Kopi TIMES

Hujan Ekstrim dan Mitigasi Iklim di Pekalongan

Selasa, 25 Februari 2020 - 14:57 | 139.37k
Dr. Yopi Ilhamsyah, Peneliti Post-Doktoral Klimatologi Terapan Institut Pertanian Bogor dan Dosen Meteorologi Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.
Dr. Yopi Ilhamsyah, Peneliti Post-Doktoral Klimatologi Terapan Institut Pertanian Bogor dan Dosen Meteorologi Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.

TIMESINDONESIA, BOGORPekalongan, Jawa Tengah telah mengalami beberapa kali banjir dalam dua bulan terakhir, tercatat pada 20 dan 25 Januari serta 19-20 Februari. Dilansir dari laman web Wikipedia bersumber dari Weatherbase, secara klimatologis musim hujan di Pekalongan berlangsung dari Desember hingga Maret dengan jumlah curah hujan masing-masing bernilai 320, 633, 415 dan 327 milimeter (mm). Pekalongan memiliki pola iklim monsunal dengan musim hujan dan kemarau yang tegas. Karakteristik monsunal dikenali lewat tanda menyerupai huruf V jika curah hujan bulanan kita plot dalam bentuk grafik. Musim kemarau berlangsung dari Juni hingga September dengan curah hujan rata-rata berkisar 81 mm. Bila kita amati, puncak musim hujan (Januari) sudah lewat. Namun pada Februari, Pekalongan masih kebanjiran. Mengapa demikian?

Secara umum, terjadinya musim penghujan pada bulan-bulan tersebut karena pengaruh  Inter-Tropical Convergence Zone atau Daerah Konvergensi Antar-Tropis (DKAT). DKAT ini dipengaruhi oleh posisi matahari. Saat ini matahari berada di belahan Bumi selatan ditandai dengan musim panas di Australia. Sementara DKAT sendiri berada pada 23,5 derajat Lintang Selatan di lepas pantai selatan Jawa. 

Terbentuknya DKAT

Pancaran sinar matahari mengakibatkan udara menjadi labil dan naik ke angkasa membentuk awan melalui proses yang disebut kondensasi, menciptakan daerah bertekanan rendah. Ini merupakan tahap awal pembentukan DKAT.
 
Belahan Bumi utara sedang mengalami musim dingin sehingga tercipta daerah bertekanan tinggi. Akibatnya, udara mengalir ke DKAT di selatan. Sementara di belahan Bumi selatan walaupun Australia sedang mengalami musim panas, tekanan masih lebih rendah di DKAT, konsekuensinya udara bergerak menuju DKAT.

Pertemuan udara dari utara dan selatan ini dikenal dengan sebutan konvergensi. Karena bertemu di wilayah tropis tepatnya di perairan selatan Jawa maka selanjutnya disebut DKAT. Kondisi ini berlangsung hingga Maret ketika matahari mulai bergerak ke utara. 

Karena menjadi lokasi pertemuan udara dari utara dan selatan, maka awan-awan yang telah terbentuk sebelumnya bergabung dan terdorong ke atas dengan cepat membentuk awan Cumulonimbus (CB) yang selanjutnya menurunkan hujan di sekitar DKAT. Inilah mengapa secara umum Pulau Jawa mengalami musim hujan pada Desember hingga Maret.

Karena alih fungsi lahan berlebihan di daratan, maka alam menjadi tidak stabil dan terjadi perubahan iklim ditandai dengan kenaikan suhu. Pantai utara (Pantura) Jawa yang padat dan telah mengalami alih fungsi lahan besar-besaran berdampak peningkatan suhu yang selanjutnya menjadi magnet guna menarik awan CB ke daerah ini. Inilah mengapa banjir sering terjadi di Pantura dua bulan belakangan ini termasuk Pekalongan. Penelitian kami menunjukkan telah terjadi kenaikan suhu sebesar 0,5 derajat Celcius dengan peningkatan curah hujan sebesar 17 persen dari normal di Pekalongan. Bila dibandingkan dengan kenaikan suhu udara sebesar 0,7 derajat untuk seluruh wilayah Indonesia, tentu angka 0,5 menjadi masif untuk wilayah seluas Pekalongan. 

Suhu yang lebih panas menciptakan daerah bertekanan lebih rendah, akibatnya DKAT disertai awan CB masif dan tinggi yang tadinya terbentuk di atas laut selatan tertarik menuju pusat-pusat tekanan rendah di daratan dan hujan berintensitas sangat lebat (lebih dari 100 mm) turun. Jika tidak diikuti tata ruang tangguh iklim, bisa dipastikan menimbulkan banjir. 

Jika luas wilayah Pekalongan sebesar 45,25 km persegi, maka curah hujan pada Desember hingga Maret seperti tersebut di atas akan menghasilkan volume air masing-masing sebesar 14, 29, 19, 15 milyar liter. Bayangkan jika terjadi hujan ekstrim dengan akumulasi hujan di atas normal jatuh di dataran rendah seperti Pekalongan. (*)

Mitigasi Perubahan Iklim

Upaya yang dapat dilakukan guna menurunkan suhu dengan cepat sekaligus meminimalisir dampak perubahan iklim adalah dengan mereboisasi kawasan Pekalongan yang memang kota pesisir dengan tanaman bakau. Hutan bakau mampu menyerap karbon lima kali lebih besar dibanding hutan alam. Banyaknya karbon yang terserap dari udara membuat suhu udara turun dan iklim serta alam menjadi stabil dan bersahabat. Hutan bakau juga berfungsi sebagai tanggul alami guna mengantisipasi banjir rob yang kerap melanda Pekalongan.

Namun pada kenyataannya luas hutan bakau ini telah sangat berkurang diakibatkan oleh konversi penggunaan lahan menjadi areal pertambakan serta pemukiman atau juga melalui pengambilan kayu bakau secara berlebihan. Oleh karenanya, penulis mengusulkan untuk memaksimalkan kembali hutan bakau yang tersisa, kemudian mengusulkan penanaman pohon bakau di sekitar areal pertambakan dan di sekitar daerah aliran sungai di muara dan sepanjang pantai. 

Mengingat bakau merupakan vegetasi yang sulit untuk direhabilitasi maka rehabilitasi bakau ini memerlukan teknik tertentu terkait dengan kondisi lingkungan setempat seperti substrat tanah, kondisi pasang surut, termasuk pemilihan jenis bibit bakau yang sesuai. 

Kalendar tanam bakau

Di samping itu, waktu tanam juga menjadi fokus perhatian. Waktu tanam yang tepat untuk vegetasi bakau ini adalah pada musim pancaroba. Karena pada musim ini, curah hujan yang menjadi masukan air tawar tercukupi di daerah payau tempat tumbuhnya bakau. Pada musim pancaroba curah hujan rata-rata di Pekalongan berkisar 170 mm. Kondisi iklim yang tidak terlalu kering menjadikan air laut juga memiliki kadar garam yang cukup untuk menumbuhkan tanaman bakau.   

Pemilihan waktu tanam yang tepat menjadi penentu kelangsungan pertumbuhan vegetasi bakau sekaligus menghindari penanaman bakau asal tanam tanpa basis ilmiah yang memadai terutama pengetahuan iklim yang hanya mengedepankan pencitraan guna meraih atensi publik. 

Mengingat pentingnya peran hutan bakau sebagai penghasil bahan organik tinggi sekaligus penghasil oksigen atau paru-paru kota Pekalongan disamping juga sebagai habitat berbagai jenis biota laut, pelindung pantai dari abrasi, naiknya muka laut karena perubahan iklim hingga tsunami, serta penahan intrusi air laut ke darat. Maka untuk memaksimalkan penanaman vegetasi bakau, penulis mengusulkan suatu sistem kalender tanam bakau berbasis iklim di Pekalongan. 

Penentuan awal musim pancaroba yaitu April pada pancaroba I dan Oktober pada pancaroba II menjadi perhatian khusus dari sistem kalender tanam bakau ini. Tujuannya adalah menciptakan Pekalongan sebagai kota pesisir bercorak kota ekologis tangguh iklim (climate resilience). Dengan demikian kelangsungan kota Pekalongan akan dapat terwujud. (*)

***

*) Oleh Dr. Yopi Ilhamsyah, Peneliti Post-Doktoral Klimatologi Terapan Institut Pertanian Bogor dan Dosen Meteorologi Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Irfan Anshori
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES