Kopi TIMES Universitas Islam Malang

RUU “Permata Hati"

Senin, 24 Februari 2020 - 11:27 | 82.46k
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan pengurus AP-HTN/HAN.
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan pengurus AP-HTN/HAN.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Konon salah satu filosofis dibentuk atau dihadirkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga adalah memperkuat konstruksi keluarga supaya anak-anak (permata hati) makin mendapatkan perlindungan yang lebih baik (memadai) di masa-masa mendatang. Persoalannya akan mampukah RUU  Ketahanan Keluarga ini menjawab persoalan sebagaimana yang diidealisasikan oleh para pembentuknya?

RUU itu bisa penting atau tidak penting, pasalnya jika nanti sudah menjadi UU, ditentukan oleh kemampuan setiap pihak yang mendapatkan amanat mengimplementasikannya, sehingga ketika ini difokuskan untuk mengawal “permata hati”, tinggal bagaimana dalam realitasnya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI unisma.ac.id

Dalam UU Narkotika misalnya, negara sudah menggantinya berkali-kali, namun dalam faktanya, UU ini seperti instrumen yang “loyo” saat dihadapkan dengan sindikasi “zat laknat” yang mengujinya. Misalnya yang terbaca dalam fenomena, “permata hati” yang terjerumus atau dijerumuskan jadi korban para bandar, produsen, atau bahkan distributor.

Jika sekarang lagi popular, bahwa mereka dijadikan distributor, maka oleh para sindikat, mereka identik diposisikan sebagai bagian dari jalur target “berbisnis” yang menguntungkan. Mereka dikorbankan pada suatu praktik kotor yang barangkali tidak dipahami kalu yang dilakukannya bisa mengantarkannya ke hukuman yang memberatkan, di antaranya hukuman mati.

Barangkali mereka sekedar ingin mendapatkan beberapa ribu rupiah dan kesenangan sesuai irama gaya hidup supaya dapat identitas bisa menjadi pengguna zat-zat adiktif yang disetarakan dengan status modernitas. Mereka nekad menghadapi ajal demi kepentingan ini.  Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional (BNN) saat ini tidak kurang 4 juta orang pengguna narkoba di Indonesia. Lebih dari 20% penyalahguna adalah pelajar dan mahasiswa.

Data tersebut baru jumlah kasus yang terdeteksi. Kalau dikalkulasi dengan pendekatan teori gunung es, maka jumlah itu masihlah yang tampak di permukaan, sementara yang riil bisa berkali-kali lipat jumlahnya. Ini mengisyaratkan, jika jumlahnya sampai berlibpat-lipat, berarti di Indonesia ini sudah lebih dari 10 juta orang yang terseret jadi penyalahguna narkoba.

Anak-anak Indonesia, apalagi yang masih berusia belasan tahun, sebaiknya tidaklah digunakan norma yuridis yang represip. Mereka wajib diberikan kesempatan untuk mendisain ulang dirinya, sehingga model penerapan hukum  yang berbasis humanitas atau memartabatkannya sebagai “manusia” dapat berlaku untuknya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI unisma.ac.id

Hingga kini, jumlah pengguna narkotika yang direhabilitasi baru sekitar 20 ribu orang dari 4 juta pengguna di Indonesia. BNN dengan empat rumah sakit hanya mampu merehabilitasi 2.000 orang, sedangkan swasta merehabilitasi 16.000 orang.

Ironis, dengan realitas itu permata  hati kita yang bisa diselamatkan hanya sedikit sekali. Kita faktanya tidak banyak memiliki fasilitas yang memadai untuk kepentingan anak-anak negeri.  Kita lebih tergiur mengurus hal sekunder atau lebih sering mengikuti iraama kepentingan “eksklusif” mengejar politik hukumnya dibandingkan memikirkan gerakan menyelamatkan atau melindungiya.

Permata hati kita bisa sampai terjerumus dalam lingkaran setan penyalahgunaan narkoba bukan semata salahnya, namun akar penyebab fundamentalnya adalah kesalahan negara dan keluarga, sehingga mereka wajib dipikirkan secara serius masa depannya.

Kita sudah paham, berapapun banyaknya terpidana mati dalam kasus narkoba dieksekusi mati oleh regu tembak, jika lobang-lobang menganga yang memberikan peluang berdirinya pabrik narkoba dan jalur perdagangan inernasionalnya tidak bisa diatasi (diputus), maka permata hati kita akan terus menerus dijadikan sebagai target utmanya, khususnya untuk memuluskan jalan distribusi narkotika sampai bis jadi “konsumsi” normal di lingkungan keluarga.

Ketika mereka sudah terjebak jadi distributor, identik apa yang diperbuatnya adalah tidak semata memperluas dan bahkan mengembangkan gaya hidup hedonisasi di kalangan teman-temannya, tetapi juga secara tidak langsung mendisain dirinya sendiri sebagai mesin pembunuh yang mengerikan.

Negara tidak boleh berperan sebatas aktif menembak mati terpidana narkotika, tetapi juga wajib bertindak sangat keras ketika banyak elemennya terjerumus jadi bagian dari pebisnis narkoba, disamping menggalakkan pendidikan empirik tentang perkembangan keragaman narkoba di dunia di lingkungan keluarga, khususnya zat-zatnya yang semakin kuat dalam menghabisi para generasi muda.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI unisma.ac.id

Senyampang kita belum benar-benar mengalami krisis regenerasi berkualitas unggul, saatnya negara bergerak cepat dan sangat militan ke seluruh lorong-lorong atau ”bungker-bungker” untuk membabat berbagai penyakit perilaku yang membuat para bandar, produsen, atau distributor kakap makin berani mengeksploitasi mereka (anak-anak) menjadi distributor yang sebelumnya aktif  mengonsumsi di lingkungan pergaulannya.

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan pengurus AP-HTN/HAN.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES