Kopi TIMES

Bandara Kediri dan Bisnis Transportasi Udara

Jumat, 21 Februari 2020 - 20:31 | 144.59k
Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si, Koordinator LENTERA; berdomisili di Kampung Inggris, Kediri.
Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si, Koordinator LENTERA; berdomisili di Kampung Inggris, Kediri.

TIMESINDONESIA, KEDIRIKediri akan punya bandar udara (bandara), tak lama lagi. Ya, Kementerian Perhubungan memastikan pembangunan Bandara Kediri, Jawa Timur, dimulai pada April 2020. Pembangunan ditargetkan selama 2 tahun, sehingga bandara tersebut sudah bisa dioperasikan pada April 2022.

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan saat ini pemerintah tengah mengebut proses pembebasan lahan yang menyisakan 1,5 hektar atau mencapai 98,4 persen dari total lahan seluas 450 hektare.

Dari lahan seluas 450 hektar itu, rencananya akan dibangun landasan pacu bandara (runway) sepanjang 3.000 meter yang ditargetkan rampung dalam 2,5 tahun. Yang dengannya, Bandara Kediri ini akan ditargetkan menjadi bandara internasional.

Pembangunan bandara ini akan dilakukan tiga tahap. Tahap I ditargetkan selesai pada akhir tahun 2020 yang dapat menampung kapasitas 1,5 juta penumpang. Bandara Kediri saat ini dalam tahap penetapan lokasi dan pematangan desain.

Menurut Budi, pembangunan Bandara Kediri ini bisa menjadi contoh bagi daerah lainnya yang ingin memiliki bandara namun tidak memiliki dana untuk membangunnya. Bandara Kediri dibangun melalui skema kerjasama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) unsolicited (tidak diprakarsai pemerintah).

Investasi pembangunannya dipenuhi oleh Gudang Garam. Pun dengan pembiayaan seluruhnya mulai dari pembebasan lahan sampai ke pembangunan bandara menggunakan dana dari swasta yaitu PT Gudang Garam Tbk (GGRM).

Diketahui, anak usaha PT Gudang Garam Tbk yakni PT Surya Dhoho Investama (PT SDI) yang akan membangun Bandara Kediri. Perusahaan ini membutuhkan dana sekitar Rp 6 triliun untuk membangun bandara. Rinciannya, dana sebesar Rp 3 triliun untuk pembebasan tanah dan Rp 3 triliun untuk pembangunan bandara. Namun, dana ini masih dalam tahap finalisasi.

Dan selayaknya konsekuensi kerjasama pemerintah dengan swasta, PT SDI berharap, pihaknya diberikan konsesi selama 50 tahun dan bisa diperpanjang. Terlebih dengan status unsolicited, tentu perolehan sebagian besar laba akan mengalir pada investor, bukan kas negara. Konsep yang seperti inilah yang akan menjadi cikal bakal swastanisasi Bandara Kediri. Ini tak ubahnya nasib Bandara Komodo di Labuan Bajo yang pada akhirnya dikelola oleh Changi Airport, Singapura, yang notabene adalah swasta asing.

Jelas sekali Bandara Kediri milik swasta, sehingga segala sesuatunya hanya berlandaskan politik pemilik modal. Bukan demi kepentingan masyarakat. Jadi pembangunan Bandara Kediri justru akan semakin menguatkan politik oligarki yang menular dari pemerintah pusat ke daerah. Tak ayal, ke depannya pengguna Bandara Kediri tentu hanya orang-orang berpunya, kroni orang kaya.

Belum lagi terkait bentang alam, masyarakat Kediri dan sejumlah kota/kabupaten di sekitarnya adalah kawasan landai. Secara ekologis, wilayah Kediri sendiri diapit oleh dua gunung yang berlawanan sifatnya, yaitu Gunung Kelud di sebelah timur yang bersifat vulkanik dan Gunung Wilis di sebelah barat yang bersifat non vulkanik. Di bagian tengah wilayah Kediri melintang aliran Sungai Brantas, yang membelah Kediri menjadi dua bagian. Kawasan sebelah timur Sungai Brantas adalah dataran rendah berupa daerah persawahan subur.

Kondisi topografi ini juga menunjukkan bahwa transportasi yang paling dibutuhkan oleh masyarakat setempat bukanlah transportasi udara. Melainkan transportasi darat, seperti mobil angkutan perkotaan, bis kota, atau kereta api jarak dekat sebagaimana jalur kereta api Kediri-Pare-Jombang pada tahun 1970-1980an.

Mencermati hal ini, nampaknya perlu tinjauan ulang secara serius dan proporsional bagi pembangunan Bandara Kediri. Benarkah pembangunannya sesuai dengan bentang alam wilayahnya? Benarkah pembangunannya dibutuhkan oleh warga Kediri dan sekitarnya? Haruskah lagi-lagi kapitalisme yang akan menjadi wacana tata kelola atas fasilitas publik seperti Bandara Kediri? Haruskah keberadaan bandara dibisniskan kepada masyarakat luas layaknya komoditi?

Jika pembangunan bandara Kediri hanya untuk memenuhi syahwat pemilik modal, maka kepentingan masyarakat tidak akan pernah tertunaikan seutuhnya. Keberadaannya pun tidak berkorelasi positif dengan target pendapatan negara. Belum lagi ancaman korupsi di berbagai level birokrasi. Ini semua semakin meyakinkan bahwa rakyat lagi-lagi akan menjadi konsumen atas jasa yang diperdagangkan oleh penguasa.

***

*)Oleh: Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si, Koordinator LENTERA; berdomisili di Kampung Inggris, Kediri.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES