Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Menguak Tabir Pemilihan Wagub DKI Jakarta

Senin, 24 Februari 2020 - 08:15 | 79.14k
Ahmad Siboy, Wakil Dekan III FH Unisma dan Penulis Buku Kontruksi Hukum Pilkada.
Ahmad Siboy, Wakil Dekan III FH Unisma dan Penulis Buku Kontruksi Hukum Pilkada.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Pengisian posisi wakil Gubernur DKI Jakarta pasca ditinggal Sandiaga Salahudin Uno belum selesai. Proses pengisian wakil Gubernur DKI Jakarta terus berada dalam tensi politik dan tarik menarik kepentingan yang cukup kuat.

Molornya pengisian jabatan wakil Gubernur dan tingginya tensi politik dipicu oleh relasi partai pendukung pasangan Anies-Sandi dalam Pilgub DKI tahun 2017 yang tidak sepakat terhadap sosok yang akan dijadikan sebagai pengganti Salahuddin Uno.

Berdsarkan pada aturan, apabila seorang wakil Gubernur mengundurkan diri dalam masa jabatannya, maka penggantinya dipilih dari dua nama yang diajukan oleh Gubernur berdasarkan partai politik pengusung saat Pilkada.

Pasal 176 ayat (1) dan ayat (2) UU 10/2016 tentang Pilkada menyatakan bahwa dalam hal wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan, pengisian wakil Gubernur, Wakil bupati, wakil Wali Kota dilakukan melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota berdasarkan usulan dari Parpol pengusung.

Ayat (2) menyatakan bahwa Parpol atau gabungan parpol pengusung mengusulkan dua orang calon wakil Gubernur kepada DPRD melalui Gubernur untuk dipilih dalam rapat paripurna. 

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Apabila mengacu pada rumus dari pasal tersebut maka wakil Gubenur DKI harus diajukan oleh Anies Baswedan kepada DPRD Provinsi DKI untuk dipilih. Nama yang diajukan oleh Anies haruslah berdasarkan usulan dari PKS dan Gerindra.

Calon tersebut harus berasal dari Gerindra dan PKS karena saat maju Pilkada tahun 2017, pasangan Anies-Sandi diusung oleh kedua partai tersebut.

Seharusnya, apabila melihat asal Partai dari Sandiaga maka yang berhak atas kursi tersebut adalah Gerindra mengingat Sandiaga merupakan kader partai Gerindra.

Namun, konon terdapat deal antara PKS dan Gerindra dalam hal pencapresan tahun 2019. PKS rela memberikan dukungan kepada pasangan Prabowo-Sandi (yang sama-sama merupakan kader Gerindra) asal Sandiaga mundur dari jabatan wakil Gubernur DKI dan menyerahkan kursi tersebut kepada PKS.

Namun, deal politik tersebut tampaknya tidak dipatuhi secara utuh oleh salah satu pihak. Gerindra tampaknya tidak ingin kursi wakil Gubernur jatuh ke tangan PKS.

Hal ini bisa terlihat dari berbagai manuver politik yang dilakukan oleh Gerindra untuk “menjegal” kader PKS menduduki kursi wakil Gubernur DKI. Dua kader PKS yang resmi diajukan yakni Ahmad Syaikhu dan Agung Yulianto kandas di DPRD.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Dinamika politik diinternal partai pendukung Anies-Sandi terus bergulir, manuver politik dan lobi tingkat elit terus menggelinding. Salin intrik dan “saling-saling yang lain” mewarnai ruang publik.

Proses pencarian wakil Gubernur DKI seakan benar-benar lepas dari subtansi pengisian jabatan wakil Gubernur itu sendiri. Proses politik lebih tajam tentang bagaimana menemukan titik kompromi antara Gerindra dan PKS.

Bagi Gerindra dan PKS, posisi wagub DKI merupakan posisi yang sangat seksi. Seksi karena DKI merupakan ibu kota sehingga siapa yang menduduki jabatan strategis di DKI akan selalu menjadi sorotan. Hal ini merupakan suatu kondisi yang sangat dibutuhkan oleh setiap Parpol dalam pencitraan.

Keberhasilan menguasai panggung politik Ibu Kota dapat dijadikan sebagai landasan pacu untuk meraih panggung politik yang lebih luas terutama Pilpres.

Jalan tengah atas ambisi dua Parpol tersebut akhirnya jatuh pada kesepakatan untuk sama-sama mengajukan satu nama dari masing-masing Parpol untuk diserahkan kepada DPRD DKI melalui Anies Baswedan. Gerindra mengajukan  Ahmad Riza Patria dan PKS mengajukan Nurmansyah.

Ahmad Riza Patria akan bertarung memprebutkan suara dari seluruh anggota DPRD DKI Jakarta. Gerindra sendiri memiliki modal 19 kursi dan PKS 16 kursi.

Kedua partai ini harus berhasil melobi partai-partai lain sepeti PDI-P (25 Kursi), PSI (8 Kursi), Demokrat (10 Kursi), PAN (9 Kursi), NasDem (7 kursi), Golkar (6 kursi), PKB (5 kursi), dan PPP (1 kursi).

Apabila melihat dari komposisi kursi DPRD Jakarta, maka peluang dari Ahmad Riza Patria dengan Nurmasnyah sama-sama kuat. Kemenangan keduanya hanya dapat ditentukan oleh keberhasilan dari dua belah pihak dalam melakukan lobi-lobi politik. Siapa yang lebih gencar dan menjanjikan maka ialah yang akan memenangi perebutan kursi DKI 2.   

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Dinamika perebutan kursi wakil Gubernur DKI, setidaknya membuka beberapa tabir. Pertama, dalam politik tidak mengenal istilah komitmen untuk melaksanakan sebuah perjanjian.

Artinya, apabila dalam politik mengenal komitmen untuk benar-benar melaksanakan kesepakatan maka komitmen Gerindra terhadap PKS terkait posisi wakil Gubernur DKI tidak akan diprebutkan antara kader Gerindra dan PKS. Disini tampak sekali bagaimana spirit koalisi pada saat mengusung pasangan Anies- Sandi tidak tampak atau luntur. Gerindra dan PKS terlibat perang besar dalam kesunyian.

Diakui atau tidak. pertarungan Ahmad Riza Patria dan Nurmansyah merupakan pertarungan sengit dua partai dalam satu koalisi dalam Pilkada 2017.

Padahal apabila disadari, pertarungan antara Gerindra dan PKS tidak perlu terjadi karena koalisi mereka belum berakhir mengingat mereka mendukung pasangan Cagub-cawagub untuk satu periode yakni dari tahun 2017-2022. Kondisi ini jelas menampakkan bahwa koalisi tersebut retak sebelum waktunya. Ibarat mabuk sebelum minum.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kedua, proses penentuan wakil Gubernur tidak didasarkan kepada chemistri dengan Anies Baswedan selaku Gubernur. Artinya, calon Wakil Gubernur tidak didasarkan kepada sosok yang memiliki keserasian pola pikir dan pola kerja dengan Anies Baswedan padahal kecocokan antara Anies Baswedan dengan calon wakilnya sangat dibutuhkan.

Sebab, dengan Anieslah sang wakil Gubernur akan bekerjasama bukan dengan PKS atau Gerindra. Apabila orang yang dipilih tidak memiliki kecocokan dengan Anies maka kehadiran sosok wakil Gubernur bagi Anies Baswedan bukan malah “ngerewangi” (membantu) melainkan malah “ngerecoki”(menyulitkan).

Tidak menutup kemungkinan, figur wakil Gubernur yang terpilih justru akan menimbulkan pola kepemipinan “pecah kongsi” antara kepala daerah dengan wakilnya. Pecah kongsi antara Gubenur DKI Jakarta Fauzi Bowo dengan Wakilnya Prijanto seharusnya dijadikan sebagai referensi dalam memilih sosok yang akan mendampingi Anies Baswedan.

Ketiga, penentuan sosok wakil Gubernur DKI Jakarta lebih didasarkan pada selera dari para elit Gerindra dan PKS bukan didasarkan kepada kebutuhan masyarakat DKI.  Seharusnya, kebutuhan masyarakat DKI inilah yang harus juga dijadikan parameter siapa yang akan diajukan menjadi Gubernur DKI Jakarta.

Dalam hal ini, PKS dan Gerindra tidak boleh berdalih bahwa penunjukkan calon wakil Gubernur tidak bisa dilakukan melalui pemilihan langsung sehingga penunjukkan wakil Gubernur berdasarkan selera partai pendukung.

Logika ini tentu tidak dapat dibenarkan karena di era ilmiah seperti sekarang maka terdapat cara akurat untuk mengukur siapa yang dikehendaki rakyat untuk menjadi wakil Gubenur DKI Jakarta tanpa melalui pemilihan. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah melalui mekanisme survey.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES