Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Hukum Yang Memprevensi Darah Tumpah

Jumat, 21 Februari 2020 - 16:00 | 65.74k
Anang Sulistyono, Dosen dan Ketua Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKH) Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (Unisma).
Anang Sulistyono, Dosen dan Ketua Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKH) Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (Unisma).
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Benarkah hukum itu ars boni et aequi atau seni yang baik dan patut? atau apakah suatu ketika nanti, kita akan bisa menyaksikan produk hukum yang dilaksanakan oleh manusia-manusia yang jujur, baik, menjunjug tinggi keadilan, dan selalu memanglimakan kebenaran

Masih sulit diketahui kapan pastinya wajah hukum di negeri ini tidak lagi sengkarut, pasalnya yang mudah terbaca adalah praktik-praktik yang sebenarnya bermuatan pertanggungjawaban hukum, namun oleh beberapa gelintir elit, apa itu elit politik, ekonomi maupun hukum, lebih cenderung diredupkan ke aras tidak jelas atau dibawa  berputar-putar ke wilayah tak bertuan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI unisma.ac.id

Di tengah masyarakat,  gampang misalnya muncul pernyataan seseorang dari elitis tentang orang lain yang berurusan dengan hukum, yang tergesa-gesa distigma sebagai seseorang yang sudah pasti bersalahnya atau digolongkan sebagai penjahat yang merugikan masyarakat dan negara, yang bahkan diposisikannya sebagai musuh bersama (common enemy).

Dalam sisi yuridis, tentu saja itu statemen sangat berani, pasalnya berbentuk praduga bersalah (presumption of guilt) yang bermodus memojokkannya sebagai “anggota” pelanggar hukum.

Stigma itu jelas menyakitkan, merendahkan harga diri, atau menjatuhkan marwah. Stigma ini tak beda dengan perampash hak kesederajatan dan keadilan di depan hukum yang diakui secara konstitusionalitas. Stigma ini identik dengan menghilangkan sebagian hak orang lain atau masyarakat.

Sebutan seperti itu, membuat logis jika yang terkena sasaran, yang disebut, atau dijulukinya jadi marah, yang seringkali kemarahannya berujung pada terjadinya dan bahkan meluasnya “darah tumpah” dimana-mana.

Marah dan melawan merupakan wujud kekecewaan, kerugian, atau merasa diinjak-injak harga diri, ideologi, isntitusi, dan agamanya. Secara a contrario, menjadi tidak logis jika yang diberi stigma buruk itu tidak marah, mengamini, atau tak melakukan perlawanan habis-habisan, pasalnya dirinya sudah direduksi citra  dan dikoyak-koyak martabatnya.

Kalau sampai tidak marah berarti yang dituduhkan atau stigma buruk yang disematkan benar adanya, atau dirinya sangat kuat menahan kesabaran dan menjatuhkan sikap diam atau apatis.

Jika yang dituduhkan tidak benar, namanya adalah fitnah. Untuk menguji benar tidaknya tuduhan, tidaklah main-main, ada rule of game, atau proses etis dan akuntabilitas yuridis. Dalam Islam, seseorang yang melemparkan fitnah (tuduhan), misalnya dalam kasus perzinaan (adultery), yang kemudian tidak bisa membuktikannya, maka penuduhnya terkena sanksi hukuman cambuk.

Sanksi hukuman cambuk bagi penfitnah (penuduh tanpa bukti) itu sejatinya bermaksud memberikan pendidikan moral pada setiap orang supaya mampu mendidik lisannya dengan baik dan bertanggungjawab, kecuali memang ada bukti yang bisa digunakan sebagai instrumen pembenaran atas tuduhan yang diajukan.

Hukuman cambuk ini menjadi wujud substansi hukum sebagai ars boni et aequi, yang memberikan keadilan untuk semua (justice for all), sehingga dalam ranah inilah setiap subyek hokum yang melakukan perbuatan salah, membuat ujaran kebencian, atau menyebarkan hoak, wajib disejajarkan dengan “penfitnah” yang hukumannya sangat serius (dalam syariat Islam).

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI unisma.ac.id

Yang benar, setiap pelempar tuduhan, berkewajiban memberikan bukti, sementara yang dituduh pun berkewajiban membela atau mengadvokasi dirinya jika memang tidak bersalah. Ini tak semata-mata karena tuduhan dari tokoh tertentu, tetapi siapapun kelak yang melemparkan tuduhan, akan berhadapan dengan norma yuridis yang selalu menuntut kepastian,  egalitarianisme, keadilan, dan kejujuran, dan bukan pada praduga.

Nilai kespatian dan perlakuan berbasis egalitarianisme, kejujuran, dan keadilan itu  merupakan ruh konstruksi negara hukum. Ketika ruh ini tercerabut dari tubuhnya, maka terpenggalah keberlanjutan hidupnya.

Konstruksi negara menjadi lemah, rapuh, dan bahkan hancur atau minimal ternoda marwahnya akibat tidak adanya perlakuan egaliter, jujur, dan berkeadilan di  antara elemen sosial dan  politik atau siapapun  subyek yuridis yang berlaku melanggar norma hukum.

Dalam kasus pelempar praduga atau pembuat hoak harus mempertanggungjawabkan secara obyektif dan mekanistik-yuridis kalau testimoninya bukanlah asal tuduh atau bukan cari sensasi politik demi target eksklusif tertentu, tetapi memang benar-benar bermaksud memberikan jalan yang lebih jelas  tentang berbagai praktik busuk, minimal memperkuat terbongkarnya  indikasi penyimpangan keuangan atau malapraktik profesi. Sebaliknya, jika memang salah, berarti “jantan” menerima pertanggungjawaban yurdis.

Selain itu, ada keterikatan kewajiban memosisikan dirinya sebagai subyek yuridis yang bertanggungjawab bukan hanya terhadap ucapanya sendiri, tetapi juga  pada lembaga atau seseorang yang tercoreng akibat ucapan atau sikapnya yang menabur kerugian pada orang lain. Jika setiap subyek hokum bisa seperti ini, amarah yang berujung darah tumpah bisa dicegah.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI unisma.ac.id

*)Penulis: Anang Sulistyono, Dosen dan Ketua Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKH) Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (Unisma).

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES