan revisi mengenai pengukurannya. 
Dari data hasil BPS tersebut, sejumlah daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam luar biasa justru ditempatkan sebagai daerah tertinggal. Khusus pulau Madura, empat kabupaten masuk dalam kategori ini. Anehnya, kategori dan alat ukur tidak memasukkan katentuan potensi alam dan peluang kerja yang bisa diciptakan oleh kemampuan suatu daerah tersebut. Statistika ilmiah perlu dibuat lebih luas variabel penelitiannya, ada banyak hal yang dirugikan secara sosiologis dan antropologis bagi suatu daerah yang dicantumkan dalam daerah tertinggal ini.

Aspek sosiologis, bagi masyarakat kabupaten akan kehilangan kepercayaann mengenai masa depan di tempat tinggalnya. Hal ini, akan ditambah dengan beban pasca hasil survei tidak ada bentuk sosialisasi mekanisme peningkatan mutu ekonomi masyarakat. Bagi daerah yang mata pencarian masyarakatnya bergantung dengan perubahan musim, ketentuan angka konsumsi dan peningkatan ekonomi hanya perlu kejelasan harga, pasar dan peluag bersaing. 

Aspek antropologis, akan ada dorongan itu memproyeksikan pembangunan dari pembacaan sederhana data survei ini. Elit politk atau pemerintahan daerah akan cepat-cepat mengambil tindakan. Masalahnya, sekali lagi solusi tersebut bisa saja tidak diambil dari peran pengawasan publik. Dalam padangan politik pragmatis, hasil survei ini akan menjadi dalih untuk menyusun skema pembangunan di berbagai daerah tetapi tidak melewati tahap evaluasi dan serap pendapat. Ditambah lagi, adanya keperluan untuk mengamankan porsi politik tahunan atau bagi lawa politik tertentu, data kemiskinan selalu laris dijual dari pada solusi yang tepat.

Peristiwa Pemilihan Gubenur Jatim yang lalu, isu kemiskinan juga laris di debat Pilgub Jawa Timur. Adu data antara Emil Dardak dan Puti Guntur Soekarnoputri menjadi perbicangan panas usai debat. Puti menyebut, dari data BPS 2016, tingkat kemiskinan di Kabupaten Trenggalek naik 0,17 persen. Emil pun tak mau kalah dengan membeberkan data terbaru. Isu kemiskinan dibungkus sedemikian rupa untuk mencari titik lemah dari satu pasangan dengan pasangan yang lain. Isu kemiskinan ini juga masih dianggap efektif mengenai masyarakat karena langsung dapat dirasakan masyarakat. 

Menilik Alat Ukur

BPS rutin menerbitkan laporan kemiskinan, biasanya dua kali dalam satu tahun. Untuk menghitungnya, BPS menjelaskan bahwa penduduk miskin adalah penduduk dengan kategori pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan. Angka rata-rata Garis Kemiskinan Maret 2018 sebesar Rp401.220 per kapita per bulan. Ukuran biaya konsumsi dn non konsumsi dalam konteks masyakatat Indonesia nampaknya skema ukuran indeks daerah tertinggal keran miskin memang tidak lagi bisa diterima.

Jikalau nilai nyata (real value) 2 dolar AS per hari bagi penduduk AS dan Eropa Barat dianggap linear dengan nilai yang sama bagi rakyat Indonesia, Malaysia, Zaire, Sudan, bahkan Afganistan. Padahal faktanya tidak demikian. Sebagai contoh, di Indonesia dengan uang Rp 19.000 ribu (setara 2 dolar AS) dapat digunakan untuk membeli beras sebanyak empat hingga lima kilogram. Namun, dengan nilai yang sama uang tersebut hanya bisa dibelikan beras 0,7 kg di Korea Selatan.

Begitu juga penduduk Thailand. Bisa mendapatkan lima buah produk dengan kualitas dan jenis yang sama hanya dengan harga 850 bath. Namun, untuk mendapatkan barang dengan jumlah dan kualitas yang sama di AS harganya bisa mencapai 105,75 dolar AS setara 2.664,9 bath atau 200 persen dari di Thailand. Selain itu, Bank Dunia tidak memperhatikan budaya yang berkembang di Indonesia yang penuh kekeluargaan dan gotong royong dalam menghitung tingkat kemiskinan. Kultur di Indonesia yang penuh kekeluargaan dan gotong royong memunculkan "shadow income" atau "pendapatan bayangan" bagi sebagian masyarakat.

Pada kasus daerah-daerah di Jawa Timur, masyarakat bahkan bisa menyelesaikan banyak hambatan hidup bahkan tidak dengan ukuran material. Namun bukan berarti mempertahankan budaya apada adanya. Keunggulan tambak Ikan di Tuban, potensi ekowisata di Bondowoso, pariwisata laut Sumenep, dan daerah-daerah yang sudah terlanjur masuk dalam daerah miskin, memicu kendala yang nanti akan berakhir dengan “steriotype manusianya”. Aspek sosial dari sebuah survei berlabel “plat merah” tidak cukup dengan melihat data dari rumus lama. Ada banyak aspek yang sulit dimasukkan karena tidak distandarisasikan kedalam mekanisme.

Ada  tiga hal menurut penulis yang perlu dirumuskan menindaklanjuti hasil survei ini. Pertama, ada indikator baru yang terus diperbaharuhi sebagai apa yang terjadi di lapangan. Kedua, hasil survei harus diawasi untuk tidak digunakan sebagai dalih atau proyek politis yang lebih mengarah kepada KKN terutama bagi lembaga pemerintahaan daerah. Ketiga, BPS harus mendorong melibatkan keikutsertaan masyarakat dalam respon setiap data yang berkembang setiap tahunnya agar adanya trust dan akuntabilitas publik yang baik. 

Demi lancarnya itu semua, harus ada fokus khusus pada responden. Perilaku responden akan berbeda-beda, kemungkina itu ada sehingga potensi bias dari hasil surveinya akan besar. Pada kondisi ini, bukan saja soal statistik saja yang mungkin harus dikritisi, tapi juga basis data itu bersumber: Sejauh mana masing-masing dari kita mampu memberikan data yang lebih “akuntabel” saat identifikasi statistik itu dilakukan dari semua golongan ekonomi apapun.

 

*) Penulis: Dekki Umamur Ra’is, Dosen Administrasi Publik, Fisip, Universitas Tribhuana Tunggadewi Malang dan Peneliti Pusat Studi Desa Indonesia (PUSDI).

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES