Kopi TIMES

Mendudukkan Perkara Soal Dinasti

Jumat, 21 Februari 2020 - 21:06 | 172.07k
Diska Putri Pamungkas, Pembelajar Komunikasi Politik.
Diska Putri Pamungkas, Pembelajar Komunikasi Politik.

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Tiap kali mendengar nama dinasti pada saat ini, asosiasi yang muncul cenderung negatif. Apapun ranah pekerjaannya, kesan yang muncul tak jauh dari kata "manja" atau "jalur mudah" tinggal meneruskan jejak orang tua.

Padahal dari sudut pandang yang lebih luas, dengan dimensi sejarah kita bisa melihat persepsi yang lebih kaya misalnya, sejarah Amerika Serikat, negara kiblat demokrasi mengenal empat keluarga yang turun temurun menjadi presiden: keluarga Adams (John Adams, John Quincy), Roosevelt (Thedore Roosevelt, Franklin D. Roosevelt), Bush (George HW. Bush, George W. Bush) and Harrison (William Henry Harrison, Benjamin Harrison, Abraham Lincoln).

Jadi sebelum nyinyir soal generasi kedua penerus politik atau bisnis, lebih kita mulai dulu introspeksi diri tentang stereotip seamcam itu. Terlebih lagi, siapa sih yang bisa memilih lahir jadi anak SBY, Megawati atau Jokowi? Kalaupun bisa pasti banyak yang ingin juga, kan? Kita perlu mengkaji ulang segala pemikiran nyinyir pada generasi penerus politisi.

Istilah turun temurun dalam berbagai bidang pekerjaan seharusnya sudah tak lagi asing didengar. Dari kerajaan Inggris, sampai dinasti ayam keremes yang masih berdiri sampai sekarang kesemunya adalah hasil jerih payah dari generasi ke generasi. Lalu, kenapa jadi berisik?

Serta merta memandang sebelah mata generasi kedua bidang apapun, jadi tak relevan saat melihat tantangan yang dihadapi masing-masing generasi. Butuh otak yang lebih cerdas serta usaha yang lebih keras untuk membawa nama yang sudah besar untuk tetap bisa eksis menghadapi perkembangan jaman. Demikian juga dibidang politik. Tidak semua orang yang mengidolakan Soekarno otomatis suka dengan Megawati Soekarno Putri dan tidak semua yang cinta Soeharto senang dengan Tommy Soeharto. Sebagaimana generasi kedua dalam bisnis tidak bisa serta merta mengkonversi keuntungan bisnis generasi pertama, generasi penerus politisi juga tidak serta merta mengkonversi popularitas pendadulunya untuk suara elektoral saat ini.

Mari kita belajar dari Megawati. Memang tak dapat dipungkiri nama belakang Soekarno membawanya pada titik awal perjuangan politik di Partai Demokrasi Indonesia atau 1987 dulu. Tapi kita juga melihat bagaimana Megawati dimusuhi, diancam, harus babak belur bahkan terpaksa mengganti nama partainya dari PDI menjadi PDIP (1998) untuk bisa membawa PDIP menjadi partai paling besar saat ini. Butuh waktu setidaknya 14 tahun untuk Megawati meniti karir politik untuk sampai kepuncak kekuasaaan sebagai Presiden ke-5 RI (2001-2004). Itupun bukan karena nama Soekarno, tapi hasil strategi politiknya dalam berkoalisi di MPR.

Ideologi marhaenis dan “wong cilik” ala Soekarno yang masyhur juga tak membawanya terpilih pada pemilihan umum langsung Presiden 2004 maupun 2009. Megawati justru harus memutar jalan dengan mengkader figur-figur muda untuk dapat membesarkan PDIP, termasuk memilih Jokowi untuk merepresentasi kekuatan PDIP pada puncak kekuasaan ekskutif. Meski dengan nama Soekarno Putri dibelakangnya, Megawait butuh ketekunan, jalan panjang dan kematangan strategi untuk menjadikannya politisi sukses dan king maker paling berpengaruh di Indonesia saat ini.

Contoh lain adalah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). AHY tidak terjun sebagai politisi dengan menikmati kebesaran nama SBY atau Partai Demokrat (PD). Ia masuk ke gelanggang pengabdian di bidang politik pada akhir tahun 2016, saat SBY tidak lagi menjadi Presiden dan partai demokrat tidak lagi menjadi partai terbesar. Hilangnya ketokohan partai pasca turunya SBY tahun 2014 membuat pamor PD meredup. Sejumlah lembaga survey bahkan memprediksi PD akan gagal mencapai ambang batas parlemen dalam pemilu 2019. Dalam situasi kritis inilah, AHY terjun dan banting tulang menyelamatkan kendaraan politik yang dibangun SBY pada tahun 2013 tersebut.

Meski tidak lolos putaran kedua dalam Pilkada 2017, AHY mendulang popularitas nasional lewat safari politik yang getol ia lakukan keseluruh nusantara dengan tingkat favorabilitas publik yang tinggi sebagai capre-cawapres survey pra-pilpres 2019, AHY didaulat memimpin Komando Tugas bersama pemenangan Pemilu Demokrat. Meski nama SBY masih meiliki electoral effect yang cukup signifikan, AHY berperan penting mengkonversi popularitasnya dikalangan pemilih muda untuk menarik PD dari resiko jatuh dibawa ambang batas parlemen.

Jadi tak beralasan mencibir generasi penerus politisi, menganggap mereka tinggal meneruskan kemapanan kendaraan politik orang tua juga. Kekuatan partai sebagai kendaraan politik sangat bergantung pada momentum dan figur. Jika penerus politisi tidak bekerja keras membangun kendaraan politik yang ia tempati, mereka bisa tenggelam dengan nama besar yang tak relevan di zamannya lagi.

Jika masih ada pemikiran negati soal generasi penerus politisi adalah usaha untuk melanggengkan kekausaan, sebelum kita menunjuk jari kepada orang lain, patutlah kita bertanya pada diri sendiri: apakah itu justru menjadi niat semisal kita yang berkuasa? Kalau kita benar-benar percaya pada jalannya demokrasi, seharusnya kita yakin dan percaya bahwa kekuasaan tertinggi pastilah ditangan rakyat-bukan ditangan politisi.

Demokrasi yang sehat muncul dari itikad baik masyarakat serta pemikiran optimsi terhdap negara dan politisi. Maka patutlah kita memberikan setidaknya “benefit of the doubt” kepada generasi penerus para politisi. Lagipula, mereka yang kebetulan lahir dan terdidik dari orang tua politisi memiliki pengetahuan dan pengalaman bersinggungan dengan politik. Mereka tentu lebih siap menghadapi lingkungan berpolitik. Maka, memberikan tempat pada politisi generasi penerus ini untuk berkembang juga bearti memberi kesempatan bibit unggul pemimpin muda Indoensiua untuk tumbuh sehat. Pada akhirnya, bibit mana yang berhasil tumbuh dan berkembang pasti akan ditentukan pada semangat, konsistensi dan usaha mereka menghadpi tantangnan dalam kompetisi demokrasi pada zamannya.

Tak adil jika kita terus terjebak pada stereotip-stereotip yang membuat sekelompok politisi muda Indonsia yang membawa semngat baru justru jadi layu sebelum berkembang. Jika sekarang ada Puan Maharani, ada Agus Harimurti dan Gibran Rakabuming atau siapapun nanti yang melaju sebagai politisi, tak usahlah kita berdebat soal dari mana mereka berasal. Perdebatan pemikiran, gagasan dan semangat mereka untuk membangun negeri ini. Hanya dengan kolaborasi yang konstruktif seperti ini, bangsa kita akan bisa mengoptimalkan potensi setiap warganya – dari siapapun ia dilahirkan.

 

Oleh: Diska Putri Pamungkas, Pembelajar Komunikasi Politik

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

 

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES