Kopi TIMES

Gubernur Serasa Presiden?

Sabtu, 22 Februari 2020 - 06:13 | 151.60k
Ahmad Siboy (Grafis: TIMES Indonesia)
Ahmad Siboy (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, MALANG – Bahlil Lahadalia selaku Kepala Badan Kordinasi Penanaman Modal menyampaikan keluhannya tentang perilaku kepala daerah yang belum seutuhnya menjalakankan instrukri Presiden nomor 7 tahun 2019 tentang Percepatan Kemudahan Berusaha.

Menurut Bahlil, terdapat kepala daerah yang seakan-akan berlaga menjadi Presiden. Berlaga menjadi Presiden karena tidak mau sepenuh hati mematuhi inpres Presiden. Perilaku kepala daerah ini menurut Bahlil seakan-akan menjadikan suatu Provinsi bukan lagi bagian dari NKRI yang sedang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI UNISMA.AC.ID

Apa yang dialami oleh Bahlil Lahadalia bukanlah hal baru dalam hubungan kerja antara pemerintah pusat dan daerah.  Relasi kerja antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah seringkali tidak harmonis baik melalui ketidakpatuhan bahkan penolakan secara tebuka. Hal ini tidak hanya terjadi di era Jokowi saja. Pada saat SBY menjadi Presiden dan menaikkan harga BBM, banyak kepala daerah yang menolak kebijakan SBY tersebut. Bahkan terdapat kepala daerah yang terang-terangan mendukung aksi demontrasi mahasiswa yang menolak kenaikkan harga BBM.

Pertanyaan mendasarnya kemudian adalah mengapa kepala daerah tidak sa’mi’na wa atho’na kepada pemerintah pusat secara kaffah? Pertama, kepala daerah baik Gubernur maupun Bupati/Wali Kota merupakan kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat. Karena dipilih langsung oleh rakyat inilah kemudian yang menyebabkan kepala daerah “tidak begitu tunduk” kepada Presiden. Kepala daerah seakan tidak memiliki hutang budi politik atas jabatan yang diduduki. Hal ini berbeda apabila seorang kepala daerah ditunjuk oleh Presiden. Apabila kepala daerah ditunjuk oleh Presiden maka tentu seorang kepala daerah akan sangat tunduk kepada Presiden yang telah mengangkatnya menjadi kepala daerah.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI UNISMA.AC.ID

Bersamaan dengan itu, kalaupun kepala daerah tidak patuh kepada Presiden maka ia juga tidak dapat diberhentikan dari jabatannya. Sebab, Presiden tidak memiliki kewenangan untuk memberhentikan seorang kepala daerah. Seorang kepala daerah hanya dapat diberhentikan melalui putusan pengadilan.

Kedua, beda parpol. Perbedaan partai politik antara kepala daerah dengan Presiden juga terkadang menjadi faktor tidak tunduknya seorang kepala daerah kepada Presiden. Apalagi, kepala daerah bersangkutan berasal dari partai oposisi.

Ketiga, otonomi daerah. Prinsip otonomi daerah yang dianut dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia berdasarkan kepada UU Nomor 9 tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah semakin menguatkan posisi daerah khususnya kepala daerah dalam mengambil kebijakan. Atas nama otonomi daerah, seorang kepala daerah seakan lepas control dalam mengatur daerahnya. Yang dijadikan pijakan acapkali hanya hal-hal yang dilarang oleh UU yakni terkait dengan kewenangan absolut pemerintah pusat yang meliputi urusan pertahanan, keamanan, Agama, Yustisi, Politik Luar Negeri, moneter dan fiscal.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI UNISMA.AC.ID

Keempat, ketidakpatuhan ataupun relasi pemerintah pusat dan daerah juga mengalami ketidakharmonisan dalam hal hukum. Dalam hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU 15 tahun 2019 tentang Perubahan atas UU 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pemerintah Daerah yakni Gubernur dan DPRD Provinsi memiliki kewenangan untuk membentuk Peraturan Daerah Provinsi (Perda Provinsi) dan Bupati/Wali Kota bersama DPRD Kabupaten/Kota berwenang membentuk Perda Kabupaten/Kota.

Kewenangan membentuk Perda tersebut “dimanfaatkan” seutuhnya oleh pemerintah daerah untuk membuat perda sesuai kehendaknnya dan terkadang tidak memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berada diatasnya. Artinya, atas nama kewenangan tersebut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berada diatasnya yang dibentuk oleh pemerintah pusat kurang diindahkan sehingga menyebabkan tidak harmonisnya Perda dengan undang-undang.

Sejatinya, kewenangan pemerintah daerah dalam membentuk undang-undang tersebut merupakan kewenangan yang diberikan dalam rangka untuk menjalankan ketentuan pemerintah pusat di daerah melalui Perda. Isi Perda tidak boleh bertentangan dengan UU yang diibentuk oleh pemerintah pusat. Bukti bahwa Perda yang dibentuk oleh pemerintah daerah tidak boleh bertentangan dengan UU yang dibentuk oleh pusat ialah terkait dengan kedudukan dan pengujian dari Perda tersebut. Kedudukan Perda yang berada dibawah undang-undang dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia telah meyenbabkan Perda tersebut harus sesuai dengan undang-undang dan apabila ketentuan atau isi dari suatu Perda bertentangan dengan undang-undang maka Perda tersebut dapat dibatalkan melalui mekanisme uji materi (judicial review) ke Mahkamah Agung (MA) dengan berlandaskan kepada asas lex superiori deroget lex inferiori.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI UNISMA.AC.ID

Relasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tentu tidak bisa dibiarkan lestari apalagi berkembang biak. Relasi pemerintah pusat dan daerah yang tidak menunjukkan “siapa yang didepan dan siapa yang dibelakang” harus segera diperbaiki. Ibarat orang berjalan, pemerintah pusat merupakan orang yang berjalan di depan sedangkan pemerintah daerah adalah orang yang berjalan di belakang. Artinya, orang yang berada di belakang harus mengikuti orang yang berda di depannya. Orang yang berjalan dibelakang tidak boleh berjalan sendiri atau tidak mengikuti orang yang berada di depannya. Apabila yang dibelakang tidak mengikuti pejalan yang berada didepannya maka otomatis perjalanan antara orang yang didepan dan dibelakang tidak akan pernah sama atau tidak menuju tujuan yang sama. Kalupun akan sampai pada tujuan yang sama namun prosesnya akan lebih lambat. Pemerintah pusat dan daerah tidak boleh berjalan terpisah.

Konstitusi sendiri dengan tegas menyatakan bahwa hubungan pemerintah daerah dan pemerintah pusat bukan “dipisah” melanikan “dibagi”. Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 dengan tegas menyatakan “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”.

Dipisah (separation) dan dibagi (distribution) adalah dua pilihan kata yang jelas berbeda dalam hubungan sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kata “dibagi” dalam Pasal 18 dipilih untuk menunjukkan bahwa antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat berada dalam entitas yang tidak terpisahkan satu sama lain. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan satu kesatuan yang hubungannya tidak bisa dipisah. Hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah hanya “dibagi” mengenai perannya saja. (*)

***

*)Penulis Adalah Dr. H. Ahmad Siboy, Wakil Dekan III Fakultas Hukum Unisma

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES